How Long Is She Staying?

1416 Words
Isaac duduk di ujung ranjang sambil menggenggam sebuah gelas berisi cairan bening dan dua balok es. Pria itu menenggak sedikit minumannya sambil terus bertarung dengan pikirannya yang bercabang. Pria itu mengadah ke langit-langit kamarnya dan mendaratkan telapak tangannya sambil menghela berat. Tadi itu luar biasa, batinnya. Ia tidak pernah keluar sebanyak itu, atau bahkan tidak sempat mengeluarkan miliknya saking menikmati sensasinya. Pria itu menatap gelasnya sambil tenggelam dalam pikirannya sebelum mendengar dehaman kecil dari seseorang yang jatuh pingsan tadi di sebelahnya Ia menoleh kepada Agatha yang sudah terbangun dari tidur singkatnya tapi kembali menghadap kedepan dan menatap pemandangan hutan yang luas di jendelanya. "Kau lapar?" Tanya Isaac, tidak menatap lawan bicaranya. Agatha terdiam sejenak sambil meposisikan tubuhnya yang sedikit nyeri untuk duduk. "Apa ini pengalaman pertamamu?" Tanya Isaac lagi. Ia menoleh untuk melihat reaksi Agatha dan gadis itu sedikit terhenyak karena dilontarkan pertanyaan yang canggung itu. "Jujur saja. Aku tidak akan marah." Kata Isaac sambil meminum sedikit cairan di gelasnya. Ia menoleh ke jendela besar lalu kembali mendaratkan pandangannya kepada Agatha. Tapi gadis itu tidak menjawab. Lebih tepatnya, ia bingung harus menjawab apa. "Bu.. Bukan." Kata Agatha malu-malu. Ia takut kalau ia tidak berkata jujur Isaac bisa langsung mencekiknya sampai mati. Ia tidak tahu sampai mana kemampuan Tuan Isaac ini. Ia hanya memikirkan nyawanya saja sekarang. "Hm. Sudah kuduga." Kata Isaac lalu menghabiskan minumannya dan meletakkanya di nakas sebelum kasurnya. Agatha terus mengikuti pergerakan pria itu sampai ia duduk di arm chair berwarna merah yang terletak di dekat sebuah rak berisi buku-buku. "Kau belajar dari pacarmu yang sebelumnya?" Agatha mengangguk pelan. Lalu Isaac tersenyum jahil, "Apa milikku lebih besar darinya?" Agatha terhenyak lagi. Tapi ia menunduk, lalu mengangguk kecil. Isaac terpana melihat Agatha yang mengangguk polos untuk menjawab pertanyaannya. Agatha mengadah ketika mendengar suara tawa menggelegar yang menggema di ruangan itu. Isaac tertawa. Ah, memalukan sekali, pikir Agatha. Seharusnya tadi dia bilang dia tidak tahu saja. Tapi sudah terlanjur, ah tetap saja. Memalukan sekali. "Kau polos sekali." Kata Isaac disela-sela tawanya. "Kamu 'kan nanya. Aku cuma jawab." Jawab Agatha. Tapi Isaac malah semakin tertawa dengan jawaban Agatha. Malu banget, pasti wajahku udah merah banget, batin Agatha. Di tempat lain, ada Kay yang sedang termangu di hadapan rak penuh dengan pembalut wanita yang berbeda-beda. Kay tak mengerti kenapa ia harus membelikan barang-barang keperluan wanita Isaac. Pria itu tidak biasanya meminta Kay untuk membelikan sesuatu untuk mereka apalagi sampai keperluan-keperluan sehari-hari mereka. Kay pun tidak mengerti sama sekali keperluan wanita sehari-hari. Dia sampai dibantu oleh staff supermarket yang didatanginya. Ia sedikit malu sebenarnya. Tapi staff wanita bernama Cindy itu sangat baik. Dia tadi berkata "Oh, tidak apa-apa kok, kak. Wajar kok bingung kalo beliin keperluan cewek. Saya juga dulu bingung sendiri." Katanya sambil tersenyum lebar. Kini Kay sudah berjalan di parkiran dengan empat-lima bungkusan di kedua tangannya. Pria itu berbelok ke mobilnya dan membuka bagasinya. Ia meletakkan semua bungkusan itu disana dan terdiam melihat bungkusan-bungkusan itu. Jadi sekarang hidupnya seperti ini rupanya. Memang tugasnya untuk disuruh-suruh karena dialah asisten Isaac. Tapi pria ini kok malah sekalian menyuruhnya untuk membelikan belanja bulanan wanitanya? Kay mengingatkan dirinya kalau ia sampai di rumah Isaac, ia akan marah-marah dan melemparkan bungkusan itu di wajah Isaac. Lalu ia akan memperingatkan Isaac kalau dia adalah asisten pria itu. Bukan asisten wanitanya. Kay mengemudi menembus malam sambil mendengarkan musik di radio. Setidaknya musik bisa membawa pikirannya ke tempat yang bahagia untuk sejenak sebelum harus menghadapi bosnya yang ingin dia injak-injak itu. Tapi bos yang ingin dia injak-injak itu malah menghubunginya sekarang. "Halo?" "Halo, Kay. Tolong sekalian belikan makanan. Dua porsi ya. Sama dessert. Oh, aku maunya scone. Sama sup. Belinya di restoran dekat rumahku aja. Disana spaghetti-nya enak. Jangan lupa ke apotek beli pil kontrasepsi." Kay berdecak lalu mematikan handphonenya. Ia tidak ingin basa-basi dengan Isaac. Bukan seprofesional itu hubungan Kay dengan pria itu. Kay adalah anak asuh ayah Isaac dulunya. Ia sebenarnya hanya akan mendengarkan perintah Tuan Hilton, tapi kemudian Isaac dibawa ibunya kerumah Tuan Hilton dan dia pun jadi masalah Kay seterusnya. "Hey Isaac." Kata Kay di pengeras suara yang ada di luar gerbang megah ke rumah besar Isaac. Ada bunyi bip dan wajah Isaac muncul di layar, "Masuk saja. Aku turun sebentar lagi." Katanya dari pengeras suara. Pintu gerbang terbuka dan mobil Kay melesat masuk. Suasana hati pria itu sangat tidak baik ketika ia keluar dari mobilnya dan berjalan ke bagasi. Ia meraih semua bungkusan dan berjalan ke pintu rumah yang tidak terkunci. Kay masuk dan berjalan melewati lobi dan ke koridor menuju ruangan dapur. Dari ujung koridor lainnya Kay bisa mendengar suara Isaac yang relatif kecil. "Sapa asistenku, ambil barang-barang yang kamu perlukan malam ini." Katanya. Kay meraih sebuah apel dan menggigitnya sebelum menoleh kearah seorang gadis yang muncul dari balik dinding koridor yang menuju sisi lain rumah besar itu. "Ha-Halo." Sapa Agatha canggung. Ia baru saja selesai mandi kilat dan rambutnya masih basah. Ia juga tidak membawa baju, jadi dia hanya memakai kemeja putih Isaac yang kedodoran sampai lututnya. Rambut kecoklatannya kadang-kadang turun ke wajahnya dan ia buru-buru menyibakkannya ke belakang, ingin terlihat setidaknya setengah layak untuk tamu tuannya. Agatha menatap Kay sebentar. Menunggu pria itu mengatakan sesuatu. Tapi ia malah mulai merasa bodoh karena Kay hanya mendelik kepadanya balik. Agatha berusaha menghindari kontak mata seterusnya dengan Kay lalu berjalan menuju bungkusan yang terletak di meja dapur. "Lo cewek barunya Isaac?" Akhirnya Kay membuka suara. Agatha sedikit tersentak kaget dengan suara bass yang keluar dari bibir tipis Kay. Ia menoleh kepada Kay yang menatapnya balik sambil menggigit apel. "Um.. maksudnya?" "Lo. Cewek barunya. Isaac?" Ulang Kay. Agatha tidak menjawab. Sebenarnya dia juga tidak tahu apa statusnya disini. Atau setidaknya apa status yang Isaac tetapkan untuk saat ini. Gadis itu hanya tahu kalau ia terikat kontrak sebagai properti milik Isaac. Dan untuk memperburuk situasinya dia harus melakukan semua permintaan yang Isaac katakan kepadanya. "Ya. Dia wanitaku." Agatha menoleh kepada Isaac yang muncul dari koridor yang sama dengan asal kemunculan Agatha tadi. Isaac mendelik sejenak kepada Agatha lalu berlalu untuk mengambil gelas dan mengisinya dengan air. "Oh? Dan rencananya yang ini akan lo simpan berapa lama?" Tanya Kay. Kini kedua manik mata tajam Isaac mendarat kepada Kay. Ia hanya menyeruput air minumnya kemudian meletakkannya di wastafel. "Memangnya itu urusanmu?" Kay terkekeh. "Kalo lo rencananya nyuruh-nyuruh gue kesana kemari buat beliin keperluan yang ini juga, gue rasa gue perlu tahu sih sampe kapan dia jadi beban tambahan gue." "Itu 'kan emang tugas lo buat ngikutin perintah gue. Gimana sih?" Kini Isaac ikut-ikutan menggunakan lo-gue dengan Kay. "Tinggal ngomong aja berapa lama lo rencananya nahan dia, ya elah. Lo biasanya ngomongnya anteng aja di depan yang sebelumnya. Di depan yang ini kok malu-malu?" Isaac menatap Agatha yang menonton mereka berdua dari ujung matanya. "Kalo yang ini bukan urusan lo." Kata Isaac sambil berjalan pergi. Rahang Kay mengeras. Ia menoleh kepada Agatha daritadi menatapnya, kaget ketika Kay menatapnya balik. Pria itu menghela napas, membuang apelnya ke tong sampah lalu berjalan keluar pintu. Agatha terdiam sendiri di depan bungkusan-bungkusan berisi perlengkapan wanita yang dibawakan Kay tadi. "..Banyak banget.." Agatha meraih sampo, kondisioner dan sabun cuci muka yang ada di salah satu bungkusan yang berjalan lambat ke koridor yang membawanya ke sisi gelap rumah itu. Kadang Agatha bingung kenapa seseorang harus punya rumah sampai sebesar ini. Ayahnya pun membeli rumah yang untuk Agatha masih terlalu besar, meski tidak seberapa kalau dibandingkan dengan rumah yang ditumpanginya sekarang ini. Ia pelan-pelan masuk kedalam kamar dan menemukan Isaac duduk di ujung kasur, terdiam. Gadis itu tidak merasa ia harus menyapa pria itu dan segera pergi ke kamar mandi. "Jangan dengarkan pria sialan itu." Katanya tiba-tiba. "Gi.. Gimana?" Isaac menoleh kepada Agatha dengan dahi yang berkerut. "Jangan dengarkan dia." Katanya lagi sambil berdiri dan berjalan kearah Agatha. Ia menarik tubuh Agatha untuk masuk kedalam dekapannya yang hangat. "Jangan dengarkan dia," Bisik Isaac. Agatha bisa mendengarkan nada suara yang dikenalnya. Nada suara frustasi. "Jadi tolong jangan tinggalkan aku." "Apa?" Tanya Agatha. Isaac menghirup dalam harum tubuh Agatha lalu mengecup leher gadis itu lembut. Kedua tangannya mengeratkan cengekeramannya di pinggang Agatha. Gadis itu berdehem ketika merasakan nyeri di bagian bawah tubuhnya kembali. Isaac mendengarnya, tapi ia tidak bergeming. Ia suka memeluk gadis ini. Tubuh mungilnya serasa pas di dalam dekapan. "A.. Aku harus mandi." Kata Agatha sambil mencoba untuk melepaskan dirinya dari dekapan yang menyesakkan itu. Isaac kelihatan gusar. Pria ini sepertinya mabuk, pikir Agatha. Ia mengacak rambutnya sendiri lalu kembali duduk di ujung kasur. Agatha menatapnya sebentar lalu berputar dan masuk ke kamar mandi. *** Jangan lupa vote-nya ya!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD