"Assalamuaikum." Ummi Kia yang tak lain tetangga Ayla bertandang ke rumah wanita itu. Mereka terbiasa saling berkunjung seperti sekarang ini.
Kata Ummi sendiri merupakan sebuah panggilan akrab Balqis dan Yusuf, karena wanita dua puluh enam tahun yang Ayla sudah anggap seperti adik sendiri diketahui belum juga dikaruniai anak meski sudah lama menikah.
Beruntung suaminya, Adnan tidak mempersoalkan. Baginya, mereka bisa mengasihi anak siapa pun meski bukan anak kandung mereka sendiri. Dari sanalah Kia begitu akrab dengan Ayla berikut anak-anaknya.
Seraya membawa hasil masakannya, ia masuk ke rumah Ayla seperti biasa. Kia tertegun waktu melihat Ayla tersedu, terasa begitu rapuh padahal Ayla yang Kia kenal adalah wanita yang tangguh.
"Astagfirullah. Kenapa, Mbak?"
Kepala Ayla ditumpuh oleh tangan dan suara sesenggukkannya terdengar sampai ruang tamu.
Kia meletakkan piring ke meja, kemudian merangkul Balqis yang takut, sembari mengangkat wajah Ayla dengan tangan satunya lagi.
"Mbak kenapa?"
"Kia ... Mas Fawaz."
Ayla menutup kelopaknya berharap bisa meluruhkan rasa sedih ditinggalkan melalui buliran airmata. Kia menyeritkan alis, tidak paham.
"Mas Fawaz kenapa, Mbak?" Suara Kia semakin kencang.
Ayla memandangi Yusuf dan Balqis. Ia tidak mau bercerita di depan kedua anaknya itu karena takut jadi ikut sedih tapi satu sisi tidak kuasa menahan tangis karena Balqis yang terus bertanya, kapan ayah pulang. Mengerti membuat Kia mengajak Balqis dan Yusuf ke rumahnya terlebih dulu. Ia akan menitipkan mereka ke suaminya.
"Eeggh, Yusuf sama Balqis main sama Om Adnan dulu,ya. Mau gak ... Om Adnan katanya kangen sama kalian."
Yusuf dan Balqis menurut saja. Mereka menuju kamar Adnan dan Kia dengan berlari. Kia menggeleng atas kelakuan keduanya. Merasa keadaan lebih kondusif ia kembali ke rumah Ayla.
"Mbak ... Sekarang cerita ke aku. Apa yang terjadi sama Mas Fawaz, Mbak?"
"Ki. Mas Fawaz dinyatakan menghilang."
Ayla menceritakan apa yang ia ketahui. Baik dari teman-teman Fawaz lainnya juga informasi dari Pierre.
Hati istri mana yang tak cemas ketika tidak tahu suaminya ada di mana rimbanya. Perasaan itu tersampaikan langsung ke hati Kia. Ia turut sedih untuk Ayla. Mungkin jika Adnan yang kenapa-napa Kia juga akan sedepresi ini.
"Tapi Mbak udah periksa langsung?"
Kia mengelus punggung Ayla. Mencoba memberikan kekuatan lebih.
Ayla menggeleng. Memang kabar itu baru ia dapat dari telepon saja dan sepertinya tidak ada salahnya ia mendatangi kantor imigrasi tempat Fawaz ditugaskan. Dengan ditemani Kia, rencananya siang ini mereka akan ke sana.
Sebelum itu Kia mau meminta ijin pada sang suami terlebih dahulu.
Wanita cantik yang lebih suka memakai pashima dililitkan ke leher itu segera mendatangi suaminya.
Saat ini Adnan sedang asik bermain petak umpet bersama Balqis dan Yusuf.
"Ayok Om bakal cari kalian. Balqis di mana,ya?"
Sekarang giliran Adnan yang jaga. Lelaki berperawakan tinggi besar, bisa berubah jadi anak kecil waktu main. Kia terkekeh dan menggeleng. Dipojokkan ada Balqis meletakkan telunjuk di depan mulutnya meminta Ummi Kia-nya tidak memberitahu di mana ia berada.
"Aduh. Mas!"
Sergahnya karena Adnan justru memeluk dirinya. Adnan membuka penutup mata.
"Lho kamu. Lagian, ngapain di jalanan," gerutu Adnan merasa permainanya jadi terjeda.
Kia cemberut. "Ini kan juga rumah aku. Bebas dong aku ada di mana."
Sudah dari sananya, dan benar kata ... wanita selalu benar. Jika salah, coba lihat dari presepsi lain sampai jadi benar. Adnan mengulum senyum lantas memeluk pinggul Kia dari samping.
Wanita yang ia nikahi lima tahun belakangan ini jadi menggeliat tak suka.
"Iih, ada Yusuf sama Balqis. Malu tau."
Sebetulnya hubungan Ayla dan Fawaz juga seromantis ini. Malah jauh lebih romantis meski mereka sudah dikarunia dua anak. Resepnya, Fawaz yang selalu dapat memanjakan Ayla dan Ayla tanpa segan minta dialem sang suami kadang bikin Kia merasa iri. Tapi kini, ia merasakan arti keberadaan suaminya lebih penting ketimbang perlakuan romantis.
Mengetahui orang yang ia cintai baik-baik saja bahkan bisa menatap dan menyentuh, bukti anugerah terindah dari Sang Pencipta.
Sembari mengelus rahang Adnan, ia meluruskan niatan yaitu mengantarkan Ayla.
"Mas, aku mau ijin antar mbak Ayla. Kamu sama anak-anak dulu,ya."
"Lho. Ayla gak mau bawa anak-anak pergi. Tumbenan ... ."
Adnan merasa heran, biasanya kan Kia dan Ayla juga pergi sambil mengajak Balqis dan Yusuf. Kia menggeleng dan berbisik supaya tidak didengar kedua anak Ayla.
"Mas Fawaz menghilang di hutan. Aku mau temenin mbak Ayla ke kantornya. Jadi please, Mas. Jagain Balqis dan Yusuf sebentar."
Kia berharap Adnan menahan reaksi kagetnya. Dan itu ia lakukan. Meski matanya melotot. Tapi Adnan berhasil menahan kekagetannya berlanjut cuma mengangguk saja.
"Ya ... biar Yusuf dan Balqis sama aku. Atau ... kalian mau aku temenin ke sananya?"
Adnan gugup. Ia tahu pasti berat untuk Ayla dan sebenarnya ia juga mau tahu cerita lebih detailnya.
Kia menggeleng, kalau Adnan ikut siapa yang menjaga Balqis dan Yusuf.
"Udah biar aku aja. Aku titip Balqis sama Yusuf, ya!"
Adnan terlihat memberi semangat ke sang istri. Tak lupa menyarankan Kia berdoa dibarengi dirinya di sini yang ikut memanjatkan permohonan supaya Fawaz baik-baik saja.
"Mas Fawaz," gumamnya hambar. Waktu tau Fawaz bekerja sebagai penjaga perbatasan perasaan Adnan sebenarnya sudah tidak enak. Ia sering dengar di berita jika para TNI yang ditugaskan di daerah perbatasan sering kali dikabarkan menghilang tanpa jejak.
Terkadang karena saling cekcok sesama anggota atau para warga, dan disaat cerita itu terjadi kepada orang terdekatnya, hatinya semakin nelangsa.
Cuma Adnan sadar tidak boleh menunjukkan di depan Balqis serta Yusuf.
***
"Abang, bunda ke mana,ya?"
Balqis terlihat gelisah. Matanya sudah berkabut kesedihan. Sebagai kakak, Yusuf mengelus surai Balqis sayang.
"Cup ... cup ... Dek. Kata Om Adnan, Bunda lagi pergi sebentar sama Ummi," ucapnya dengan nada menghibur tapi justru Balqis semakin nyaring tangisnya.
"Kok aku gak diajak!" Ia kecewa, biasanya bunda mereka tidak pernah meninggalkan. Apalagi ketika ayahnya pergi tugas.
"Duuh!" Yusuf menggaruk rambutnya yang tak gatal. Kenapa Balqis malah menangis? Demi menghibur Balqis, Yusuf mengajak adiknya keluar pagar sambil menunggu bunda mereka pulang.
"Kita tunggu di luar yuk," ajak Yusuf.
Kini kedua kakak-adik nan comel itu saling bergandengan dan membuka pintu pagar yang hanya diselotkan saja.
Sementara Adnan tadi sedang ke kamar mandi. Ia celingukkan mencari dua anak yang dititipkan padanya.
"Balqis, Yusuf."
Adnan memanggil resah. Ia takut terjadi sesuatu pada kedua anak itu, pasti semakin malanglah nasib Ayla.
Tidak, ia gak mau membuat teman semasa kuliahnya itu makin menderita. Setelah puas mencari di dalam rumah Adnan berlari ke luar.
Di sana ia melihat punggung Yusuf dan Balqis.
"Hah, Alhamdulilah," desahnya sembari mengelus d**a. Ternyata Balqis dan Yusuf sedang bicara dengan tetangga lainnya.
"Eeh, Yusuf ... Balqis, bunda kalian mana?" tanya Hanifah tak tega melihat keduanya celingukkan saja.
"Ini aku lagi tungguin Bunda pulang," balas Balqis ceria. Hanifah yang merangkap sebagai Ibu RT setempat itu jadi menyeritkan alis.
"Ooh, bundanya lagi pergi ... ."
Adnan maju, membuka pintu pagar dan menggendong Balqis.
"Iyah, Bu. Makanya anaknya dititipkan ke saya," sahutnya dengan wajah sendu.
Semua orang tahu kalau Ayla tidak suka pergi seorang diri. Kalau pun suaminya tugas ia memilih di rumah saja. Ditambah tatapan berat Adnan yang mengundang rasa penasaran.
"Memangnya ada apa?" cicit Hanifah. Adnan menyenderkan kepala Balqis ke bahu dan menghadap belakang. Ia juga menapaki kepala belakang Balqis dengan tangannya, sedang tubuhnya menutupi badan Yusuf. Adnan tidak tahan untuk tidak bercerita jika Fawaz dalam musibah.
"Mas Fawaz hilang, Bu."
Adnan gak bermaksud membuat masalah semakin runyam. Malah ia berharap bu RT itu bisa memberitakan ini ke warga dan membantu dalam pencarian Fawaz. Yah Semoga saja.