Hening.
Suara tubuh Alex menghantam marmer masih terpantul di dinding-dinding. Para pengawal membeku, tak ada yang berani bernafas keras. Mereka menatap Aroe yang berdiri tegak, napasnya memburu, darah menetes dari lengan dan pelipisnya, tapi sorot matanya tetap tajam.
Tepuk tangan pelan Damon memecah keheningan. Bunyi itu bagai guntur.
“Menarik…” suaranya dalam, penuh minat. “Kau bukan cuma cepat, tapi punya naluri bertarung yang tak terduga. Siapa yang mengajarimu hal seperti itu?”
Aroe hanya menatap. Sekilas wajah Caleb, ayahnya, terlintas di kepalanya, sebelum ia menghempas kenangan itu jauh-jauh.
Damon tersenyum miring. “Baiklah, Aroe Caldwell. Kau melampaui ekspektasiku.”
Tatapannya beralih ke sudut ruangan, pada sosok wanita berambut hitam yang berdiri tenang. “Selanjutnya… Selena.”
Wanita itu melangkah maju. Tubuhnya ramping, gerakannya lentur. Rambutnya dikuncir tinggi. Di tangannya, cambuk panjang berujung bilah logam berkilat.
Craakkk! Cambuk itu dicoba sekali, suara mendesingnya membuat beberapa pengawal tanpa sadar mundur.
“Dewi cambuk…” bisik salah satu pengawal dengan wajah pucat.
“Dia gila. Senjata itu bisa menguliti orang hidup-hidup,” balas yang lain.
Selena tersenyum tipis. Senyuman tanpa belas kasihan. “Mari kita lihat, bocah. Masihkah kau bisa berdiri setelah kulitmu koyak?”
Aroe menurunkan tubuhnya ke posisi siap. Pisau kayu retak di ujung, noda darah lawan sebelumnya masih menempel. Ia tak menjawab, hanya mengencangkan genggamannya.
Damon mengangkat tangan. “Mulai.”
Wuuuss!
Cambuk Selena melesat, menghantam lantai hingga meninggalkan retakan kecil. Debu beterbangan.
“Ugh, hampir kena kepalanya!” seru salah seorang pengawal menahan napas.
Aroe bergerak ke kiri. Cambuk itu melintas hanya sejengkal dari pipinya; kulitnya terasa panas seperti tersengat.
WHIPPP! Crakkk!
Serangan kedua horizontal, mengincar d**a. Aroe menunduk tepat waktu, tapi ujung cambuk masih menyambar bahunya.
Sret! Kulitnya tergores panjang, darah mengalir.
Selena tertawa dingin. “Kau bahkan tak bisa mendekat.”
Aroe meringis, tetap menapak maju setapak demi setapak. Matanya mengukur jarak.
Damian mendesis pada Damon, “Ini gila. Dia bisa dicacah hidup-hidup.”
Damon hanya bersandar santai, matanya berbinar. “Itulah yang membuatku menikmati ini.”
Crackk! Cambuk kembali menyambar. Aroe memiringkan tubuh dan menangkis dengan pisau kayu. Tak! Benturan keras. Ujung cambuk tetap menggores punggung tangannya. Darah menetes, tapi ia tidak mundur.
Selena berputar, cambuknya melilit tiang penyangga ruangan, lalu ditarik keras hingga serpihan marmer beterbangan. “Ayo, bocah sialan! Tunjukkan lebih dari ini!” bentaknya.
Aroe merasakan darah menetes ke lantai. Cambuk menyambar lagi.
Sraaattt! Pahanya terluka, garis merah dalam. Tubuhnya tersentak.
“Arghh!” umpatan kasar lolos dari mulutnya, tapi langkahnya tidak goyah. Begitu cambuk ditarik kembali, ia melompat maju.
Buughh! Tinju kerasnya menghantam wajah Selena. Wanita itu terhuyung, cambuknya goyah.
“b******n kecil!” desis Selena, darah merembes dari bibirnya. Cambuknya terayun membabi buta. Crakk! Crakk! Suara cambuk memekakkan telinga.
Aroe menunduk, merunduk, menghindari kilatan cambuk yang mematikan. Satu kesalahan saja, kulitnya habis.
Whuppp! Cambuk melilit lengannya. Selena menarik keras.
“Ghhk…!” Aroe terjerembab ke depan.
“Sekarang kau selesai!” Selena meraung. Tarikan cambuknya mengiris kulit Aroe, darahnya meresap ke baju.
Tatapan Aroe tetap dingin. Dalam sekejap ia memutar pisau kayunya dan...
crack!
Menebas cambuk itu. Ujung logamnya terlepas, melayang di udara.
“Apa?!” Selena membelalak.
Saat itu juga Aroe berputar, kakinya menghantam perut Selena.
Baaghh! Wanita itu terlipat, terhuyung mundur.
“Sial, dia bisa mendekat?!” salah seorang pengawal memekik tak percaya.
Selena mencoba memukul dengan sisa cambuk pendek, tapi Aroe sudah lebih cepat. Ia menekuk tubuh, menghantam lututnya ke rahang Selena.
Krakk! Suara retakan terdengar jelas.
“Aghh…” darah memancar dari mulut Selena. Tubuhnya goyah.
Aroe tidak memberi kesempatan. Tendangannya menghantam kepala Selena.
Buugh!
“Ahh!” pekik Selena, terhuyung ke samping. Aroe menyerang lagi, pukulan, tendangan, satu demi satu.
Bughh! Bagh! Bughh!
Tubuh Selena terpental, menghantam lantai marmer.
Baaghh!
Ruangan kembali hening. Selena tergeletak, tubuhnya kejang, darah membanjiri dagunya. Matanya setengah terpejam, nyaris tak sadarkan diri.
Aroe berdiri di atasnya, dadanya naik turun, pelipisnya berdarah. Suaranya dingin, nyaris tanpa emosi. “Kau kalah, Selena.”
Selena mencoba mengangkat kepala, hanya batuk darah sebelum akhirnya jatuh lunglai.
Para pengawal saling berpandangan. Ada yang ngeri, ada yang kagum.
“Anak itu bukan manusia… dia iblis,” bisik salah satu.
Damian menggeleng, wajahnya tegang. “Dia terluka parah tapi tetap berdiri…”
Damon menatap Aroe dengan senyum puas, seakan semakin yakin dengan pilihannya. Tatapan matanya berubah, bukan hanya kagum, ada sesuatu yang lebih dalam di sana, sesuatu yang Aroe belum tahu.
Aroe menghapus darah di sudut bibirnya. Nafasnya berat, tapi matanya tetap menusuk balik.
“Selamat, Aroe! Kau menang lagi…” suara Damon menggelegar di arena latihan. Semua pengawal menoleh, berharap mendengar tepuk tangan.
Namun Damon menambahkan dengan nada dingin, tajam: “…Tapi jangan senang dulu. Pertandingan terakhir adalah penentuan. Di sinilah kau akan membuktikan apakah kau layak menjadi pengawalku atau tidak.”
“Siapa selanjutnya?” tanyanya, suaranya rendah namun jelas.
Damon menyandarkan tubuh, senyumnya makin melebar. “Lawan keempat… akan jauh lebih haus darah daripada mereka.”
Aroe menelan napas, jantungnya berdegup lebih kencang. Ia tahu ini bukan sekadar pertarungan fisik, tapi ujian mental terakhir.
Damon melirik ke arah Damian. Tatapan Damon dingin dan penuh arti, seakan menembus seluruh jiwa Damian. “Kau, Damian,” ucap Damon singkat. “Buktikan kalau kau juga tak terkalahkan. Bisa kau kalahkan Aroe?”
Damian menelan ludah. “Saya, Tuan?” ucapnya terkejut, menatap Damon. Ia tak menyangka akan menjadi lawan terakhir.
Damon mengangguk pelan, senyum tipis menekuk di bibirnya. “Ya. Sekarang buktikan.”
Damian menarik napas panjang, menyiapkan dirinya. Ia tahu ia harus melawan Aroe. Tanpa membantah, ia berjalan ke ring, memakai celana kickboxing standar berwarna gelap. Pelindung gigi, pelindung tulang kering, pelindung tangan, dan sarung tangan tebal dipasangkan dengan rapi. Setiap gerakan terlihat disiplin, tubuhnya kuat dan kaku, namun siap untuk menendang dan meninju.
Aroe melangkah ke ring, wajahnya tenang, namun matanya berkilat waspada.
Damian mengernyit. “Kau tak ganti?” ia bertanya, terkejut melihat Aroe masih memakai kemeja putih penuh darah dan celana panjang. “Cepat buka bajumu, pakai celana ini!”
Aroe menangkap celana kickboxing yang dilempar Damian, kemudian membuangnya ke sisi ring. “Aku tak butuh semua ini,” ucapnya dingin. Bajunya yang lusuh tetap menutupi, ia tak bisa mempertaruhkan rahasia tubuhnya.
Petugas bertugas memasangkan sarung tangan dan pelindung tangan bagi kedua petarung, memastikan keamanan minimal. Damon tetap berdiri di sisi ring, menjadi juri, matanya tajam memperhatikan setiap gerakan, setiap ketegangan otot.
Lampu putih di atas ring menyinari tubuh Aroe yang penuh luka. Darahnya merembes dari bahu, lengan, dan paha. Pipinya tergores tipis. Meski napasnya berat, ia tetap berdiri, kemeja putihnya menempel pada kulit yang basah oleh keringat dan darah.
Damian berdiri di seberang, tubuh tegap, sarung tangan terpasang sempurna. Napasnya panjang-panjang, menahan emosi yang bercampur dengan rasa iba. Ia melihat darah mengalir di balik kemeja lawannya, tapi wajah Aroe tetap dingin.
Damon bersandar di pagar ring, tangan terlipat di d**a. Senyum tipisnya seperti binatang buas yang menemukan mangsa menarik. “Ini penentu, Aroe,” suaranya berat. “Tunjukkan padaku.”
Bel berbunyi. “Ting!”
Damian maju satu langkah. Pukulan kanan lurus melesat ke arah wajah Aroe.
DUAK!
Aroe menangkis setengah, namun tetap terhuyung. Napasnya tersendat.
Damian tidak memberi jeda. Pukulan melingkar dari samping kiri ke arah perut, tendangan rendah menghantam paha.
BAGH! TAK!
Aroe mengerang pelan, kaki kirinya goyah, darah segar keluar dari luka lama.
Ia mundur setapak, tangan mengangkat tinggi untuk bertahan. Dalam kepalanya suara Caleb bergema, “Tarik napas. Jangan panik. Baca gerakan lawanmu.”
Damian mendekat lagi. Kali ini pukulan mengayun ke arah dagu.
DUGG!
Aroe menggeser kepala, dagunya nyaris kena. Angin pukulan itu terasa seperti besi panas di wajahnya.
Tubuh Aroe terhuyung ke tali ring, napasnya memburu. Damian bisa melihat darah di bibirnya. Ada jeda. Damian bertanya lirih, “Kau yakin mau lanjut?”
“Lanjut,” suara Aroe pendek. Ia menatap balik, tatapannya tajam.
Damian mengangguk pelan. Keduanya kembali memasang kuda-kuda.
Serangan berbalas mulai jadi tarian: Damian menendang paha kanan Aroe.
THAK!
Aroe menahan, balas dengan pukulan lurus ke bahu Damian.
DUUG!
Tubuh Damian sedikit mundur. Mereka berputar mengitari ring, kaki mereka berdecit di atas kanvas.
Damian melancarkan kombinasi: pukulan cepat lurus ke kiri, pukulan melingkar samping kanan ke rusuk, tendangan ke pinggang.
BUGH! BAGGH! THAK!
Semua menghantam tubuh Aroe yang mulai lambat. Ia membungkuk, menahan nyeri di perut.
Dalam hati, Aroe bergumam, “Latihan dengan Ayah angkatku lebih keras dari ini. Aku tidak akan kalah.”
Ia maju lagi. Pukulan presisi mulai ia lepaskan: pukulan cepat ke d**a Damian.
DUGH!
Pukulan melingkar ke samping rusuk kiri.
DUGG!
Damian meringis. Ada rasa kagum bercampur sakit di wajahnya.
Mereka makin dekat. Napas keduanya berat. Keringat menetes bercampur darah di lantai ring.
Damian memutar pinggang, tendangan keras ke d**a Aroe.
DUMMMM!
Tubuh Aroe terangkat sedikit, jatuh berlutut. Napasnya sesak. Pandangannya berkunang-kunang. Dalam kepalanya lagi-lagi suara Caleb terdengar.
“Saat tubuhmu lemah dan kau terdesak, temukan celah. Kelemahan lawanmu ada di sana.”
Aroe meludah, darahnya menodai kanvas. Damian mendekat, menjaga jarak. “Mau lanjut atau berhenti, pria kecil?” suaranya tetap dingin.
Aroe mengangkat wajah, matanya berkilat. “Lanjut.” Ia memasang kuda-kuda lagi.
Damon di sisi ring tersenyum lebih lebar, predator yang menikmati bau darah itu menikmati pertandingan ini. Sorak para pengawal mulai terdengar pelan.
Serangan brutal kembali dimulai. Damian memukul kiri-kanan, tetapi Aroe semakin gesit. Ia menghindar, merunduk, menunggu timing yang tepat.
Saat Damian mengayun tinju kanan, sisi perut kirinya terbuka.
"Ini dia…" batin Aroe.
BUAGGHH!
Tinju Aroe menghantam perut bawah kiri Damian, tepat di area liver. Damian meringis, tubuhnya tertekuk.
Aroe tak berhenti. Pukulan kedua mengarah ke rusuk kanan lawannya. BUGHH!
Damian mundur setapak, napasnya berat.
Pukulan kiri dan kanan Aroe menghantam rahang Damian.
DAGH! DAGHH! Kepala Damian terpental.
Gerakan terakhir, Aroe melompat, kaki kanan terangkat, menghantam tengkuk belakang Damian.
BUGHH!
Damian tak sempat menangkis. Tubuhnya oleng. Detik berikutnya, tendangan memutar Aroe menghantam d**a Damian keras-keras.
BUAAGHH!
Tubuh Damian jatuh menghantam kanvas ring, suara benturannya menggema.
Aroe tak buang waktu. Ia langsung melompat naik ke d**a Damian, lututnya menekan leher lawannya. Tinju demi tinju mendarat di wajah Damian.
DUGG! DUGG! DUGG!
Damian menutup wajahnya dengan kedua tangan, sesak oleh tekanan lutut di lehernya. Napasnya tersengal. Hingga beberapa detik kemudian.
“Cukup… aku kalah… aku kalah…” suara Damian pecah, tersengal di bawah tekanan.
Aroe berhenti, napasnya tersengal. Keringat bercampur darah mengalir deras di wajahnya. Pandangannya kabur dan lemas. Ia tak sengaja terkulai di atas Damian. Damian terkejut, tapi ia sadar lawannya belum pingsan, hanya lelah.
Damon bertepuk tangan pelan. “Bagus sekali.” Suaranya membuat Aroe tersentak. Ia bangkit perlahan, tubuhnya limbung namun tetap berdiri. Damian juga berdiri, menatap Aroe dengan tatapan berbeda, kagum sekaligus heran. Perlahan senyum kecil muncul di bibirnya.
“Selamat, Aroe,” ucap Damon lantang. “Kau membuktikan layak menjadi pengawal pribadiku.”
Sorak sorai pengawal meledak di sekitar ring. Suara mereka memenuhi ruangan.
Damian mendekat perlahan, menatap Aroe yang sedikit limbung. Ia mengulurkan tangan. “Kau hebat,” katanya lirih. "Selamat datang di dunia kami."
Aroe menatapnya sebentar, menerima uluran itu. Senyum tipis muncul di bibirnya. Meski tubuhnya gemetar, tatapannya tetap menusuk.