Bab 6: Hampir saja...

1533 Words
Tepuk tangan pecah, keras dan berat seperti dentum guntur yang mengguncang dinding aula latihan. Suara itu berasal dari satu orang, Damon Valerius Kael, yang berdiri tegap di tepi ring. Setiap tepukannya seperti komando yang memaku puluhan pasang mata pada sosok di tengah arena. Aroe Caldwell masih berdiri di sana. Nafasnya memburu, dadanya naik turun. Rambut cokelat gelapnya menempel di kening karena keringat, kemeja putihnya koyak dan bernoda merah kecokelatan. Setiap tarikan napas terasa seperti ujung pisau yang menggores paru-paru. Namun tatapan matanya tetap tajam. “Aroe Caldwell!” suara Damon menggema, berat dan dingin tapi penuh kekaguman. “Kau bukan sekadar satpam biasa. Kau sudah membuktikan dirimu. Mulai detik ini, kau adalah pengawal pribadiku. Posisi ini lebih tinggi dari pengawal manapun di sini. Seluruh anak buahku harus menghormati orang baruku!" Desis kecil terdengar di antara kerumunan pengawal lain. Beberapa menatap Aroe dengan sinis, sisanya memasang wajah kaku. Aura permusuhan pekat di udara, tapi tak satu pun berani membantah. Perintah Damon adalah hukum. Aroe menunduk, tidak berani menatap balik. Tubuhnya memang kaku, tapi pikirannya berputar cepat. Bagi mereka, Aroe adalah pendatang baru yang tiba-tiba menggeser hierarki. Namun, tak ada yang berani membantah perintah mutlak dari Damon. Langkah berat mendekat. Sepatu kulit Damon menginjak lantai marmer di bawah ring, suaranya teratur dan tegas. Dalam hitungan detik, pria itu sudah berdiri tepat di hadapan Aroe. Mata abu-abunya menelusuri memar di lengan, bahu, dan wajah Aroe. “Lukamu parah,” suaranya rendah namun jelas. “Aku akan memanggil dokter.” Aroe menggeleng, menelan ludah. "Tidak perlu, Tuan. Memar ini... bisa dikompres, pasti akan sembuh sendiri," jawabnya, suaranya terkendali meskipun tubuhnya berteriak kesakitan. “Jangan membantah.” Nada Damon tajam, seolah udara di sekitarnya membeku. Aroe otomatis terdiam. Perintah itu seperti pengunci, menghapus seluruh pilihan. “…Baik, Tuan,” Aroe akhirnya mengangguk. Damon memberi isyarat pada asistennya, Damian, lalu menatap Aroe sebentar sebelum berbalik. “Ikut aku.” Koridor menuju kamar tamu terasa panjang. Dindingnya abu-abu gelap, dihiasi lukisan abstrak yang nyaris tak bisa dibaca maknanya. Lampu gantung berwarna keemasan menebar cahaya hangat, menciptakan bayangan panjang di lantai marmer. Aroe berjalan setengah pincang di belakang Damon, tubuhnya menahan rasa sakit. Mereka memasuki kamar luas beraroma lily segar. Sebuah sofa hitam berada di tengah, di depan ranjang besar berseprai putih bersih. Damon duduk di sofa dengan kaki tersilang, matanya tak lepas dari Aroe. “Duduk.” Aroe menurut. Tak lama kemudian pintu terbuka. Seorang pria muda berseragam putih medis masuk dengan langkah ragu. “Tuan Damon, saya dokter yang Anda panggil,” katanya lirih. “Periksa dia,” perintah Damon singkat. Dokter itu mendekat. “Tuan Aroe, kelihatannya cedera Anda cukup berat…” Ia memandang memar di lengan dan bahu Aroe. “Tidak perlu khawatir, Dokter,” Aroe mendahului. “Saya terbiasa menahan rasa sakit.” jawabnya dengan suara terkendali, berusaha meyakinkan dokter agar tidak terlalu dekat dengan d**a yang terluka. Tendangan keras dari Damian terasa seperti menghancurkan tulangnya, dan rasa nyeri itu terus-menerus mengancam untuk merenggut kontrol dirinya. “Pemeriksaan tetap perlu,” ujar dokter itu tenang. Ia menyiapkan stetoskop. “Tolong tarik napas dalam.” Aroe menarik napas. Nyeri tajam menusuk dadanya, tapi ia menahan ekspresi. Dokter menempelkan stetoskop ke punggungnya. “Ada ketegangan otot, tapi tidak terdengar cedera serius,” gumamnya. “Apakah ada nyeri parah saat bergerak?” “Tidak, Dokter. Hanya memar.” Dokter mengangguk, meski matanya tetap penuh tanya. Ia memeriksa lengan, bahu, dan perut Aroe, menekan titik-titik tertentu. Aroe mengatur posisi duduk, menekuk tubuh ke depan agar lilitan kain tetap tersembunyi. Gerakannya begitu natural sehingga tak terlihat seperti menyembunyikan sesuatu. Setiap luka dibersihkan, diolesi salep antiseptik. Aroe menahan diri, bibirnya nyaris menggigit. Ia tahu dokter itu sedang mencoba memastikan apakah dia berbohong. Sesekali tatapan dokter terarah ke wajahnya, namun Aroe menatap balik dengan dingin. Akhirnya pemeriksaan selesai. Dokter berbalik pada Damon. “Tuan, tidak ada cedera serius. Hanya memar berat dan ketegangan otot. Saya sudah membersihkan lukanya. Dia… sangat kuat, Tuan.” Damon hanya mengangguk pelan, tetap menatap Aroe dengan tajam. “Berikan resepnya,” ucap Damon. Dokter menulis beberapa nama obat, menyerahkan kertas itu. “Ini resepnya, Tuan. Ini obat untuk mengurangi nyeri, obat untuk mempercepat penyembuhan memar, dan salepnya. Saya juga sudah menuliskan prosedur kompres yang tepat. Untuk 24 jam pertama, kompres dengan air dingin agar pembuluh darah menyusut dan bengkak tidak meluas. Setelah itu, baru gunakan air hangat untuk melancarkan sirkulasi dan mempercepat penyembuhan. Saya harap Tuan Aroe segera pulih." Damon mengambil resep itu dengan gerakan cepat, melihatnya sekilas. “Kau boleh pergi,” ucapnya dingin. Dokter itu mengangguk, tapi saat ia merapikan alat-alatnya, matanya tanpa sengaja menangkap sesuatu di balik kemeja Aroe. Sebuah kain melilit erat di sekitar dadanya, bukan sekadar perban biasa. Alis dokter itu sedikit berkerut. "Tuan Aroe, Anda mengalami cedera di d**a?" tanyanya, suaranya terdengar penuh rasa ingin tahu. Aroe langsung menegang. "Ya, hanya sedikit memar," jawabnya cepat. Dokter itu masih menatapnya, pikirannya mencoba mencari jawaban yang masuk akal. "Biasanya, orang tidak melilit kain begitu erat kecuali ada luka serius. Jika Anda mengalami kesulitan bernapas atau nyeri di d**a, Anda harus memberi tahu saya." Aroe mengangguk cepat, berharap dokter itu tidak bertanya lebih jauh. "Terima kasih, tapi aku akan baik-baik saja." Dokter masih tampak ragu, tetapi akhirnya memilih tidak memperpanjang masalah. Ia menutup tas medisnya dan berdiri. "Saya permisi tuan." Dokter membungkuk dan cepat-cepat keluar. Keheningan turun. Damon masih di sofa, menatap Aroe seperti menatap teka-teki. ​"Kelihatannya... ini semakin rumit," gumamnya dalam hati. ​"Sekarang, kau istirahat," suaranya datar. "Hari ini cukup untuk uji kemampuanmu. Besok, rutinitasmu akan dimulai. Pelayan akan mengurus semua kebutuhanmu dan memastikan luka-lukamu terawat." Aroe menunduk, senyum tipis muncul di wajahnya. Aroe berdiri, hendak pamit. “Baik, Tuan. Saya...” baru saja kakinya melangkah, tiba-tiba suara Damon terdengar, serak namun dingin seperti es. “Siapa bilang kau boleh pulang?” potongnya. Aroe terhenti, membeku ditempatnya. “Mulai sekarang, kau tinggal di mansionku. Ke mana pun aku pergi, kau ikut. Kau pengawal pribadiku, jadi harus berada di sisiku, kau harus melindungiku setiap saat.” Aroe membeku. Dalam hati ia mengumpat. "f**k. Aku harus memakai topengku setiap hari di sini? Ini gila." Damon tersenyum tipis, seolah membaca pikirannya. “Kau mengumpatku, Aroe.” Aroe cepat-cepat mengggeleng lalu menunduk. “Tidak, Tuan. Saya hanya… terkejut. Tempat ini begitu mewah untuk ku tinggali.” Damon berdiri. Langkahnya mendekat. Aroe mundur satu langkah, tubuhnya tegang. Tangan Damon terulur, memegang dagu Aroe, memaksa wajahnya terangkat. Mata cokelat Aroe bertemu mata abu-abu Damon. Jantungnya berdegup cepat. “Kau unik, Aroe,” suara Damon rendah. “Bahkan… menarik. Iris matamu indah, cokelat berkilau. Mengingatkanku pada sesuatu yang tak pernah kulupakan.” Aroe terdiam, hatinya berdebar tak karuan. "Ada apa di balik tatapan itu? Mengapa Damon begitu terobsesi pada matanya?" Ia hanya bisa terdiam, menahan gemetar, dan berkata singkat, "T-terima kasih, Tuan." Damon melepaskan genggamannya. “Sekarang, istirahatlah.” Ia melangkah ke pintu. Sebelum keluar, ia melirik sekilas, matanya menyipit seperti menyimpan rahasia. Lalu pintu tertutup. Aroe duduk di tepi ranjang, mengatur napas. "Ini kandang singa. Dan singa itu mulai tertarik pada iris matanya? Ayah harus tahu." gumamnya dalam hati. Ia mengambil ponsel, menekan nomor Caleb. Sambungan tersambung. “Baiklah,” suara Caleb terdengar tenang. “Teruskan rutinitasmu. Jangan sampai penyamaranmu terbongkar.” “Baik, Ayah.” Klik. Sambungan putus. Aroe berbaring sejenak diranjang, menempelkan kepala ke bantal, mencoba menenangkan rasa sakit di d**a. "Istirahat sebentar... mendinginkan pikiran... itu tidak apa-apa," bisiknya, menatap langit-langit kamar, lalu menutup mata sejenak, memejamkan tubuh yang lelah dan otak yang tegang. Beberapa jam kemudian, ketukan pelan terdengar di pintu. Aroe segera bangkit. Pintu terbuka, seorang wanita paruh baya berwajah lembut masuk dengan nampan berisi makan siang mengepul, sebotol air, obat serta salep yang diresepkan dokter, es terbungkus kain, lalu tak lupa kotak P3K kecil disampingnya. “Tuan Aroe, ini makan siang dan obat-obatan dari Tuan Damon. Saya diperintahkan merawat luka Anda,” katanya lirih. Aroe menatap kotak P3K, jantungnya berdebar. “Terima kasih. Tapi saya bisa melakukannya sendiri.” Pelayan itu tampak cemas. “Tapi Tuan Damon memerintahkan saya...” “Tidak apa-apa,” Aroe menatapnya lembut. “Saya lebih nyaman melakukannya sendiri. Saya janji akan segera pulih.” Pelayan itu ragu, lalu menghela napas. “Baiklah, Tuan. Jika Anda butuh sesuatu, panggil saya.” Ia menunduk dan keluar. Pintu tertutup. Aroe bersandar di baliknya, menghela napas lega. Ia menuju ranjang, membuka kotak P3K, dan mengeluarkan salep serta es terbungkus kain. Membuka dua kancing kemeja yang menempel kaku, ia mendesah pelan melihat memar keunguan di d**a dan perutnya. Ia menempelkan es perlahan pada memar di d**a. Desis napas tajam lolos dari bibirnya. Kulitnya seperti terbakar oleh dingin. Tangan bergetar, namun ia tetap fokus. Setelah mati rasa, ia beralih ke memar lain, mengoleskan salep dengan hati-hati. Setelah selesai, ia duduk di sofa, mengambil piring makan siang. Rasanya hambar, tapi ia memaksakan diri. Ia menelan obat sesuai anjuran. Hanya istirahat total yang bisa mengembalikan energinya. Aroe berbaring di ranjang, menutup mata kembali. Tubuhnya lelah, pikirannya tegang. "Aku harus bertahan. Aku tidak boleh lengah." Perlahan-lahan kesadaran menipis. Di luar, hujan turun tipis, menimpa jendela besar kamar itu. Tetesannya seperti bisikan rahasia. Dalam bayangan samar-samar di balik pintu, sebuah siluet berdiri beberapa detik sebelum menghilang. Aroe tidak melihatnya. Namun sesuatu memberi isyarat samar, dia tidak sepenuhnya sendirian.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD