Estu hanya bisa tercenung melihat kepergiaan Gita dan Bobby. Ada semacam rasa tidak terima melihat Gita bersama pria itu. Rasanya dia ingin menarik Gita dari genggaman Bobby dan menegaskan bahwa dia adalah suaminya sehingga Bobby menyadari bahwa Gita adalah miliknya. Tapi itu hanya keinginan saja. Nyatanya dia tidak punya nyali untuk melakukan itu. Bukan karena takut pada Bobby, ini karena ada semacam perasaan tidak pantas. Suami hanya status, tidak lebih.
Estu menghela nafas panjang sebelum akhirnya mengambil duduk di bangku panjang yang ada di dekatnya. Jarak beberapa detik kemudian ponselnya bergetar dari dalam saku celana. Estu mengeluarkan ponsel tersebut dari dalam sana. Dia langsung tertegun begitu melihat nama 'Pak Atmoko' di layarnya.
"Halo, assalamu'alaikum tuan...." sapa Estu begitu ponselnya di dekatkan ke daun telinga.
"Wa'alaikumsalam, kamu dimana sekarang Estu?"
"Di kampus tuan."
"Apakah Gita ada di sampingmu?"
"Ee... tidak tuan."
"Kemana dia?"
"Tadi sih dia masuk ke dalam gedung bersama Bobby."
"Dan kamu membiarkannya pergi bersama Bobby."
"I-iya tuan. Adakah yang salah?"
"Itu jelas salah. Gita itu istri kamu tapi kamu biarkan dibawa pria lain. Pikiran kamu itu kamu taruh dimana? Tolong jadi suami yang tegas. Katakan bahwa kamu adalah suaminya pada si Bobby itu. Gita tidak akan berubah jika terus bersama pria itu. Bobby memberi pengaruh yang buruk pada Gita."
Estu mengulum bibirnya mendengar penjelasan Atmoko. Dia juga sebenarnya tanpa diperintah ingin melakukan itu. Tapi ada satu sisinya yang melarangnya melakukan itu.
"Hmm... begini Pak, maaf sebelumnya," ucap Estu kemudian. "Bukan saya tidak mau melakukan itu, pak. Saya pun ingin melakukannya. Akan tetapi, Gita butuh waktu untuk menerima saya dan pernikahan ini. Saya takut jika terlalu dipaksakan, dia malah akan memberontak. Aku tau salah jika membiarkan Gita bersama Bobby. Tapi aku ingin memisahkan mereka secara pelan-pelan saja, tidak terburu-buru."
"Oya, menurutmu itu cara yang benar?"
"Aku tidak tau ini benar apa tidak tuan. Tapi semalam ketika aku masuk ke dalam kamar, aku mendapati Nona Gita menangis dan kamarnya berantakan seperti kapal pecah. Ini artinya dia merasa begitu terluka dengan pernikahan ini. Aku merasa kasihan karena hal ini. Aku ingin tau bagaimana isi hatinya dulu pak."
Hening.
Tak ada balasan dari seberang. Atmoko tengah merenung saat ini. Ada sesuatu yang disadari oleh pria itu.
"Baiklah kalau begitu. Aku ikut dengan pola pikir kamu jika menurutmu benar. Dia memang sudah menjadi tanggung jawabmu dan sepertinya aku harus membiarkan kamu yang mendidiknya dengan caramu juga. Aku memang terlalu keras dalam mendidiknya selama ini. Lanjutkan apa yang menurut kamu benar."
"Baik Pak. Terima kasih atas kepercayaan bapak untuk menyelesaikan ini dengan cara saya."
"Ya. Sama-sama."
Tak lama kemudian obrolan di antar mertua dan menantu itu berakhir. Estu menyimpan kembali ponsel ke dalam saku celananya. Namun, untuk menghilangkan rasa bosannya menunggu, Estu memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar kampus. Syukur-syukur dia bisa menemukan Gita dan Bobby sehingga bisa memperhatikan mereka berdua dari jarak jauh. Jadi langkah kakinya kini adalah masuk ke dalam gedung.
.
.
Kampus ini memang sangat megah dan bagus. Bangunannya didominasi dengan kaca dan bentuknya rumit. Dulu waktu kecil dia sangat berharap bisa kuliah, tapi karena keadaan yang tidak memungkinkan, Estu malah bekerja mencari uang.
Suasana di dalam gedung kampus sangat ramai. Para mahasiswa berjalan hilir mudik. Ada yang berjalan sambil mengobrol dengan temannya, ada yang sambil mengobrol di telpon, dan ada yang berjalan dengan terburu-buru. Kampus lebih ramai dari perusahaan.
Sementara di salah satu sisi dua orang wanita memperhatikan Estu.
"Eh, siapa tuh? Perasaan baru kali ini deh lihat tuh orang."
"Iya, aku juga belum pernah lihat. Seperti sedang kebingungan juga."
"Menarik ya?"
"Maksud kamu?"
"Kamu pernah baca Novel ayat-ayat cinta karya Habiburrahman El Shirazy tidak?"
"Ingat dong. Novel yang beberapa tahun lalu difilmkan itu 'kan?"
"Yup."
"Terus apa hubungannya dengan cowok itu?"
"Kharismanya seperti Fahri si tokoh utama. Sederhana tapi manis."
"Sepertinya kamu benar. Dia juga terkesan dewasa. Mungkin tidak sih kalau dia mahasiswa S2 yang baru pindah makanya bingung?"
"Bisa jadi."
"Samperin yuk."
"Boleh."
Kedua wanita itu mendekati Estu.
"Hai, mas! Baru ya disini?"
Fahri tersenyum membalas sapaan kedua wanita itu. "Lebih tepatnya saya hanya berkunjung saja di sini. Saya mengantar... Nona saya?"
Kedua mata wanita itu melebar. "Nona? Mas ini seorang supir atau apa?"
"Ya, mungkin bisa dikatakan begitu."
Kedua wanita itu angguk-angguk tanda mengerti.
"Kalau begitu mas ini supirnya siapa?"
"Nona Gita."
"Oh. Gita." Wanita itu berbisik di telinga temannya. "Beruntung banget Gita punya supir seperti dia."
"Dia memang selalu beruntung. Punya kekasih mahasiswa paling difavoritkan di kampus, eh supirnya ternyata juga manis sekali."
"Kira-kira mbak-mbak berdua melihat Non Gita tidak?" Tiba-tiba Estu bertanya, membuat kedua wanita itu sedikit terhenyak.
"Ee... Gita. Tadi sih ke arah kantin. Mungkin dia memang kesana."
"Memangnya kantinnya di mana mbak? Saya mau kesana."
"Ke arah sana, mas." Salah satu dari wanita itu menunjuk ke arah kirinya. "Terus saja sampai menemukan tulisan kantin. Nah, di situlah tempatnya berada."
"Baik, terima kasih. Saya ke sana sekarang." Estu sedikit membungkukkan badannya sebelum akhirnya melangkah meninggalkan dua wanita itu. Kedua wanita itu menghendikan bahu.
Setelah berjalan mengikuti petunjuk kedua wanita tadi, Estu menemukan kantin yang dimaksud. Pria itu pun melongokkan kepalanya untuk mencari Gita. Setelah memastikan Gita ada di dalam sana, barulah dia masuk. Tidak mendekati Gita, Estu duduk di meja kosong yang agak jauh dari Gita duduk. Tak ada niat untuk mengganggu Gita dengan Bobby, tujuan Estu ke kantin hanya untuk mengawasi saja.
Ternyata kedatangan Estu di ketahui oleh Bobby, pria blasteran Indonesia Belanda itu langsung mencolek Gita. "Bodyguard kamu tuh, nyusul."
Gita terhenyak dan langsung menoleh. Tatapannya langsung bertemu pandang dengan tatapan Estu yang sendu. Tapi dia tidak perduli. Bahkan dia akan menjaga sikap dengan Bobby meskipun suaminya itu mengawasi. Menurutnya, salah Estu sendiri mengapa ingin menjadi suaminya. Sekarang Estu rasakan sendiri akibatnya.
"Sudah, biarkan saja. Anggap dia tidak ada di sana," ucap Gita kemudian setelah mengembalikan pandangan pada Bobby Kembali.
"Tapi aku benar-benar tidak habis pikir kenapa papa kamu harus memberimu bodyguard. Padahal kamu tidak pernah mengalami kejadian berbahaya. Tunggu!" Bobby menjeda ucapannya seolah teringat akan sesuatu. "Jangan-jangan papamu memberimu bodyguard bukan hanya untuk mengawasinya tapi mengawasi kita."
Gita mengulum bibir. Tebakan yang benar. Namun dia tidak mau mengatakan yang sejujurnya. Dia takut kehilangan Bobby. Mereka sudah sangat dekat dan sebenarnya ingin menikah. Tapi Atmoko tidak pernah memberi restu.
"Papamu masih tidak merestui hubungan kita bukan?" tambah Bobby.
Gita menundukkan wajahnya. Dia mungkin bisa menyangkal kalau Estu adalah suaminya, tapi dia tidak bisa menyangkal kalau papanya tidak merestui hubungan mereka karena Bobby sudah mengetahuinya.
Tak mendapatkan jawaban, Bobby menghela nafas panjang. "Hhh, aku tidak tau harus bagaimana menghadapi papa kamu itu. Mengapa dia begitu mudah menilai bahwa pria yang pergi ke klub malam adalah pria yang tidak baik? Padahal aku sangat mencintaimu dan selalu melindungimu."
Gita menggenggam tangan Bobby. "Maafkan aku ya, Bob. Maafkan aku karena masih belum bisa menyakinkan papa."
"Tapi sampai kapan?" tanya Bobby dengan nada lelah. "Kita sebentar lagi selesai kuliah. Kita pasti akan jarang bertemu."
Sementara itu, Estu terus memperhatikan Dua orang itu. Meskipun tidak bisa mendengar apa yang mereka obrolan, Estu tahu pembicaraan mereka serius. Mereka terlihat saling mencintai satu sama lain.
Bersambung...