Bodyguard

1322 Words
“Nanti kamu kuliah di antar oleh Estu,” ucap Atmoko ketika keluarga itu tengah sarapan di meja makan. Gita yang hendak menyuapkan roti tawar isi selai kacang ke mulutnya langsung menaruh roti tawar tersebut ke atas piring kembali. Dia langsung kehilangan selera makan seketika dan rasa laparnya menguar entah kemana. “Yang benar saja aku diantar ke kampus sama dia? Papa pikir aku anak es-de yang bisa hilang? Selama ini aku juga berangkat sendiri bukan?” protes Gita. “Ini bukan masalah hilang atau tidak. Tapi papa ingin kekasih kamu tau kalau kamu sudah bersuami. Papa ingin dia jauh-jauh dari kamu," balas Atmoko tak mau kalah. Gita mengerutkan dahi dengan bibir menyeringai. “Salah apa Bobby pada papa sehingga papa begitu membencinya? Tidak ada bukan? Dia sayang padaku dan… dia juga anak orang kaya. Dibandingkan dengan pria yang duduk di sebelah papa, Bobby jelas jauh lebih baik.” Estu yang sedang mengunyah, merasa tertohok dengan ucapan Gita. Atmoko geleng-geleng kepala. "Jaga bicara kamu di depan suami kamu, Git. Estu ini punya perasaan kamu banding-bandingkan begitu. Lagian, sayang macam apa jika kerjanya ngajak kamu ke klub malam dan minum-minuman keras? Itu namanya dia ingin menghancurkanmu!” “Tapi aku happy, pa. Aku suka. Jadi aku ke sana juga atas keinginan aku sendiri.” “Kamu suka dengan apa yang kamu lakukan sekarang itu karena kamu bergaul dengan orang-orang yang salah. Makanya mulai hari ini kamu harus menghentikannya. Bilang padanya bahwa kamu sudah punya suami!” “Aku tidak mau, pa! Aku tidak mau kehilangan Bobby! Kenapa tidak pria yang di sebelah papa saja yang papa minta untuk aku tinggalkan?" "Gita! Sudah papa bilang jaga ucapan kamu!" bentak Atmoko. "Mendengar dari ucapan kamu, tampaknya kamu lebih memilih Bobby dari pada papa?!” “Kalau iya kenapa?!” tantang Gita. “Kamu ini benar-benar anak yang buruk!” “Terserah papa mau bilang apa, yang penting aku bahagia.” Atmoko langsung terdiam begitu Gita mengatakan itu. Bukan kalah, tapi mencoba untuk mengalah. Dia tidak mau pagi-pagi begini sudah terjadi perang omongan di rumah ini. “Lagian….” Gita menambahkan sembari melirik Estu yang duduk di Atmoko. “Bukannya menantu kesayangan papa itu harus bekerja? Masak dia tiap hari mengawalku terus?” “Hanya untuk hari ini saja.” Kali ini Estu yang menjawab pertanyaan Gita. Bukan apa, dia tidak ingin Gita terus terlibat perdebatan dengan Atmoko. “Pak Atmoko ingin hari ini kita berjalan berdua agar saling mengenal satu sama lain.” “Memangnya itu perlu?” sahut Gita cepat dengan ekspresi merendahkan. “Harusnya perlu, Non. Meskipun Nona tidak menghendaki pernikahan ini, nyatanya kita sudah menjadi pasangan suami istri.” Entah mendapat keberanian darimana Estu mengatakan itu, yang pasti itu yang ingin dia katakan. Estu merasa tidak nyaman dengan perdebatan Atmoko dan Gita. Dia merasa menjadi penyebab perdebatan itu. Sementara itu, Atmoko tersenyum mendengar jawaban Estu. Dia tidak menyangka Estu bisa berkata seperti itu. Berbeda dengan Atmoko, beda juga dengan Gita. Wanita itu mengencangkan rahangnya dengan jemari yang mengepal. Ucapan Estu yang mempertegas status di antara mereka, membuat Gita benci dengan kenyataan ini. Set! Gita langsung berdiri dari duduknya. Kesabarannya sudah habis. Dia muak berada di antara Estu dan Atmoko. “Aku mau berangkat sekarang. Kalian merusak suasana hatiku.” Gita bergerak meninggalkan meja makan dengan langkah cepat. Melihat hal itu, Atmoko langsung menyikut Estu dan gerakan dagunya meminta menantunya itu untuk menyusul dan ikut dengan Gita. Estu mengangguk hormat sebelum akhirnya berdiri dari duduknya menyusul Gita. “Non, biar saya saja yang menyetir!” seru Estu begitu Gita hendak membuka pintu kanan depan mobil. Bola mata Gita bergerak ke atas. Ternyata suami yang dipanggilnya gembel itu benar-benar akan mengantarnya. “Hei gembel, dengarnya, kamu mungkin menurut pada perintah papaku, tapi tidak begitu denganku. Jadi lupakan kalau kamu mau meng---“ Syut! Belum selesai Gita meneruskan kata-katanya, Estu merebut kunci mobil dari tangan wanita itu. “Maaf Non, bos saya adalah Pak Atmoko. Jadi saya harus menurut pada perintah Pak Atmoko. Sekarang masuklah! Biar saya yang menyetir.” Melihat ketegasan Estu, Gita merasa ciut juga. Bagaimana tidak, ternyata kalau sudah memberi ketegasan, si gembel bisa membuat nyali orang lawan bicara melemah seperti terkena sihir. Satu hal yang disadarinya, Estu memiliki sebuah kharisma yang kuat. Tak berani melawan, Gita pun masuk ke dalam mobil. Percuma mempertahankan pendapatnya, dia tidak akan menang jika si hadapkan dua laki-laki, papanya dan Estu. Tak lama kemudian, mobil berwarna merah muda itu melaju meninggalkan halaman rumah, menyusuri jalanan dengan kecepatan sedang. Sepanjang perjalanan, Gita berkali-kali melirik Estu. Dia mencari-cari sebab papanya memilihkan pria itu menjadi suaminya. Tapi semakin diperhatikan, Gita tidak menemukan jawaban yang diinginkannya. Atau kharismanya itu yang membuat papanya jatuh hati. “Apa yang ingin Nona tanyakan, tanyakan saja kepada saya langsung, Non. Kesempatan ini memang seharusnya digunakan untuk saling mengenal. Apa pun itu, akan berusaha untuk aku jawab sejujur-jujurnya.” Rupanya sejak tadi Estu memperhatikan apa yang dilakukan oleh Gita. Itu sebabnya dia langsung berkata seperti itu. Gita memiringkan bibirnya merendahkan. “Kamu pikir aku penasaran sama gembel seperti kamu? Aku hanya heran jampi-jampi yang kamu gunakan untuk memikat hati papa hingga dia menikahkanku denganmu?” Estu menipiskan bibir mendengar tanya Gita. “Jika Nona tau ceritanya, Nona tidak akan bertanya seperti itu.” Dahi Gita mengerut. “Memang ada yang salah dengan pertanyaanku?” Estu menggeleng kecil. “Tidak. Tidak ada yang salah. Tapi untuk pertanyaan yang satu ini lebih baik Nona tanya sendiri pada Pak Atmoko. Saya takut salah dalam menjawa. ” Gita menyeringai. “Katanya akan menjawab semua pertanyaanku.” “Itu tentang saya. Bukan tentang alasan kenapa kita bisa menikah.” “Tentang kamu? Aku tertarik.” Gita memalingkan wajahnya keluar jendela yang ada di sampingnya. Estu terdiam. Jika memang Gita tidak mau mengetahui tentang dirinya. Dia tidak memaksa. Dan untuk menceritakan alasan mereka menikah, dia mau. Itu sama dengan membuka aib Atmoko. “Bagaimana kalau saya saja yang bertanya tentang Nona?” “Lupakan! Aku tidak mau berbagi cerita denganmu!” jawab Gita ketus. Estu menghela nafas kecewa. “Baiklah kalau begitu.” Selanjutnya perjalanan mereka penuh keheningan. Tidak ada lagi obrolan di antara mereka. Hanya suara deru kendaraan yang terdengar. Atmosfer itu terus berlangsung hingga mereka sampai di kampus tempat Gita menimba ilmu. Sebuah kampus swasta elite dengan biaya mahal. Drrrt... Drrrt.... Terdengar suara getar dari dalam tas Gita. Wanita itu segera mengeluarkan benda pipih itu dari dalam sana dan menempelkannya di telinga. "Hai, sayang...." ucapnya kemudian yang membuat Estu menoleh. Meski dia tahu kalau Gita sudah punya kekasih, namun ketika mendengar istrinya memanggil sayang pada orang lain seperti ada yang memukul hatinya. Dia seperti tidak bisa menerima. "Iya, aku susah sampai kampus kok. Kamu dimana sekarang?" Gita meneruskan obrolannya di telpon. "Oh, mau kesini. Ya sudah, aku tunggu di sini. Cepetan dikit jalannya ya. Oke sayang." Gita memasukkan kembali ponselnya ke dalam tasnya sebelum akhirnya keluar dari mobil. Estu pun melakukan hal yang sama, keluar dari mobil. Tak lama setelah itu, seorang pria tampan berkulit putih bersih datang menghampiri Gita. Tidak hanya menghampiri, pria itu juga mencium pipi Gita dan memeluk. Melihat adegan itu, Estu menelan salivanya. Awal sebelum menikah dia yakin tidak mencintai Gita, nyatanya ketika Gita sudah menjadi istri rasa cemburu muncul begitu istrinya tersebut mesra dengan pria lain. "Lho, dia siapa, Git?" tanya Bobby -kekasih Gita setelah melepaskan pelukannya. "Dia bodyguard sekaligus supirku yang baru. Namanya. Estu." Tanpa pikir dua kali Gita mengatakan itu. Estu merasa prihatin mendengar jawaban Gita. Tapi untuk jujur siapa sebenarnya dirinya pada Bobby, istrinya itu pasti marah. "Bodyguard?" Bobby masih bingung. "Bodyguard bagaimana? Kamu pakai bodyguard untuk apa? 'Kan ada aku. Malah bikin ribet lho." "Itu keinginan papa. Ya... daripada aku harus berdebat mengenai persoalan sepele dengan papa, aku iyakan saja ditemani bodyguard." "Tapi aku tidak setuju kalau kamu pakai bodyguard, Git." "Ya, sama. Aku juga tidak setuju." Gita mengendikkan bahu. "Tapi... apa boleh buat." Bersama Bobby, dia masuk ke dalam gedung kampus meninggalkan Estu sendirian." bersambung.... ...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD