Gita Yang Keras Kepala

1483 Words
Ditatap seperti itu, Estu keder. Dia jadi bingung harus bagaimana. Dia tahu Gita membencinya karena pernikahan ini. Akan tetapi, ini tidak seperti yang wanita itu pikirkan. Jika Gita tidak pernah menghendaki pernikahan ini maka dirinya pun sama. Namun, dia tidak berdaya menghadapi ancaman Atmoko. “Saya minta maaf karena sudah menikahi, Nona. Tapi saya janji tidak akan berani menyentuh Nona tanpa seizin Nona.” Akhirnya Estu mengatakan itu. Dia berharap dengan ini Gita menjadi tenang dan tidak menatapnya sesinis itu lagi. Usaha Estu berhasil. Pandangan ganas Gita perlahan meredup. Wanita itu lalu duduk di tepi tempat tidur dan terdiam. Melihat hal itu, Estu sedikit tenang. Karena tidak tahu apalagi yang harus dilakukannya, Estu lalu membereskan kamar yang berantakan seperti kapal pecah itu sedikit demi sedikit dan dimulai dari tempatnya berdiri. Keadaan kamar yang seperti ini adalah wujud hancurnya perasaan Gita. Estu memaklumi karena siapa yang tidak marah jika dinikahkan dengan orang yang tidak dicintai atau diharapkan. Tepat setelah Estu membereskan kamar, terdengar suara isakan. Estu menoleh dan mendapati Gita tengah menangis. Estu merasa terenyuh tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Dia tidak ingin menyakiti tapi secara langsung telah menyakiti. “Eee… Nona. Kalau memang ada yang ingin Nona sampaikan saya siap mendengarkan. Atau Nona butuh sesuatu, sebisa mungkin akan saya bantu.” Gita menyeka basah di wajahnya. Dia menatap Estu lekat. “Bisa tidak kamu enyah dari hidup aku dan tidak menjadi suamiku?” Deg. Estu terhenyak dengan permintaan Gita. Tentu dia tidak bisa membantu untuk yang satu ini. “Tidak bisa, bukan?! Jadi jangan sok perhatian dan sok jadi pahlawan!” Estu mengangguk. “Iya, Nona.” Dengan terus memandang sinis pada Estu, Gita naik ke atas tempat tidur. Dia membaringkan tubuhnya dan kemudian menarik selimut hingga ke bawah dagu. Estu sendiri masih berdiri di tempatnya, berdiri dengan bingung. Setelah seharian dengan berbagai kesibukan sebagai pengantin, Estu merasa lelah. Dia juga ingin berbaring dan tidur. Tapi dimana dia harus tidur? Estu menelan salivanya melihat tempat tidur Gita. Sebuah tempat tidur yang terlihat sangat nyaman. Apakah dia juga harus tidur di sana? Ya, mungkin saja. Toh, dia suaminya Gita. Dia juga diharuskan tidur di kamar ini. Jadi di tempat tidur itulah semestinya dia tidur. Dengan langkah perlahan, Estu mendekati tempat tidur. Dengan pelan juga dia mendudukkan pantatnya di kasur yang sangat empuk itu. Namun, begitu hendak membaringkan tubuhnya, sebuah tendangan membuatnya jatuh terjungkal ke lantai. “Hei! Siapa suruh kamu tidur di Kasur?! Kamu pikir aku sudi tidur dengan kamu?! Jangan pernah berpikir seperti itu! Sudah aku bilang bahwa aku tidak menganggapmu sebagai suamiku! Kamu camkan itu!” Estu menipiskan bibir, lalu berdiri. “Jadi dimana saya harus tidur, Nona?” Gita menunjuk sofa. “Di sana! Sofa adalah tempat tidurmu!” Estu mengangguk. “Baik, Nona.” Estu berbalik dan kemudian mendekati sofa. Dia membaringkan tubuhnya di sana tanpa bantal. Karena panjang kakinya melebih panjang sofa, Estu terpaksa menekuk kedua kakinya. Detik demi detik waktu berlalu. Tubuh Estu menggigil kedinginan. Air conditionernya terlalu dingin sedangkan dia tidak memiliki selimut untuk menghangatkan tubuhnya. Kalau begini, dia jadi tidak bisa tidur. Estu beranjak dari sofa dan mencari remote Air Conditioner. Namun setelah berkeliling, dia tidak menemukannya. Mungkin remote itu ada di dalam laci atau di bawah bantal. Sayangnya Estu tidak berani membuka laci maupun mencari di atas tempat tidur maupun menanyakan selimut yang lain. Alhasil, Estu kembali membaringkan tubuhnya sembari memeluk tubuhnya sendiri yang kedinginan. Malam pun berlalu dengan tidak mudah bagi Estu. *** Suara lantunan ayat suci Al-Qur’an berkumandang melalui speaker masjid yang entah berada di sisi sebelah mana di kompleks perumahan ini. Suara lantunan Al-Qur’an tersebut membangunkan Estu dari tidurnya yang kurang nyenyak. Ini saatnya dia bersiap-bersiap untuk menghadap kepada Sang Maha Pencipta. Estu beranjak dari tidurnya. Dia melihat ke arah tempat tidur, Gita masih tidur dengan nyenyak dengan selimut hangatnya. Estu berancana untuk membangunkan Gita setelah dia selesai mandi. Kebetulan ransel bajunya sudah ada di kamar ini. Mungkin pelayan rumah ini yang memintanya dari sang ibu kemarin saat dia bersiap-siap untuk mengucapkan ijab qabul. Setelah mengambil handuk dan pakaian ganti, Estu pun masuk ke kamar mandi. Selesai mandi, Estu mendekati tempat tidur. Dia menatap tubuh Gita yang terbungkus dalam selimut tebal. Tampaknya istrinya itu tidur dengan nyenyak. Sesaat, Estu merasa ragu untuk membangunkan Gita. Akan tetapi, dia ingat pesan Atmoko untuk membimbing Gita dan dia sebagai suami, dia juga memiliki kewajiban untuk itu. Akhirnya, rasa ragu itu dibuangnya jauh dari pikirannya. Estu pun kemudian membungkukkan badan sehingga wajahnya lebih dekat ke wajah Gita. “Non, Nona Gita! Bangun Non!” Tak ada sahutan. Dengkur halus saja yang terdengar yang menggambarkan bahwa Gita sedang tidur dengan nyenyak. Estu pun mengulang apa yang dilakukannya tadi. “Non, nona! Bangun Non!” Perlahan Gita membuka matanya. Dia mendengus kesal sebelum akhirnya menoleh pada Estu. “Apa sih?! Sibuk sekali?! Bisa lihat orang bisa tidur nyenyak tidak?!” Seketika, Estu menegakkan tubuhnya karena terkejut dengan reaksi Gita. Dia tidak menyangka kalau Gita akan semarah itu. “Ma-maaf Non. Saya hanya mau mengajak Nona sholat subuh.” “Sholat! Sholat! Aku tidak pernah sholat!” Gita mengibas-ngibaskan tangannya. “Pergilah kesana! Jangan bangunkan orang yang sedang tidur!” Estu menghela nafas panjang, prihatin dengan keadaan ini. Tapi apa boleh buat, Estu tidak bisa memaksa. Estu pun akhirnya menggelar sajadah dan sholat subuh seorang diri. Setelah selesai melaksanakan sholat subuh, Estu membereskan kamar kembali karena semalam dia membereskan seadanya. Estu juga mencoba untuk membuka pintu, tapi ternyata masih terkunci. Mungkin Atmoko belum ingin dia keluar dari kamar ini. “Hhhh….” Estu menghempaskan nafas sembari mengambil duduk di sofa. Dia tidak tahu harus melakukan apa lagi di kamar ini. Kalau pintu dibuka mungkin dia bisa menyapu halaman atau mencuci mobil sebelum berangkat kerja. Estu mengarahkan pandang Gita lagi. Saat ini istrinya itu tengah menggeliat sehingga selimut merosot ke lantai. Dan apa yang dia lihat membuat Estu langsung memalingkan wajah. Rok Gita sudah tersingkap kemana-mana dan memperlihatkan area sensitif Gita yang ditutupi kain segitiga berwarna hitam. Ternyata berada berdua di kamar seperti ini sangat tidak enak. Dia jadi melihat apa yang tidak diinginkannya karena akan menguji keimanannya. Ya, dia sudah berhak atas Gita. Tapi masalahnya Gita tidak sudi menganggapnya sebagai suami. Jadi sama saja bohong. Dalam keadaan serba salah itu, pintu kamar terbuka. Estu langsung lega begitu melihat Atmoko muncul di pintu. “Es….” panggil Atmoko. Estu langsung berdiri dan mendekati Bapak mertuanya itu. “Ya, pak.” “Kamu hari ini tidak perlu ke perusahaan ya.” Dahi Estu mengerut. “Lho, kenapa pak?” “Kamu itu ‘kan baru menikahi Gita. Jadi, ini adalah waktunya kalian berdua untuk saling mengenal. Mungkin kalau kalian tidak mau di rumah, kamu bisa mengantar Gita ke kampus atau kemana saja.” “Tapi pak, Non Gita belum tentu mau di antar oleh saya.” “Nanti aku yang bilang padanya harus mau. Teman-temannya harus tau kalau dia sekarang sudah punya suami. Terutama kekasihnya yang membuatnya rusak itu.” Estu menelan salivanya. Dia merasa tidak bisa mendebat Atmoko karena nanti akan dianggap kurang sopan. Semoga saja Gita tidak mengamuk karena hal ini. “Baiklah pak kalau begitu. Saya menurut saja dengan bapak.” "Bagus. Oya, Gita mana?" Ragu Estu menunjuk ke belakang tubuhnya. "No-Non Gita masih tidur, Pak." "Lho, tidak kamu bangunin apa?" "Sudah pak. Tapi tidak mau bangun." "Anak ini memang selalu bikin kesal dan semaunya sendiri." Atmoko melangkah lebih dalam ke kamar. Dia mendekati tempat tidur dan menggoyang-goyangkan tubuh putrinya tersebut. "Git! Ayo bangun! Ini sudah siang! Kamu itu perempuan tapi kelakuan semaunya sendiri!" Gita menggeliat. Dia lalu membuka matanya, lalu langsung bangun. "Apa sih, pa? Ribut sekali?" "Bangun, mandi, dan buatkan suamimu kopi atau apa." Mendengar itu, mata indah Gita langsung melotot. "Apa?! Buatkan gembel itu kopi?! Papa kira aku pelayan dia apa?!" "Dia itu suamimu! Jangan lupakan itu!" "Dia itu suami pilihan papa, bukan pilihanku! Kalau begitu kenapa tidak papa saja sekalian yang buatkan dia kopi!" "Kamu ini...." "Pak, pak, tolong hentikan," sela Estu. Dia tidak tahan dengan perdebatan ini. "Tidak perlu membuatkan kopi, pak. Saya tidak suka kopi, teh, ataupun minuman yang lain. Saya suka air putih karena menyehatkan. Jadi Nona Gita tidak perlu membuatkan saya minum." Atmoko menipiskan bibir. Meskipun masih tampak emosi, Atmoko menyerah. Pria tua itu meninggalkan kamar dengan wajah kesal. Kini tinggalah Estu dan Gita kembali. Gita menoleh pada Estu. "Kamu lihat? Gara-gara kamu hidupku semakin s**l. Bahkan papa menghendaki aku menjadi pelayan kamu." Estu menggeleng pelan. "Bukan begitu, Non. Pak Atmoko tidak bermaksud seperti itu. Beliau hanya ingin Nona berubah." "Berubah apa? Memangnya aku manusia super bisa berubah? Tidak perlu mengatakan hal yang aneh-aneh begitu. Menyebalkan tauk!" Estu langsung mengatupkan bibirnya. Gita benar-benar keras kepala, angkuh, dan semaunya sendiri. Estu jadi tidak yakin bisa membimbing wanita itu menjadi lebih baik. "Ah, sudahlah! Lebih baik aku mandi dan pergi kuliah." Gita melangkah cepat masuk kamar mandi. Wanita itu juga menutup pintu dengan setengah membanting. BRAK!!! Bersambung....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD