Estu membeku. Pertanyaan sederhana Nayla tidak lagi sederhana untuk Estu saat ini. Jika dia menjawab dengan jujur maka gadis yang selama ini ada di hatinya itu bakal tahu bahwa sebentar lagi dia akan menyandang status suami orang. Itu artinya juga bahwa peluang untuk bersama dengan Nayla kandas.
“Kok diam, mas? Memangnya mukena ini untuk orang special ya?”
Atmoko menghela nafas berat. “Sebenarnya orang yang mau aku beri mukena ini bukan orang spesial sebelum ini. Tapi sekarang menjadi spesial. Mukena ini akan aku jadikan mahar calon istriku.”
Bless.
Seketika cahaya di wajah Nayla memudar. Wajah gadis itu berubah muram. Tidak hanya Estu yang jatuh hati pada Nayla, tapi sebenarnya Nayla pun begitu. Namun, kedua-duanya masih ragu untuk mengungkapkan perasaan mengingat keduanya memiliki tanggung jawab pada keluarga. Keuangan adalah penghalang paling berat bagi mereka.
“Oh, jadi mas sudah punya calon istri. Aku tidak tau soal itu. Baru mendengarnya sekarang,” jawab Nayla kemudian dengan pandangan yang ditundukan. Mungkin melihat wajah Estu akan membuatnya terluka.
“Iya, aku sudah punya calon istri. Tapi pernikahan ini mendadak sekali. Aku tidak bisa menghindarinya,” balas Estu dengan suara lembut.
“Kenapa begitu? Aku yakin mas tidak akan berbuat yang dilarang agama.” Pikiran Nayla sudah melambung jauh. Dia mengenal Estu sebagai pemuda baik yang memakmurkan masjid dan mengajar mengaji. Jadi mana mungkin pernikahan terjadi karena Estu melakukan hubungan terlarang lalu dimintai pertanggung jawaban.
“Tentu saja tidak, Nay. Aku tau mana yang boleh dan tidak. Tapi maaf aku tidak bisa menceritakan ini kepadamu atau pun yang lainnya. Maaf sekali.”
“Iya, mas. Aku mengerti. Aku tidak akan memaksa mas untuk menjelaskan, bukan hakku untuk tau. Aku mengucapkan selamat karena mas sudah mendapatkan calon istri.”
Estu tersenyum getir. “Terima kasih untuk ucapan selamatnya, Nay. Semoga kamu juga secepatnya menyusul.”
Tak lama setelah itu, Estu keluar dari toko. Sepanjang perjalanan dia merenungi hidupnya yang entah s**l atau beruntung. Banyak laki-laki yang menghendaki memiliki istri cantik dan kaya raya, jika berkaca pada dunia yang fana. Tapi jika setiap laki-laki sadar bahwa dunia adalah ladangnya untuk bekal hidup di akhirat yang abadi, maka bukan itu yang mereka pandang. Ada satu sisi dari wanita yang harusnya didambakan.
Namun sudahlah, dia harus senantiasa mensyukuri hidup yang Tuhan berikan. Semua ini, baik dan buruknya pasti ada hikmah yang tersembunyi. Estu ikhlas menerima takdirnya.
***
“Eh, Estu sudah pulang?” sambut Suci yang tengah menjahit seragam sekolah Seno –adik kedua Estu- di teras rumah.
Mendapat sambutan itu, Estu tersenyum dan menyalami Suci. Senyum yang selalu membuat hati Suci adem karena tulus.
“Kenapa lagi dengan seragam Seno, bu? Bukankah waktu itu juga sudah dijahit?”
“Waktu itu ketiak kanan, kali ini ketiak kiri, Es.”
“Bilang sama Seno jangan suka main basket dengan seragam sekolah. Begitu tuh jadinya. Aku belum ada uang untuk membelikan yang baru.”
“Ih, jangan beli terus. Baju ini juga belum lama kamu membelinya. Seno saja yang terlalu lincah. Eh, bagaimana dengan pernikahan kamu?” Suci melirik bungkusan di tangan Estu. “Oya, ini apa?”
“Mukena untuk mahar, bu.”
“Ooo.”
Estu duduk di samping ibunya. “Menurut ibu, apakah mukena ini harus dihias?”
Suci mengangguk cepat. “Tentu saja.”
“Kalau begitu, bisakah ibu membantuku menghiasnya? Aku mengerti tentang hias menghias.”
“Bisa dong. Masak untuk hari spesial putranya ibu tidak bisa. Ya, sudah, taruh saja di meja. Nanti selesai menjahit, ibu akan ke rumah Ibu Kades. Minta bantuan beliau untuk menghias ini. Ibu Kades ‘kan kreatif.”
Estu menatap Suci dengan tatapan getir. Wajah ibunya tidak sedikit pun terlihat sedih dengan pernikahannya. Entah apa yang ada dalam hati ibunya saat ini. Dari dulu ibunya memang pandai menyembunyikan perasaan. Selalu terlihat bahagia dan tegar meskipun menjalani hidup dengan tidak mudah.
“Ibu….” Panggil Estu lirih pada ibunya yang mulai menjahit lagi.
Suci menoleh. “Ya.”
“Apakah ibu tidak sedih atau merasakan hal lain dalam pernikahanku ini?”
Suci menaruh jahitannya ke atas meja. Dia lalu menangkupkan tangan kanannya di pipi kiri Estu. “Kamu ini bicara apa, sih? Masak putranya mau menikah ibu sedih.”
“Tapi calon istriku….”
“Huss, jangan bicara seperti itu,” sela Suci dengan menempelkan jemari telunjuknya ke depan bibirnya sendiri. “Kamu selama ini selalu mengajarkan pada ibu tentang ketaatan pada Tuhan. Lalu kenapa kamu harus meragukan takdir kamu? Sudah kamu tidak perlu banyak pikiran. Baik itu cara pandang ibu pada calon istri kamu, tetangga, dan keluarga calon istri kamu. Jalani saja pernikahan ini dengan hati yang tenang. Soal bagaimana watak istri kamu, ibu sudah menerimanya.”
Estu menipiskan bibir. “Terima kasih ya, bu.”
“Hum, sana mandi biar segar.”
Estu beranjak dari duduknya, menaruh mukena yang dibelinya ke atas meja, lalu melangkah masuk ke dalam rumah. Tapi baru beberapa langkah, dia mendengar suara deru mobil memasuki halaman rumah. Otomatis itu membuatnya menoleh. Mata Estu langsung melebar begitu melihat Angga keluar dari mobil itu.
“Pak Angga…,” gumamnya. Estu pun langsung melangkah cepat keluar lagi. “Pak Angga kok bisa ada di sini?”
Angga yang baru saja hendak bertanya pada langsung menoleh dan tersenyum kecil. “Eh, Estu. Iya, ini saya diperintahkan sama Pak Atmoko untuk memberikan beskap yang harus kamu pakai di hari pernikahan.”
Angga menyerahkan sebuah bungkusan kepada Estu dan langsung diterima oleh pemuda itu. “Terima kasih sudah mengantarkannya. Bapak mau masuk dulu?”
Angga menggeleng kecil. “Tidak, terima kasih. Ini sudah sore. Mungkin lain kali. Kalau begitu saya permisi.” Angga berbalik. Bersama mobilnya, dia meninggalkan halaman rumah.
Setelah kepergian Angga, Estu dan Suci saling berpandangan satu sama lain.
***
Hari pernikahan pun tiba. Estu memandangi penampilannya di cermin. Estu tampak berbeda. Memiliki wajah manis dan tubuh yang besar, membuat Estu terlihat gagah dan pas dengan beskap putih itu.
“MasyaAllah, putra ibu tampan sekali. Ibu tidak menyangka kalau sebenarnya kamu setampan ini, Estu,” cetus Suci sembari mengusap-usap beskap yang membalut tubuh Estu putra sulungnya. Mata Suci juga berbinar-binar sangking bangganya.
Estu menyipitkan matanya, menyelidik penampilannya lebih cermat lagi. “Benarkah begitu, bu?”
“Hum, apa kamu pikir ibu berbohong?”
“Itu benar, Mas,” celetuk Pertiwi –adik bungsunya Estu yang biasa dipanggil Tiwi. “Mas Estu tampan seperti seorang pangeran. Tidak kalah tampanlah dengan pangeran Brunai. Hehe….”
“Ah, bisa saja kamu. Mas tidak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan pangeran Brunai. Jauh dia kemana-mana. Ya sudahlah, kalian sudah pada siap bukan? Ayo kita berangkat.” Estu menoleh pada Suci. “Pak Kades dan Pak RT sudah datang bu?”
Suci mengangguk. “Sudah. Mereka menunggu di teras. Beberapa tetangga yang kita ajak juga sudah datang.”
Tak banyak tetangga yang akan dibawa Estu karena pernikahan ini tidak akan digelar mewah mengingat dilaksanakan dengan dadakan.
Mendengar penuturan Suci, Estu langsung melangkah keluar rumah dengan diikuti Suci dan kedua adiknya. Mereka dan para tetangga yang diundang kemudian berangkat menggunakan mobilnya Pak Kades dan Pak RT.
***
Rumah Atmoko sangat besar dan megah. Seno dan Tiwi dibuat terkagum-kagum dengan rumah itu.
"Wah, keren Mas punya calon istri orang kaya," celetuk Tiwi.
"Namanya juga putri pemilik perusahaan. Ya kaya dong," sahut Seno.
Estu hanya tersenyum saja mendengar komentar kedua adiknya. Kedatangannya bersama rombongan langsung disambut oleh Atmoko langsung. Pria tua itu tampak puas dengan pilihannya. Atmoko terlihat tampan dan gagah. Dan satu yang pasti, sangat laki. Karena selain bertubuh besar, Estu memiliki kulit yang tidak begitu putih.
Oleh Atmoko, Estu dipersilahkan menduduki sebuah kursi yang sudah disediakan. Di hadapan kursi itu ada kursi lain yang tersekat oleh sebuah meja. Itu adalah meja yang akan digunakan untuk proses ijab Qabul.
Estu celingukan untuk mencari sosok Gita yang akan menjadi istrinya. Sayang, wanita itu tidak tampak. Estu pernah melihat Gita beberapa kali ketika gadis itu mencari Atmoko ke perusahaan. Gita itu sangat cantik. Putih, mulus, dan memiliki tubuh yang bagus. Tapi Gita tentu tidak pernah melihatnya karena putri Atmoko memang angkuh. Kalau berjalan mengangkat wajah tanpa menoleh kanan kiri.
Dulu dan selama ini, tidak pernah terbersit dalam benaknya akan menikahi Gita. Bukan perihal tidak jatuh cinta atau Gita bukan gadis impiannya. Tapi Estu memang tidak berani mencintai gadis-gadis kaya. Dia tahu diri siapa dirinya sehingga yang diliriknya adalah gadis-gadis kalangan biasa seperti dirinya.
Tiga puluh menit berselang, acara ijab Qabul pun dimulai. Estu mengucap ijab Qabul dengan lancar dan hanya satu kali. Kini resmilah sudah dirinya menjadi suami dari Gita putri presiden direktur di tempatnya bekerja dan resmilah pula Gita menjadi istrinya.
Atmoko meletakan telapak tangan di bahu Estu. "Estu, Gita sudah menjadi istrimu sekarang. Jemputlah dia untuk menandatangani surat nikah."
Estu mengangguk. "Iya, Pak. Tapi Gitanya dimana ya, Pak?"
"Ada di ruang tengah. Dia sudah menunggu di sana."
"Kalau begitu saya kesana sekarang, Pak?" ujar Estu sembari menunjuk ke arah dalam.
"Ya, silahkan."
Estu melangkah ke ruang tengah seperti yang diperintahkan oleh Atmoko. Begitu sampai disana, jantungnya langsung berdegup kencang. Bukan hanya karena Gita terlihat sangat cantik dengan gaun pengantin putih miliknya, tapi juga karena dia menyadari keadaan sudah tidak sama lagi. Gadis cantik yang dia lihat adalah istrinya yang dia nikahi secara sah baik hukum dan agama.
Bersambung....