Gadis Itu Nayla

1083 Words
“Assalamu’alaikum warrahmatullah… Assalamu’alaikum warrahmatullah…” Estu menolehkan leher ke kanan dan kiri sebagai tanda usainya sholat zuhur yang dia imami. Sebelumnya tidak ada ritual sholat berjamaah di perusahaan ini, sampai akhirnya dia datang. Tidak ada yang terenyuh dengan takbir yang dia kumandangkan dan tidak ada pula yang hatinya tak tersentuh dengan ayat-ayat Qur’an yang mengalir dari bibirnya. Merdu, menenangkan, dan menyentuh. Setelah usai zikir dan berdoa seadaannya, orang-orang yang ada di mushola kecil namun padat itu beranjak dari duduknya meninggalkan mushola. Kini hanya tinggal Estu dan Atmoko berdua. Karena Estu pula Atmoko yang semula tidak perduli dengan kewajiban seorang hamba kepada Tuhannya, jadi suka sholat berjama’ah di mushola perusahaan ini. Meskipun yang terjadi kemarin sempat dicurigai sebagai cara Atmoko untuk mencuranginya agar menikahi sang putri, Estu tetap menaruh hormat pada pemilik perusahaan itu. Dia menyalami Atmoko dengan senyum tipis di bibirnya. Estu tidak langsung beranjak dari duduknya karena dari ekspresi wajah dan gerak tubuh, Atmoko seperti ingin mengatakan sesuatu. Estu menduga ini berkaitan dengan pernikahannya. “Bagaimana kamu sudah membeli mahar untuk Gita?” tanya Atmoko tanpa basa-basi. Dia menatap serius pada Estu. Estu mereguk salivanya. Telapak tangan dan kakinya terasa mendingin. Dia jadi merasa seperti seorang tersangka. Baru kemarin dia ditodong dengan pernikahan, sekarang sudah ditanya tentang mahar. “Eee… maaf pak, saya belum menyiapkannya. Rencananya nanti sepulang dari kerja, saya akan membelinya. Tapi maaf pak, saya tidak bisa memberi mahar perhiasan. Saya hanya bisa membelikan sebuah mukena murah.” “Oke, tidak apa-apa. Beberapa toko juga masih buka di jam segitu. Tapi setelah makan siang, kamu ikut aku.” Mata Estu melebar. “Ikut kemana, pak?” “Tentu saja ke KUA. Kita harus segera mengurus pernikahan.” Deg. Jantung Estu berdegup agak kencang. Dia merasa sudah menyiapkan mental untuk pernikahan ini, tapi tetap saja ketika mendengar sesuatu yang menyangkut pernikahannya hatinya berdebar. Mungkin karena sebenarnya dia belum begitu siap untuk ke jenjang itu. “Oh, baik pak.” Hanya itu yang bisa dikatakan oleh Estu. Ya… mau jawaban seperti apalagi? *** Estu mengayuh sepedanya santai melewati area pertokoan yang berdiri di sepanjang jalan. Dia membaca setiap tulisan besar yang ada di atas toko yang menunjukkan nama toko dan isi toko sendiri. Begitu sepedanya hampir sampai di sebuah toko yang bertuliskan ‘TOKO SAKINAH menjual hijab, pakaian muslimah, dan peralatan muslimah lainnya’, Estu menghentikan sepedanya dan memarkir sepeda itu di bawah pohon yang rindang. Estu tertegun menatap toko di depannya. Hatinya berdesir hebat. Ini bukan karena perkara yang berhubungan dengan pernikahannya, tapi karena sesuatu yang lain. Salah satu pelayan di toko itu adalah Nayla, gadis berhijab yang sudah lama mengisi relung hatinya. Dia berniat melamar gadis itu jika keuangan dirasa sudah mampu. Sayang sekali, ternyata Tuhan tidak merestui perasaannya pada Nayla. Sebelum dia mengungkapkan perasaan terpendamnya pada gadis itu, dia justru akan menikahi gadis yang lain. Estu sebenarnya merasa sedih. Selama ini dia mengidamkan gadis sholehah seperti Nayla, bukan gadis yang tidak bisa menjaga kehormatannya sendiri. Karena gadis seperti Nayla akan membuat hati suami adem ketika memandang dan merasa aman ketika ditinggalkan. Gadis seperti Nayla bisa menjadi ibu yang baik buat anak-anaknya kelak karena pasti akan mengajarkan akidah dan akhlak yang baik pada mereka. Tapi impian tinggallah impian. Tuhan sudah menetapkan garis takdirnya. Mungkin ibadahnya tidak setara dengan ibadah Nayla sehingga mereka dipandang tidak pantas untuk bersama oleh Tuhan. Estu harus menerima itu sebagai sebuah ketetapan yang mutlak. Manusia hanya tinggal menjalani dengan hati yang lapang dan ikhlas. Estu melangkah memasuki toko. Kedatangannya langsung disambut oleh gadis manis bernama Nayla yang memang sudah mengenal dirinya. Senyum gadis itu mengembang di bibirnya, tak kalah manis dengan wajahnya ketika mendekatinya. “Eh, Mas Estu! Assalamu’alaikum… Apa kabar, mas?” Estu tersenyum. Adem sekali mendengar suara Nayla. Sungguh beruntung pria yang kelak akan memilikinya. “Wa’alaikumsalam… Kabar mas baik, Nay. Nay sendiri bagaimana?” “Alhamdulillah kabarku baik, mas,” jawab Nayla ramah. Nayla memang selalu ramah kepada siapa saja. Salah satu poin yang membuat Estu jatuh hati kepada gadis itu. “Oya, mas kesini mau cari apa ya?” “Mukena, Nay. Ada tidak mukena yang harganya ramah di kantong tapi nyaman dipakai dan bahannya tidak terlihat murahan.” Estu menjawab itu sembari mengusap lehernya, terlihat sekali kalau ragu. Dia tidak yakin mukena yang disebutkannya ada. Setahu dia, dimana-mana yang nyaman dipakai dan bahannya tidak terlihat murahan pasti harganya juga tidak murahan. Nayla tersenyum geli, mungkin karena pertanyaan Estu. Tapi dia mengerti mukena seperti apa yang dimaksud oleh Estu. “Begini saja ya mas, aku ambilkan beberapa mukena dengan harga yang ramah di kantong. Nanti mas lihat sendiri dan raba bahannya.” “Oh, ya, begitu juga boleh.” Nayla berbalik, mencari barang yang dimaksud di antara tumpukan mukena-mukena yang terlipat rapi di dalam plastik dan di dalam rak. Sementara itu, Estu melayangkan pandang ke sekitarnya. Toko ini tidak besar tapi padat dengan barang dagangan yang berupa hijab, pakaian muslimah, mukena, bros, kaos kaki muslimah, dan lainnya. Saat ini juga ada beberapa pelanggan lain yang sedang berbelanja selain dirinya. Sepertinya ibunya akan suka jika mengurus toko seperti ini untuk menghabiskan hari tuanya. Tidak perlu harus capek-capek bangun jam 2 dini hari untuk masak nasi uduk dan rekan-rekan ‘si nasi uduk’. “Mas ini beberapa mukena yang harganya menurutku ramah di kantong tapi tidak terlihat terlihat murahan.” Suara itu membuat Estu terhenyak dari khayalan kalau dia bisa memberikan toko seperti ini untuk ibunya. Dia langsung menoleh pada Nayla yang membawa setumpuk mukena yang kemudian ditaruh di atas meja kasir. Setelah mengiyakan, Estu membuka satu persatu mukena di hadapannya dan memeriksa bahan serta bentuknya. Hingga pilihannya kemudian jatuh pada satu mukena putih dengan bordir pink muda. "Aku suka yang ini, Nay." Estu mengulurkan mukena di tangannya. "Tapi ... harganya yang ini berapa Nay?" Nayla mengambil mukena di tangan Estu dan memeriksa kode yang ditulis di price labeler yang menggantung di bagian bawah mukena. "Ini dua ratus tujuh puluh lima ribu. Sudah aku diskon itu mas, karena aku kenal mas. Bagaimana? Mau yang ini?" Estu mengangguk kecil. "Iya, aku mau yang itu." Lalu dia mengeluarkan tiga lembar uang seratus ribu dari dalam dompet, yang merupakan tiga lembar terakhir yang diterimanya. Maklum ini adalah tanggal-tanggal mendekati akhir bulan. Nayla menerima uang itu dan mengembalikan kembaliannya pada Estu. "Terima kasih ya, mas. Kapan-kapan belanja di sini lagi," ucap Nayla sembari menyodorkan plastik pink yang sudah berisi mukena pilihan Estu di dalamnya. Estu menerima plastik itu dengan senyuman. "Iya, insyaAllah." "Tapi omong-omong, mas beli mukena untuk siapa?" Estu membeku. Bersambung...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD