Sebuah Pengandaian

884 Words
"Sayang ... ayo bangun. Sudah siang, kamu ada rapat, kan, hari ini? Sarapan dan Kopinya juga sudah siap." Wanita mungil berparas cantik itu memberi kecupan singkat di kedua pipi lelaki yang masih tertidur pulas. Lelaki itu menggeliat, merasa terganggu dengan aksi si wanita. Semenjak si wanita tersenyum. Menganggap si lelaki yang masih menikmati tidur lelapnya itu nampak menggemaskan. "Ayo sayang, bangun. Sudah aku bilang semalam, jangan tidur terlalu larut. Jadi susah kan dibanguninnya." Kali ini ia tidak mengecup pipi, tapi berpindah ke bibir. Kedua mata lelaki itu perlahan terbuka. Ia mengerjap, masih begitu ingin tidur lagi. Masih begitu sayang pada bantal, kasur, dan selimutnya. "Jam berapa ini?" tanya si lelaki dengan suara serak nan parau, khas orang baru bangun tidur. "Udah jam 7, makanya aku terpaksa bangunin kamu." Si wanita nampa menyesal. Lelaki itu memijat pelipisnya yang terasa pening. Rasanya baru sebentar sekali ia tidur, tapi harus sudah bangun lagi. Ia nampak malas, tapi akhirnya bangkit juga. Dalam posisi duduk itu, tercium aroma wangi sandwich panggang, dan juga kopi hitam pahit kesukaannya. Si lelaki merasa senang karena istrinya benar - benar bisa diandalkan. Sejak menikah, ia menjadi jauh lebih bahagia. Terlebih ia mendapatkan hak tinggal terpisah hanya bersama Raya saja. Jadi ia tidak harus melihat muka adiknya setiap hari. Digantikan oleh muka cantik istrinya. "Ayo, buruan mandi dulu, Sayang." Raya memberikan sehelai handuk mandi pada Archie. Archie pun segera menerimanya, memberi kecupan singkat di pipi sang istri. "Makasih, sayang." Ia beranjak menuju kamar mandi. Selesai mandi, masih dengan tubuh yang dibalut handuk mandi, ia menuju meja makan di dapur. Istrinya sedang mengupas buah untuknya. Mereka memang sepakat untuk tidak merekrut asisten rumah tangga yang tinggal di rumah. Mereka hanya memanggil asisten di hari tertentu saja untuk bersih - bersih. Selebihnya mereka memiliki banyak waktu untuk melakukan apa pun berdua saja. Makanya mereka bebas. Sehingga yang laki - laki bisa berkeliaran di rumah hanya dengan handuk mandi. Dan si wanita masih mengenakan gaun malam yang transparan. Archie memeluk tubuh sang istri dari belakang. Raya hanya tersenyum menikmati pelukan hangat sang suami. "Baju kamu udah aku siapin di kamar. Terserah mau makan dulu, atau pakai baju dulu. Yang jelas agak buruan, ya. Udah mepet jam masuk soalnya." Raya mengingatkan sang suami dengan cara yang santai, supaya menghindari kepanikan. Archie mengecup pipi sang istri sekali lagi. "Aku bisa apa tanpa kamu, Sayang? Kamu memang wanita hebat yang tepat untuk aku. Tuhan ternyata sayang banget sama aku, dengan mengirim wanita sehebat kamu menjadi istri aku." Raya tersenyum. "Tuhan juga sayang banget sama aku, karena dikasih suami yang baik, tsundere, dan gemesin kayak kamu." "Hah? Tsun ... tsun ... apa?" Archie masih sangat asing dengan istilah yang dipakai Raya. "Tsundere sayang. Itu adalah istilah dalam bahasa Jepang. Digunakan bagi orang - orang yang nampak dingin dan tidak peduli, tapi sebenarnya ia perhatian diam - diam. Persis seperti kamu." Archie kemudian terkikik. "Ada - ada aja. Ya udah aku mau pakai baju dulu aja. Makasih ya istriku. Makasih Raya sayang." Archie segera berbalik dan menuju kamar. Sementara Raya terdiam di sana. Seperti tak lagi semangat. Raut wajahnya pun berubah murung. Tak lama kemudian, Archie suda selesai memakai baju. Ia nampak begitu tampan dengan stelan jas dan celana warna abu - abu gelap. Kemeja di dalam jas - nya berwarna biru laut. Sementara dasinya berwarna dasar putih, dengan aksen garis - garis miring warna merah. Dilengkapi dengan balutan sepatu pantofel warna hitam, dan juga aksesoris berupa jam tangan mewah. Archie duduk di meja makan, mulai melahap sarapan dan menikmati morning coffee yang sangat ia suka. Archie kemudian menyadari sang istri nampak murung ketika memberikan satu piring buah padanya. "What's wrong honey?" Raya masih terdiam. "I wanna tell you. But I'm afraid you'll be mad." "Ayo katakan sayang. Kenapa aku harus marah, hm?" "Karena waktu itu kamu marah ketika aku mengatakan ini." "Mengatakan apa, hm?" Raya menunduk dalam. "Archie ... sampai kapan kamu mau panggil aku Raya, hm? Raya sudah meninggal. Dia sudah tenang di sana. Relakan dia sayang." Archie kini yang terdiam. Memperhatikan ucapan sang istri dengan teliti. Baru menyadari ia memang selalu memanggil Freya dengan sebutan Raya, secara tidak sadar. *** Archie terbangun dengan kondisi kepalanya yang sakit luar biasa. Ia memijat pelipisnya dengan tekanan yang cukup kuat. Ia bingung, kenapa ia mimpi aneh sekali. Sampai - sampai ia terbangun saking anehnya. Ia mimpi sudah menikah dengan Raya. Tapi ternyata istrinya adalah Freya. Astaga, kenapa bisa begitu? Ia bahkan tak pernah ada pikiran untuk berhubungan serius dengan Freya. Hubungan mereka hanya sebatas teman yang bersebelahan kamar bukan? Teman? Entah bisa dibilang begitu atau tidak. Karena mereka selama ini saling bertemu juga bukan karena kesengajaan. Mereka selalu bertemu secara tidak sengaja. Lalu kenapa ia sampai mimpi sudah menikah dengan Freya? Benar - benar aneh. Tapi kalau dipikir - pikir, bukan mimpi namanya kalau tidak aneh. Archie sebenarnya sangat ingin meneruskan tidur. Tapi cahaya yang mengintip dari balik jendela begitu menyilaukan. Tandanya ini sudah pagi. Dan ia tetap harus bangun untuk menjalankan kehidupannya yang monoton dan membosankan. Andai saja Raya masih ada, saat ini mereka sudah menikah, hidup bahagia bersama. Bahkan akan kemungkinan, Raya sudah mengandung buah hati mereka. Bisa Archie bayangkan, kehidupan mereka akan sama persis dengan mimpi Archie tadi. Bedanya ia benar - benar menikah dengan Raya. Bukannya Freya. Archie menyibak selimutnya, mulai beranjak. Bersiap memulai hari yang berat. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD