bc

Tamu Yang Tak Diinginkan

book_age18+
2.6K
FOLLOW
17.1K
READ
HE
arrogant
heir/heiress
drama
bxg
bold
office/work place
like
intro-logo
Blurb

Ari terpaksa menerima pernikahan dengan Sherina atas keinginan Ibunya. Ari bersikap dingin dan semena-mena pada Sherina karena tidak pernah cinta. Suatu hari, Ari ingin menikahi Rina, yaitu kekasihnya. Siapa sangka Sherina malah hamil dan sebuah praduga tak disangka antara Rina dan Sherina ada hubungan darah.

chap-preview
Free preview
Tamu
"Mas, kenapa kamu tidak mengabariku? Kalau saja teman-teman tidak bilang, aku tidak akan tau bagaimana keadaan kamu sekarang." Mas Ari tersenyum. Dia hanya menanggapi dengan santai ketika sekujur tubuhnya lecet dan berbalut perban. "Aku enggak apa-apa, Rin. Kamu enggak perlu khawatir." "Tapi, Mas, luka kamu itu parah. Kenapa tidak dibawa ke rumah sakit? Aku temani ke rumah sakit sekarang, ya? Kamu harus mendapat perawatan biar tidak semakin serius lukanya." Wanita itu kembali memberikan nasihat dan perhatian yang luar biasa. Satu jam lalu, dia datang dengan sebuah mobil mewah dan buah tangan beraneka ragam. Buah-buahan, kue, vitamin dan masih banyak lagi. Sampai-sampai, ruang tamu yang tidak terlalu luas ini menjadi penuh. "Kamu enggak usah repot-repot, Rin. Tiga hari aku cuti pasti nanti juga enakan lagi." Mas Ari tidak berubah posisi ketika wanita itu duduk di pinggir tempat tidur dengan menggenggam tangan Mas Ari. Pria yang setahun lalu datang dengan orangtuanya melamarku. Di saat mereka masih sibuk mengobrol, entah kenapa aku masih saja menjadi penonton. Jangan tanya lagi bagaimana perasaanku. Kupikir mereka hanya teman sejak kecil dan sekadar menjenguk saja. "Rin, makasih banyak, ya. Kamu sudah mau repot-repot jenguk aku. Dibikinkan minum, kamu juga enggak mau. Kasihan Sherina, dia sudah buatkan khusus buat kamu." Mungkin sadar akan kehadiranku yang hanya berdiri saja di ambang pintu, Mas Ari melirikku. Namun, wanita itu seperti tak peduli. Dia tetap mengajak Mas Ari mengobrol. Mereka mengulang canda yang sepertinya sudah pernah dilewati bersama. Aku mencoba mendekat dan duduk di sebelah yang lain. Berseberangan dengan wanita itu. "Makasih banyak, Mbak Rina sudah menjenguk suami saya. Insyaallah, Mas Ari akan segera sembuh." Wanita berpakaian kantor itu memalingkan wajahnya. Ia kembali menatap Mas Ari dan meletakkan tangan suamiku di atas pangkuannya. Mengelus dan jari-jarinya masuk pada sela-sela jari Mas Ari. Drama apa ini sebenarnya? "Semoga kamu cepat sembuh, ya, Mas. Jangan lupa minum vitamin yang aku bawakan. Kalau saja kamu tinggal sama aku, aku pasti sudah bawa kamu ke rumah sakit dan mendapatkan perawatan yang baik." Apa maksud dia berbicara seperti itu. Apa dia tidak sadar bahwa aku tengah menyaksikan ucapannya barusan. Tidak punya rasa malu, kah, dia dengan sikapnya itu? "Mas Ari akan baik-baik saja, kok, Mbak. Jangan khawatir. Kalau sudah selesai, mungkin Mbak bisa pulang. Mas Ari biar istirahat." Aku tak tahan lagi. Dia tetap tidak menanggapi. Namun, aku tahu dia paham maksudku tadi. "Pulanglah, Rin. Sepertinya sudah mau hujan. Petir sejak tadi juga menggelegar saja." Mas Ari memaksa dirinya bangkit. Dengan segera aku membantunya membenahi bantal yang ia gunakan untuk sandaran. "Baiklah kalau begitu. Semoga kamu cepat sembuh, ya, Mas. Aku tunggu kamu di kantor lagi." Wanita itu berpamitan dan tak kalah kagetnya lagi, aku melihat sendiri dengan mata kepala dia mencium kedua pipi Mas Ari. Aku mengikutinya sampai depan pintu luar. Dia hanya menyungging senyum tipis setipis kertas. Lalu, lenyap masuk ke dalam kendaraan mewahnya dan pergi tanpa salam. *** "Mas, kamu kenapa seakrab itu dengan dia?" Malam itu, aku mulai bertanya padanya. Rasa hati masih tak bisa tenang. Ada hubungan apa antara mereka berdua. Jika sekadar teman, kenapa sikapnya kaku sekali denganku. "Biasa aja. Dia sahabatku dari kecil." Mas Ari mulai memejamkan matanya. Sepertinya dia tahu, kalau aku akan terus bertanya soal mereka. "Ya, tapi masa harus pegang-pegang begitu, Mas?" Aku berniat protes. Akan tetapi, sepertinya hanya sia-sia belaka. Dia tak menjawab lagi dengan mata sudah tertutup rapat. Paginya, cuaca sedikit gerimis. Sejak malam memang hujan tak ada henti-hentinya. Aku tengah menghitung sisa tabungan yang memang sudah sangat menipis. Tabungan hasil dari pernikahan sederhana waktu itu, sudah dipakai sebagian besar untuk kebutuhan Mas Ari operasi bagian kakinya. Apa aku harus kerja juga. Tamatan hanya SMA, mau cari kerja di mana. Aku sungkan mengatakan ini pada Mas Ari, dia mudah sekali terpancing emosi dan kalau sudah begitu, benda apapun di dekatnya pasti melayang. "Ngitung apa kamu?" Mas Ari yang baru saja bangun, mendapatiku memegang uang dan dompet. Mau tak mau, aku harus mengatakannya. "Ini, Mas. Tabungan kita sudah menipis." "Nanti kalau gajian, aku ganti." Dia berkata begitu seraya mengalihkan tatapan. Aku tahu raut kesalnya malas melihatku. Selang menit berikutnya, ponsel di atas meja bergetar. Aku segera mengangkatnya. Betapa terkejut, aku tak sengaja hampir menjatuhkan benda pintar itu. "Siapa?" tanya Mas Ari ketika dia merasa aneh dengan sikapku. "Papa sama Mama mau datang ke sini. Bagaimana ini, Mas? Mereka pasti kaget melihat keadaan kamu seperti ini." Dia berdecak. Mungkin bingung juga karena sejak awal, yang menginginkan untuk tidak mengabari mereka adalah Mas Ari. "Biarin aja. Mau gimana lagi, semua sudah terjadi. Biar aku nanti yang jelaskan sama mereka." Untung rumah kontrakan ini sudah bersih dan wangi. Kalau tidak, bertambah malu saja aku nanti. Baru saja menyiapkan minuman, terdengar suara ketukan pada pintu depan. Pasti itu mereka. Setelah melepas celemek, aku segera membuka pintu. Senyum paling manis langsung kuperlihatkan. Mereka tak boleh tahu apa yang sedang mengganggu pikiranku. "Mas Ari masih belum enakan, ya?" Pertanyaan yang membuat mataku segera terbuka lebar. Pintu yang baru saja terbuka, ternyata yang datang bukan mertua. Melainkan wanita kemarin sore yang kini tak kalah membawakan banyak makanan lagi. Bukan hanya itu, ada orang suruhannya membawa seonggok barang yang kutaksir adalah selimut tebal dan juga mantel mahal. Seperti yang kulihat di film-film Korea. "Mas Ari sudah baikan. Kakinya sudah bisa buat berdiri tegak dan jalan pelan." Aku masih belum menyuruhnya masuk, memang sengaja. "Apa? Kamu suruh dia jalan? Kamu enggak tau kalau tulang kakinya itu bisa bergeser lagi kalau dipaksa buat jalan." Dia mendelik menatapku. "Aku enggak menyuruh dia buat jalan. Cuman kata dokter sudah agak mendingan dan bisa buat latihan berjalan. Kalau duduk terus di kursi roda, kapan bisa jalan lagi kalau enggak dilatih?" Lama-lama aku ikut emosi juga. "Ya sudah, aku mau lihat keadaan dia sekarang. Aku mau memastikan kalau dia baik-baik saja." Wanita itu langsung menyerobot masuk. Untung saja Mas Ari keluar dari kamar dengan kruk nyangga. Dia berusaha jalan menuju ruang tamu. Wanita itu mengikutinya. Aku tak kuat rasanya harus menyaksikan tingkah mereka lagi. Seperti tak punya rasa malu saja. Aku sengaja pergi ke dapur belakang hanya duduk di lantai dan menyandarkan punggung sambil menerawang ke atas. Apakah aku harus diam saja melihat mereka seperti itu? Masa pernikahan yang baru saja berjalan empat bulan ini, terasa hambar. Apalagi, Mas Ari sepertinya tidak begitu berniat menjalani rumah tangga denganku. Setelah beberapa detik berlalu, terdengar suara-suara dari luar sana. Aku tak peduli. Mas Ari saja tidak merespon apapun. "Eh, ada tamu." Sepertinya aku kenal suara itu. Astaghfirullah, Mama mertua. Aku segera berdiri dan mencoba mengintip dari balik tirai di dapur yang menjadi pembatas. "Istri kamu mana, Ri? Kenapa kamu berdua saja dengan wanita ini?"

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

My Secret Little Wife

read
84.6K
bc

Tentang Cinta Kita

read
186.5K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
201.1K
bc

Siap, Mas Bos!

read
9.3K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.0K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
12.1K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook