Dia Datang Lagi

1122 Words
"Wanita ini siapa, Ma? Dia Rina. Rina teman Ari sejak dulu." Mas Ari sepertinya mulai membelanya. Apakah dia tidak sadar, orangtuanya itu hanya ingin mengingatkan. "Astaghfirullah, Ari!" Saat suara itu masih jelas terdengar, aku masih di dapur. Biarkan Ibunya sendiri yang menasihati. Bagusnya memang begitu. Aku sadar diri, wanita bisa apa kalau lelaki sudah tak mau mendengarkan. Seseorang masuk ke ruangan dapur yang terbilang sempit ini dan tersenyum padaku. Dengan segera, aku menyalaminya. Dia tampak membawa sebuah bungkusan besar dan aku membantunya meletakkan di atas meja makan. "Pa, kapan datang?" "Barusan, Nak. Kamu ngapain di sini saja? Kenapa kamu biarkan Ari berduaan dengan wanita lain di sana?" Suara pria tua itu terdengar kecewa. Serak dan berat dari tenggorokan menimbulkan pertanyaan yang menyentak d**a. Kalau bukan karena sudah lelah, aku pasti ada di sana, Pa. Mas Ari terlihat diam saja saat Mama memberikan banyak nasihat. Begitu juga dengan wanita itu. Aku diajak mendekat ke sana oleh Papa mertua. Kami segera bergabung dan aku duduk di sebelah Mas Ari. "Kamu ini seorang suami, Ri. Jaga perasaan istrimu. Rina ini, kan, bukan lagi gadis kecil seperti dulu. Kalian sudah sama-sama dewasa." Mama mertua dengan gamblang berbicara di depan kami semua. "Maaf, Tante, Om, Rina pulang dulu. Papa tadi mengirim pesan, meminta Rina untuk segera pulang. Permisi." Tanpa basa-basi lagi, wanita dengan rambut dicat pirang itu berdiri dan membenahi pakaiannya yang membentuk lekuk tubuh. "Iya, hati-hati." Mama mertua menjawab tanpa berdiri. Setelah kepergian wanita itu, kami juga banyak mendapat nasihat. Mereka menawari kami tinggal di rumah mereka yang baru. Yang memang sejak awal sudah diniatkan untuk kami. "Enggak, Ma. Aku masih bisa mengusahakannya sendiri. Lagian, Sherina juga nyaman aja kayaknya tinggal di sini." Mas Ari begitu kekeh setiap kali ditawari. "Ya sudah, kalau kamu tetap keras kepala. Mama sama Papa pulang dulu. Jangan boleh si Rina datang-datang ke sini terus. Kalian sudah bukan lagi anak-anak. Jaga perasaan istrimu, Ri." Mas Ari tak menanggapi sedikitpun. Ia berusaha bangkit dari duduknya dan meraih kruk lagi. Ia pergi ke kamar dengan wajah ditekuk. Aku mengantar Mama dan Papa mertua sampai ke dalam mobil mereka. Mereka sangat menyayangiku dan berpesan lagi agar terus bersabar. Mereka meminta maaf berkali-kali atas sikap putra semata wayangnya yang terkesan kaku dan tak peduli. Lepas mereka pergi, aku kembali ke dalam. Suasana malam yang hening membuatku ragu untuk masuk ke dalam kamar. Aku khawatir Mas Ari akan marah dan mogok bicara esok hari. "Aku enggak suka kalau kamu ngadu yang enggak-enggak ke Mama sama Papa. Kalau kamu enggak suka sama Rina, mending bilang langsung sama aku. Enggak mesti bilang sama mereka di belakang." Mas Ari tiba-tiba menyeletuk. Di dalam kamar sana, aku tidak tahu dia sedang apa. Hanya saja, kata-katanya tadi berhasil membuatku semakin rapuh. "Aku tidak pernah bicara apapun tentang teman masa kecil kamu itu, Mas. Untuk apa aku bicara sesuatu di luar sepengetahuanku?" Masih duduk di kursi depan televisi, aku menjawab. "Dulu Mama enggak begitu cerewet seperti sekarang. Dia selalu perhatian sama Rina. Bahkan, kami sempat dijodohkan. Lalu, gara-gara Mama kamu itu, jadi aku harus terpaksa menerima pernikahan ini." Aku mengusap wajah yang tiba-tiba merembes basah. Hidung mulai buntu karena menahan sesak setelah dia mengucapkan nama Mama. Apa salah Mama, sehingga harus dibawa-bawa? "Kalau Mas Ari tidak suka dengan perjodohan ini, kenapa tidak menolak sejak awal? Kita sudah berjalan di atas pernikahan ini hampir genap 5 bulan. Kenapa baru bilang? Apakah setelah kedatangan wanita itu?" "Terserah apa kata kamu. Yang jelas dan yang harus kamu ingat, aku terpaksa melakukan ini." Suara Mas Ari di dalam sana terdengar sangat dingin. Berbeda sekali dengan saat awal-awal kami menikah. Apakah ini pertanda bahwa dia sudah mulai bosan? Selama beberapa jam hingga mata sudah mulai pedas, aku tetap di sini. Di ruang tamu menyendiri. Istri mana yang tahan jika suami yang ia harapkan malah mengharapkan wanita lain. Kalau bukan karena pesan almarhumah Mama tak akan ada perceraian selama hidup, aku juga tidak akan mau berjuang. *** Suara azan sudah berkumandang. Aku pun lantas bangun dari tidur yang tak nyenyak semalam. Aku segera pergi ke kamar untuk menunaikan kewajiban lima waktu. Mas Ari masih terlihat melingkar dalam selimut. Selesai dengan mengucap salam, semua beban dalam hati kuungkap dengan lirih. Hanya Dia yang berhak atas setiap hati. Aku melipat lagi mukena bekas pakai dan menyiapkan sarapan sambil membersihkan rumah. Aroma makanan mungkin tercium hingga ke kamar. Suara Mas Ari terdengar melangkah dengan kruk semakin mendekat. Aku tak menoleh, untuk apa? "Masak apa kamu?" "Seadanya. Karena tabungan hanya cukup buat bayar kontrakan setahun ini. Adanya cuman nasi, aku masak nasi goreng saja." Tak ada suara Mas Ari lagi. Entah ke mana dia pergi. Satu piring nasi goreng tanpa telur, warnanya pun putih tanpa kecap, siap untuk dinikmati. Aku membawanya ke kamar dengan segelas air putih. "Mas, makan dulu." Meskipun tak acuh, dia tetap suamiku. "Hem." Dia menerima. Mas Ari tidak langsung memakannya. Hanya menatap beberapa detik, mungkin sedang berpikir. Aku duduk di sebelahnya. "Mas, aku mau bantu cari kerja aja. Selama kamu sakit dan tidak bisa kerja, izinkan aku mengirim lamaran ke alamat-alamat yang sudah aku catat." "Mau kerja di mana? Kamu bukan sarjana. Yang sarjana saja masih susah cari kerja. Di Jakarta itu susah kalau enggak ada yang bawa." Sedikit-sedikit, dia mulai menyendok nasi goreng tadi. "Barangkali aja diterima. Cleaning servis juga enggak apa-apa, yang penting halal. Bisa buat tambahan." Aku benar-benar memohon padanya. Aku berusaha sabar dengan segala sikap dinginnya. "Terserah kamu lah," balasnya sesuka hati. "Tenggorokan aku sakit, belikan apa gitu di warung. Nih, uangnya." Dia menarik lembaran hijau dari dompetnya dan menyerahkan padaku. "Mas Ari itu kebanyakan makan manis. Kebanyakan makan makanan dari wanita itu." "Udahlah, enggak usah protes! Sana beli obat." Aku segera berdiri dan keluar dari kamar. Di luar sudah ramai, aku berinisiatif membeli jahe saja di tukang sayur. Tak lama setelah berdiri bersama tetangga yang juga belanja di sana, sebuah mobil berhenti tepat di depan kontrakan. Semua menatap ke arah sana, termasuk aku. Keluarlah wanita yang sudah mengganggu pikiranku sejak kemarin. Dia datang dengan penampilan yang begitu menunjukkan derajatnya. "Eh, Rin, itu siapa? Masuk ke kontrakan kamu, tuh!" Salah seorang ibu-ibu menoel lenganku. "Hoo, meni cantik pisan, euy! Kayaknya teman kantor suami kamu, ya?" "Ih, ibu-ibu ini masa enggak ingat, dia itu yang kemarin kita lihat, kan?" "Lewat sini, nyapa, kek. Diem aja, sombong, tuh, orang. Moga aja lakinya si Sherina kagak tergoda." "Kagak tergoda gigi lu meledak? Mana ada laki-laki jaman sekarang enggak kegoda sama penampilan begitu?" Mereka sibuk saling tebak, sementara aku segera mengatakan pada sang penjual sayur untuk menyiapkan jahe pesananku. "Bu, saya duluan, ya?" Aku pamit. Lama-lama di sini, kupingku panas juga. "Eh, Rin, jangan lupa jagain laki elu. Gue nyium bau-bau enggak enak dari wanita itu," celetuk seorang ibu yang lain. Aku pun hanya membalas dengan senyum terpaksa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD