Tak Sampai Hati

1210 Words
"Mas, kamu kenapa betah tinggal di sini? Rumah kamu yang mewah itu bukan cuman satu." Aku segaja tidak langsung masuk. Hanya ingin tahu, apa saja yang mereka bicarakan ketika aku sedang tidak ada. "Semua itu punya orangtuaku. Aku tidak punya apa-apa, Rin. Aku ingin usaha sendiri. Sejak kecil, aku sudah banyak menyusahkan mereka." Kenapa Mas Ari bilang begitu? Apakah dia ada masalah dengan orangtuanya? Aku menyentuh kusen pintu, terus mendengarkan obrolan mereka. Jika ada tetangga yang lewat, aku pura-pura membersihkan halaman. "Wajar, Mas, kamu itu anak mereka. Pewaris tunggal keluarga Hamzah. Kalau begitu, kamu minum dulu biar tenggorokannya enggak makin sakit." Aku tidak tahu, apa yang sudah wanita itu lakukan. Sampai-sampai, Mas Ari begitu tunduk dan mengikuti setiap ucapannya. Aku juga tidak tahu, mereka terus bersentuhan atau saling menatap tanpa jarak. Pikiranku mulai ke mana-mana. "Mas, andai saja kita jadi dijodohkan, pasti sekarang aku bisa mendampingi kamu terus. Kita sudah bersama belasan tahun, aku rindu masa-masa kita bersama." "Aku juga inginnya seperti itu, Rin. Yang aku inginkan bukan Sherina, tapi Rina Mariana. Berjanjilah untuk tetap menungguku. Cepat atau lambat, aku akan mengakhiri hubungan dengan Sherina." Ketika aku masuk, tubuh wanita itu sudah melekat pada d**a bidang Mas Ari. Seluruh tubuhku bergetar melihat itu semua. Mereka segera merenggangkan jarak ketika aku masih di sana dengan mata bengkak karena genangan air mata. Rasanya untuk melangkah pergi saja, kaki terasa berat. Dadaku panas melihat mereka dengan terang-terangan melakukan hal itu di tempat ini. Di rumah yang menjadi tempat berteduh suami istri, aku dan Mas Ari. Harusnya aku yang di sana. "Sherina ...." Mas Ari terkejut melihat kedatanganku. Aku memejamkan mata sesaat sambil menahan luka yang telah ia buat. "Kalian teruskan saja. Aku hanya lewat. Maaf, sudah mengganggu kemesraan kalian." Aku segera meneruskan langkah dan masuk ke dalam kamar. Semua baju di lemari kutata dalam tas. Surat lamaran yang kesekian kalinya, juga kumasukkan. Di saat seperti itu, ponsel di atas bantal berbunyi. Aku segera mengangkatnya. "Hallo?" Kuusap wajah ini sambil mendengarkan suara di seberang sana. "Hallo, selamat pagi? Dengan Ibu Sherina?" Suara yang begitu lembut dari seorang wanita. "Benar, Mbak. Dengan siapa, ya?" tanyaku balik dan dia menyebutkan nama sebuah perusahaan yang mana aku pernah mengirim lamaran ke sana. "Bu Sherina bisa datang untuk interview besok di alamat yang saya kirimkan tadi, ya?" "Alhamdulillah, baik, Mbak. Insyaallah, saya akan datang. Terima kasih." Panggilan segera diakhiri, aku sedikit senang di tengah guncangan batin ini. Aku tidak akan sering-sering melihat mereka berduaan lagi kalau diterima kerja. Kubuka koper lagi dan meraih sebuah bingkai kecil berbentuk persegi. Di sana terdapat foto Mama Nayla dengan kursi rodanya. Pilu kembali merata memenuhi d**a. Kupeluk bingkai foto Mama dan berharap dia bahagia melihatku di sana. "Jangan sedih, Ma. Sherina akan cari Papa sampai ketemu." Aku mengusap wajah lagi. Kembali memasukkan pakaian ke dalam lemari dan menyimpan koper tadi di bawah tempat tidur. *** "Mas, aku mau kerja. Sudah ada panggilan dari kantor." Aku mengulurkan tangan bermaksud menyalaminya. Mas Ari yang duduk santai di kursi depan pun menatapku aneh. Dia tak segera membalas uluran tanganku, malah menatap dari bawah sampai ke atas. "Kamu mau ke mana rapi begini?" "Ya, kerja. Ke mana lagi memangnya? Aku sudah diterima kerja, kemarin ditelpon." Kuulang permintaan tangan ini agar dia segera memberikan tangannya. Tanpa persetujuan darinya, aku merebut tangan Mas Ari yang masih bersembunyi di dalam jaket tebal itu. Dari sorot matanya, dia tampak berpikir tetapi aku tak tahu itu apa. Aku pergi dengan meninggalkan salam. Sebenarnya tak tenang, apalagi wanita itu masih saja datang. Mau bagaimana lagi, sudah kuingatkan tetapi Mas Ari tetap saja begitu. Siapakah aku, hanya wanita yang dinikahi dengan terpaksa. Jalanan berdebu membuatku batuk-batuk. Angkotan umum yang sesak dan bau keringat menyengat indera penciuman. Aku mencoba menahannya. Dua puluh menit berlalu, akhirnya sampai juga di depan sebuah gedung menjulang tinggi. Berkaca dan orang-orang tampak mondar-mandir dengan kesibukan masing-masing. "Permisi, saya mau interview dengan Bu Risma. Sudah ada janji kemarin," ucapku saat berada di bagian resepsionis. "Baik, silakan ke sana." Wanita manis dengan wajah oriental itu menunjuk sebuah lift. "Ruangan beliau di lantai dua. Pintu coklat dengan tulisan ruangan Bu Risma. Mbak, sudah ditunggu." "Oh ya, makasih banyak, Mbak." Wanita itu tersenyum. Aku segera memasuki sebuah lift. Baru saja kutekan nomor lift, seseorang menyerobot dan mempersilakan lelaki berpakaian rapi lebih dulu masuk. Lelaki pertama tadi lantas menekan nomor lantai yang sama. Di dalam sini, hanya bertiga saja. Dua lelaki di depanku tampak sibuk membicarakan sesuatu sambil melihat sebuah berkas. Aku hanya diam sambil menahan napas, baru pertama kalinya memasuki gedung seperti ini. Pintu terbuka dan mereka berjalan mendahului. Aku melangkah setelah mereka. Ruangan yang menjadi tujuanku akhirnya terlihat di depan mata. Di sana aku mengetuk dan dipersilakan masuk segera. Ditanya status dan lulusan terakhir. Lalu, mengisi sebuah berkas data diri lagi. "Terima kasih banyak, Bu Risma. Apakah, saya bisa langsung kerja?" "Bisa. Karena kamu datangnya sudah jam segini, kamu ambil sift malam saja, ya? Hanya sampai jam delapan malam saja." Wanita berbadan besar itu memberikan banyak arahan. Mengajakku mengelilingi tempat ini dan mengenalkan diri pada semua karyawan dan karyawati yang setara denganku. Juga memperkenalkan nama-nama direktur utama serta jajaran petinggi yang lain. *** "Kamu udah siap?" Tepukan pada pundak membuyarkan lamunanku. Ragaku di sini, tetapi hatiku di rumah. Bagaimana aku bisa tenang jika Mas Ari dan wanita itu bebas di sana. "Eh, iya. Siap!" Aku membalas senyum teman baruku. Kami mulai membersihkan ruangan bekas meeting dan membantu staf lain yang memerlukan bantuan. Membuatkan kopi atau mie instan misalnya. Tak hanya itu, banyak pekerjaan yang diluar dugaanku. Memfoto copy berkas-berkas yang begitu banyak, juga mondar-mandir dari lantai bawah sampai paling atas. Begitu tanpa disadari, waktu telah menunjukkan pukul tujuh malam. Aku diizinkan untuk pulang lebih dulu, kata Bu Risma, karena aku wanita dan lebih baik pulang awal. Padahal, masih ada satu kerjaan lagi yang belum selesai. "Aku pulang duluan, ya, teman-teman?" salamku pada mereka sambil melambai. "Hati-hati anak baru. Awas, ada gajlukan di depan." Mereka tertawa. Aku tahu, mereka hanya mencoba menghiburku dari lelahnya hari ini. "Rin, kita barengan aja, yuk! Nanti aku antar sampai rumah beneran, deh." Saat kami sudah sampai parkiran, Susi--kawan baru sehari itu menawariku. Dia paling dekat denganku dan suka membagi makanan. "Aku nunggu ojek aja, Sus. Enggak enak, kamu baik banget." "Hilih, elu pake enggak enak segala. Udeh naik!" Aku terkekeh dengan gayanya yang lucu memakai helm. Aku pun tak menolak lagi, langsung saja naik di belakang boncengannya. Kami juga mampir membeli martabak. Bukan kami, hanya dia saja dan aku ditraktir lagi. Aku tak bisa makan di tempatnya langsung, sebab teringat Mas Ari yang di rumah pasti sedang menunggu. Sepanjang jalan, kami tertawa layaknya anak SMA yang baru saja bebas. Alhamdulillah, akhirnya sampai juga di depan kontrakan. Aku melepas helm miliknya dan tak lupa mengucapkan terima kasih berkali-kali. "Santai aja, Rin. Elu sama gue sekarang bestie-an. Jadi, kalau ada apa-apa, kabarin gue. Oke?" Aku tertawa dan membalas tos tangannya. Setelah dia memutar stang motornya, aku segera melangkah membuka pagar besi sederhana kontrakan. Pintu langsung kubuka saja. "Sherina? Kamu sudah pulang?" Martabak yang tak sampai hati kunikmati di tempat tadi, kini terjatuh bersama remuknya hatiku melihat d**a bidang tanpa balutan tengah diusap oleh seorang wanita. "Mas A--ri ...." Tubuhku seperti telah terhempas angin. Air mata membanjiri perih melihat suami dan wanita itu di depan mata kepala dengan pemandangan menjijikan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD