Sang Manajer Itu Suamiku

1096 Words
Kututup mata sejenak meremas rasa sakit yang tak berdarah. Aku segera pergi menyerobot ke kamar. Pintu kamar kututup rapat setelah suara bantingan keras yang memang kusengaja. "Rin, buka pintunya!" "Rin, aku bisa jelaskan. Ini tidak seperti yang kamu lihat. Kamu jangan bilang macam-macam lagi sama Mama!" Kukira dia khawatir dengan perasaanku. Nyatanya, dia lebih takut jika aku mengadukan semuanya pada Ibunya. Aku sudah bersabar dan berusaha menerima segala sikap dingin dan tak acuhnya. Akan tetapi, apa balasan untukku hanyalah sebuah penghinaan begini? "Kamu tenang saja, Mas. Aku tidak akan pernah mengadu sama Mama kamu. Aku akan pendam semuanya sendiri. Sekarang, silakan teruskan acara kalian. Aku tidak akan mengganggu." Di tengah rasa perih ini, aku meremas perut yang terasa sakit tiba-tiba. Mulut terasa ingin muntah, aku buru-buru mencari plastik dan mengeluarkan di dalamnya. Seisi dalam perut pun keluar. Makan siang yang ditraktir tadi, kini telah mengosongkan perut lagi. Aku lemas menyandar dinding. Tak peduli lagi dengan apa yang akan terjadi di luar sana. Sampai jam berapa aku tak tahu lagi, mata berat terbuka. Suasana hening hanya aku seorang diri di kamar. Teringat hal beberapa jam tadi, hidup sudah tak ada gairah lagi. Aku hanya perlu fokus pada kerja saja. Aku tidak akan menunggu uluran tangan Mas Ari lagi untuk memberi nafkah. Sebentar lagi, aku bisa mencari kesenangan sendiri tanpa memikirkan lelaki itu. Karena ingin buang air kecil, aku membuka pintu kamar berniat ke kamar mandi belakang. Pemandangan berantakan langsung terlihat karena luas kontrakan ini tak seberapa. Mas Ari tidur di kursi dengan kaki di atas meja. Baguslah kalau dia sudah tercukupi begitu, aku tak perlu lagi menyiapkan apapun karena sepertinya wanita itu sudah dengan senang hati mengirim kebutuhan Mas Ari. Kulihat jam dinding di atas sana menunjuk waktu Subuh. Aku segera bersiap-siap seperti biasanya. Minggu pertama aku harus datang lebih awal, karena itu salah satu penilaian dari kinerja. Kalau aku bisa lebih baik dan giat lagi, ada bonus tambahan kata Bu Risma kemarin. Berangkat kerja sudah tak ada acara pamit-pamitan, kututup pintu di saat Mas Ari masih terlelap. Seperti biasa, sampai di sana seragam langsung kupakai. Alat pertama yang kusentuh berupa vacum cleaner. Sesuai aturan, ruangan direktur adalah yang pertama. "Wih, Dateng duluan, nih? Udah sarapan belum? Gue bawa nasi goreng. Nyokap gue yang masak. Nih, satu buat elu." Aku tersenyum ketika melihat Susi datang. Entah kenapa, dia selalu menghiburku. Dia datang saat aku baru saja selesai membersihkan satu ruangan. Sebelum semuanya datang, kami menikmati sarapan sederhana itu. Sambil bergurau, aku iri dengannya yang masih merasakan kasih sayang seorang ibu. Susi belum menikah, tetapi kabarnya akan segera juga. Kami melanjutkan kegiatan membersihkan seluruh ruangan bersama dengan karyawan lain. Tugas sudah dibagi hingga satu persatu penghuni gedung pencakar langit ini mulai berdatangan. Terlihat pria-pria dan wanita dengan kaki jenjang dan wajah putih bersih datang dan menempati tempatnya masing-masing. Aku segera membawakan kopi pada mereka. Begitu juga dengan Susi. "Eh, kamu. Sini!" Aku mendengar seseorang memanggil. Setelah kulihat kanan kiri, ternyata pria berkemeja biru melambai dan menyuruhku menghampirinya di dekat lift. "Iya, Pak?" tanyaku sopan. "Kamu karyawan baru? Tolong, nanti siapkan ruang meeting di lantai tiga." Pria itu menilik benda mewah di tangan kanannya. "Sekitar sepuluh orang akan mengisi ruangan itu. Kalau kamu belum paham apa saja yang harus disiapkan, segera tanya Bu Risma. Meeting akan diadakan setengah jam lagi." Aku menarik napas panjang. Lalu, mengangguk paham dan segera melaksanakan apa yang diperintahkan pria tadi. *** "Apakah kita akan menerima kontrak kerja ini, Pak? Saya sepertinya tidak melihat peluang di sana." "Lihat saja nanti." Mereka mulai memasuki ruangan yang sempat kubersihkan. Aku dan Susi mengintip seraya menunggu aba-aba dari Bu Risma untuk mengantar minuman. "Lu, liat kagak?" Susi mulai bersuara. "Apa?" Aku menatapnya dengan rasa penasaran yang tinggi. "Manajer kita yang baru aja cuti kemarin, udah masuk sekarang. Ganteng banget tau." Susi terlihat gemas sambil mengintip di balik dinding. Beberapa lelaki dan perempuan berjalan beriringan melewati kami. "CK." Aku berdecak. "Ingat, Sus, ada calon imam kamu yang setia nunggu. Kasihan dia." "Eh, iya. Duh, maaf ya, Ayang." Aku hanya menggeleng kepala saat melihat Susi menghalu calon suaminya ada di hadapannya. Dia menangkup kedua tangan seperti orang yang sedang meminta maaf. "Ririn," panggil Bu Risma. Kata wanita itu, aku lebih pantas dipanggil Ririn daripada Sherina, karena kabarnya di kantor ini ada nama seorang wanita yang memiliki kedudukan tinggi dengan nama yang mirip denganku. "Iya, Bu?" Aku menyahut dengan cepat. Wanita berbadan gendut itu menunjuk sebuah kode. Aku pun segera paham dan langsung mendorong meja beroda berlapis taplak putih dengan jejeran cangkir-cangkir berisi kopi. Aku diminta masuk lebih dulu dan Susi mengambil alih meja dorong. Aku mulai meraih setiap cangkir dengan sangat hati-hati. Saat cangkir kedua hendak kuletakkan di depan seorang wanita, aku terkejut melihat siapa dia. Wanita itu yang pulang pergi seenaknya ke rumah kontrakan. Di sebelahnya, ada lelaki yang begitu tampan dan bersih wajahnya tengah menatapku juga. Dia Mas Ari. Aku berusaha menelan gugup dan terus bekerja sesuai perintah. Perlahan semua cangkir sudah menempati depan mereka. Lalu, terakhir pada wanita yang menjadi duri dalam rumah tanggaku. Meskipun tak melihat wajahnya langsung, aku bisa tahu dia menyeringai sengaja memancing dengan menyentuh paha Mas Ari. Selesai, aku segera keluar dan berjalan cepat menuju ruang di mana biasanya kami beristirahat. Semua kutumpahkan di sana. Tangis tanpa suara ini sangat menyakitkan sekali. Aku ingin berteriak sekencang mungkin tetapi mustahil. Bisa dikira gila nanti. "Rin, lu kenapa?" Susi datang dan melihatku mengusap wajah. "Enggak. Aku cuman kelilipan tadi. Untung saja aman terkendali." Kupaksa bibir ini tersenyum meski hati terasa teriris-iris. Terdengar azan berkumandang, siang itu kami sebagai karyawan bergantian keluar untuk salat. Aku juga sempat terisak lagi saat rakaat pertama. Mungkin Susi paham, tetapi ia tak mengatakan apapun setelah kami selesai salat. Dia hanya menepuk punggungku pelan-pelan. "Sus, aku mau kembali. Kalau kamu mau ke kantin, duluan aja deh." "Apaan gua sendiri? Sama elu lah. Tenang, gaji gua masih banyak. Elu, gue traktir." Dia mengembangkan senyum lagi. Aku tahu, dia kasihan melihatku. Akan tetapi, tidak untuk terus menerus aku menerima uluran tangannya. "Enggak. Aku lagi diet. Kamu aja dulu. Kalau sempat, aku susul nanti. Ada perlu dikit soalnya." Aku terus beralasan. Tak ingin dia terlalu sering membantu. "Badan elu udah kurus, Rin. Masa mau diet? Gue yang kagak langsing-langsing aje masih pengen makan." Dia tertawa puas. "Oke, deh. Gue tunggu ya? Jangan sampe enggak dateng." Aku mengacungkan jempol. Kami berpisah di depan masjid seberang kantor. Lepas itu, mendung tiba-tiba menghitam dan suara gemuruh guntur menggelegar, hujan pun mengguyur dengan derasanya. Aku segera berlari menyeberang. Baru saja sampai di lobi dan mengibas pakaian serta jilbab karena basah, tanganku dicekal oleh seseorang dan digeret dengan kasar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD