Buku Nikah Siapa?

1182 Words
"Ah." Begitu sakit pergelangan tanganku ketika Mas Ari menarik hingga berakhir di balik dinding. Aku melihat keadaan sekitar yang memang sepi sambil memegang tangan untuk menetralisir rasa sakitnya. "Kamu kenapa ngelamar kerja di sini?" Pertanyaan macam apa ini? Kulihat dia dari atas sampai bawah, kakinya tampak baik-baik saja. Terbungkus dengan setelan yang rapi. "Maksud kamu apa, Mas? Aku di sini kerja memang kenapa?" "Bukan itu maksud aku. Kenapa kamu harus melamar di tempatku kerja juga? Aku enggak mau orang-orang tau kalau kamu adalah istriku. Apalagi ...." "Apalagi aku seorang office girl? Tenang, Mas. Semua orang enggak bakal tau kalau aku adalah istri kamu. Wanita yang terpaksa kamu nikahi. Aku juga akan menjauhi kamu tanpa Mas Ari minta." Aku mengusap wajah lagi seraya menyerobot dari penjara tangannya. Tega sekali lelaki itu. Empat bulan dia bersikap semaunya sendiri. Kupikir memang pembawaannya yang dingin dan kaku, ternyata aku salah. Aku langsung membenahi penampilan di depan kaca setelah wajah terlihat sembab. Aku kembali meraih alat untuk membersihkan lantai dan menaiki lift menuju lantai paling atas. Di sana sepi, hanya satu dua orang yang lewat. Dengan begini, aku bisa meluapkan semua sesak dalam d**a. Pemandangan dari atas sini tampak sedikit memberi ruang dalam dadaku. Pemandangan Jakarta yang begitu kurindukan setelah beberapa puluh tahun tinggal dengan Mama sebelum dia pergi untuk selamanya. "Rin," panggil seseorang dan aku menoleh. "Mas Ari ...." Aku baru ingat ini di mana. Aku segera mengulang panggilan padanya. "Pak Ari, ada apa, ya?" "Tak usah basa-basi. Di sini tak ada orang. Hanya kita berdua. Aku minta sama kamu mulai besok ajukan pengunduran diri. Aku sudah sehat dan bisa kerja lagi. Kamu enggak usah repot-repot kerja lagi." Mas Ari memang terlihat begitu sempurna. Siapa yang tidak tertarik dengan ketampanan dan kemampuan kinerjanya yang tak diragukan lagi. Belum sempat kujawab, seseorang datang dengan suara ketukan pada lantai yang diakibatkan oleh sepatunya yang tinggi itu. Wanita seksi dengan potongan rok tinggi. Dia menyentuh pundak suamiku sambil menarik satu sudut bibirnya. "Biarkan saja dia kerja di sini, Mas. Biarkan dia cari pengalaman. Lagian, biar dia tidak jadi istri yang mengandalkan gaji suami aja." Apa aku tidak salah dengar? Dia meminta Mas Ari membiarkan aku kerja di sini? Atau semua hanya akal-akalan dia saja? Ini jelas penghinaan dengan sebuah kata 'mengandalkan'. "Terserah kamu saja lah." Mas Ari membalik badan dan melangkah meninggalkan kami. Wanita itu lantas mengikuti. Aku meneruskan pekerjaan yang tinggal sedikit ini. Selesai semua itu, aku membawa barang lagi turun ke bawah. "Rin, diminta tolong sama Pak Anton, tuh," panggil Susi. Ketika aku baru saja meletakkan alat pembersih lantai tadi di dekat kamar mandi. "Ada apa? Aku capek banget dari atas. Mana ada yang enggak masuk tadi, jadi double tugasku." "Udah gue bilang, kalau elu lagi bersihkan lantai atas. Tapi, dia maunya elu yang ke sana. Kayaknya, minta tolong buat bantuin kerjaan dia." Aku mengembus napas kasar. Akhirnya, dengan langkah berat aku ke sana juga. Ruangan yang tak begitu jauh dari tempat office girl berkumpul. Kuketuk pintu ruangan yang tertutup rapat. Lalu, terdengar suara menyuruh masuk. "Permisi, Pak. Ada yang bisa saya bantu?" Aku hanya menyembulkan kepala. Tak tahu kenapa, ada perasaan tak enak. "Masuk, Rin! Tolong, bantu aku fotocopy berkas ini." Ada setumpuk kertas-kertas dengan klip penjepit sesuai kelompok berkas yang akan difotocopy. Pintu sengaja kubuka karena tak ingin ada yang berprasangka yang tidak-tidak. Aku masuk dan mulai menjalankan apa yang dia minta. Satu persatu berkas kubuka dan mendengarkan step by step yang diarahkan Pak Anton, selaku penanggung jawab atau apalah posisinya, aku lupa. Sampai pada suatu waktu, aku tak melihat kapan lelaki itu berdiri di sana. "Ehem. Ehem." "Eh, Pak Ari. Silakan masuk, Pak." Pak Anton yang terkejut akan kedatangan Mas Ari, lantas segera menyuruhnya masuk. "Kenapa dia ada di sini, Pak? Dia office girl banyak kerjaan di belakang." Raut wajah Mas Ari tampak kesal. Alisnya yang tebal hampir bertautan. "Ini salah satunya, Pak. Bantuin kerjaan saya yang kurang sedikit. Lagian si Burhan sibuk tadi sama Pak Rafael." Pak Anton kembali melanjutkan kegiatannya di depan komputer. Aku bersikap seperti biasa. Seolah tak mengenal Mas Ari kecuali hanya sebatas bawahannya saja. Mas Ari melangkah pelan sambil melirik Pak Anton yang terus fokus pada layar monitor di hadapannya. "Kalau masih mau kerja di sini, enggak usah keganjenan," bisik Mas Ari di dekat telingaku. Dia segera pergi setelah itu. Astaghfirullah, bisa-bisanya dia bilang begitu. Setelah selesai, aku berpamitan pada Pak Anton untuk kembali. Namun, lelaki itu masih mencegah. Entah tugas apa lagi yang akan dia berikan. "Nih, buat kamu." Dia tersenyum sambil mengulurkan dua lembaran merah. "Buat apa ini, Pak?" Aku tak segera menerimanya. Takut, ada apa-apa karena ini pertama kali. "Udah terima aja. Buat beli bakso. Enggak usah bilang-bilang yang lain. Besok-besok, minta tolong lagi, ya?" Aku terpaksa menerimanya. Lepas dari sana, aku menutup pintu lagi. Siapa sangka, Mas Ari masih berdiri di balik dinding dan menatapku nyalang. Aku buru-buru pergi menghindarinya. *** Mas Ari terlihat memasuki sebuah mobil ketika semua orang tampak keluar dari gedung ini. Sudah waktunya pulang, semua karyawan tampak berhamburan. Mungkin, hanya yang sepertiku saja yang pulangnya paling telat. Saat aku membalik tubuh, tak sengaja menabrak seseorang wanita. Dia yang biasanya datang ke rumah kontrakan. Dia, cinta pertama Mas Ari. "Maaf, Bu." Aku segera membantunya mengambil benda-benda yang tercecer jatuh dari tasnya. Lalu, menyerahkan padanya. "Lain kali lihat-lihat, dong, kalau jalan!" bentaknya. Membuat semua orang yang masih tersisa di lobi menatap kami. "Maaf," jawabku lagi. Dia berdecak sambil terus memasukkan alat make-up ke dalam tasnya. "Karyawan baru, ya? Bersihkan ruanganku sebelum kamu pulang!" Dia berlenggok lagi berjalan mengarah pada pria yang berdiri di sana. Mas Ari kembali lagi. Mungkin, memang tengah menunggu kekasihnya itu. Ada raut wajah yang tak bisa kujelaskan. Dia diam menatapku. "Mas, ayo pulang!" Wanita itu langsung menggeret tangan Mas Ari. Aku pun membalik badan juga. Menjalankan apa yang wanita itu minta. Membersihkan ruangannya yang tampak berantakan dan ada beberapa foto tercecer. Setelah kulihat dengan jelas, ada senyum manis di bibir mereka. Mas Ari dan wanita itu. Di sebuah pantai yang indah suasananya dengan gaya foto yang sangat memalukan. "Kalian memang cocok," gumamku dengan hati perih. Setelah apa yang Mas Ari lakukan padaku, dia seperti tak pernah merasa bersalah. Di ruangan yang sejuk itu, aku membersihkan semua sudut. Mengelap lemari penyimpanan buku-buku dan tanpa sengaja menemukan buku kecil berwarna hijau. Punya siapa buku nikah ini? Apa ... jangan-jangan. "Rin, kamu masih di sini?" Suara seorang karyawan membuatku kaget. Aku segera meletakkan pada tempatnya lagi benda tadi. "Sudah selesai, kok." "Ya udah, buruan balik. Mau hujan, tuh. Satpam juga sudah mau ngunci." "Oke-oke." *** "Dah sampai, Rin." "Rin." "Rin." "Ririn, astaga kamu melamun dari tadi?" Susi tertawa. Membuatku sadar kembali. "Eh, em. Udah sampai yak? Makasih, Sus. Sorry, ngerepotin terus." Aku meringis kuda. Lalu, melepas helm miliknya. "Udah sampai dari tadi. Oke, gua pulang dulu. Besok libur, jangan lupa rebahan sampai sore. Santai kita." Susi tertawa. "Ya, kalau sempat aku rebahan," balasku bersamaan dia memutar gas sepeda motor. Di depan kontrakan, mobil Mas Ari tak terlihat. Apa dia belum pulang? Ke mana dia? Pasti sama wanita itu lagi. Tak lama setelah itu, aku masuk melewati pagar pendek dan sebuah mobil datang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD