BAB 34 Lembaran Sketsa yang Mengejutkan

1602 Words
Padepokan Meditasi Tunggal             “Kakek Darmo,” Liliana menghampiri si Cantrik yang sedang asyik duduk-duduk sambil bermain kartu sendirian.             “Hei, kamu Nak. Sini-sini, duduk sini,” Kakek Darmo mempersilakan Liliana duduk di sampingnya.             “Kek,” mata Liliana memelas.             “Ada apa? Masih dihukum sama dia?”             Liliana mengangguk, “Heem, Lili capek disuruh lari-lari sebanyak itu terus pagi tadi disuruh menyapu daun-daun di lapangan, huh! Kesel!” merasa geram sampai menggertakkan gigi.             “Ya, begitulah kalau tinggal di Padepokan. Tapi nanti kamu bisa jadi lebih baik lagi dari kemarin. Semua ajaran dari guru itu baik,”             “Tapi, Lili kan bukan muridnya. Lili tamu di sini, Lili belum ada niat belajar di sini,” selorohnya kesal.             “Iya tahu, tapi nanti kamu akan dapat banyak pelajaran juga di sini kok, tenang saja,” Kakek Darmo membagikan beberapa kartu remi pada Liliana. “sibuk nggak? Kalau nggak sibuk, temenin Kakek main kartu saja daripada Kakek main sama jin,”             Mata Liliana mendelik, “Hah? Main sama jin?”             “Iya, dia di depan Kakek ini,”             Liliana garuk-garuk, dia sama sekali tidak melihat sesiapapun di samping Kakek Darmo. Hanya ada dirinya saja.             “Kakek bisa lihat ya?”             “Nanti kamu juga bisa lihat kok,”             “Hish, nggak mau ah! Takut!”             “Takut itu sama Allah, murka Allah. Takut dosa, takut berbuat jahat, begitu,”             “Muka mereka serem, Kek! Males!”             Kakek Darmo tertawa, “Hahaha, semua makhluk di sini pada dasarnya seram semua. Mereka aslinya kan tengkorak saja  yang dibalut dengan daging jadilah itu tubuh. Semua manusia atau hewan lainnya mati, kembali ke tanah dan kembali ke wujud asli mereka semua. Begitu kan?”             “Wah, Kakek nih ngajinya sudah tahap makrifat ini,”             “Hahaha,” tawanya lagi sampai tergelak-gelak. “Belumlah sampai tahap ke sana, Lili. Kakek hanya belajar dari kehidupan saja, sudah banyak makan asam garam. Jadi tahu makna kita hidup di dunia ini untuk apa. Mengemban misi apa untuk orang banyak, yang penting itu hidup harus ada tujuan. Kamu mau jadi manusia yang bagaimana, karena manusia yang bagus itu adalah yang dapat memberikan manfaat untuk orang lain, begitu.” Tandasnya panjang lebar.             “Lili sudah berguna kok, nulis novel buat orang banyak,”             “Oh ya? Kamu penulis novel?”                       Lili mengangguk, “Iya, Kek…”             “Novel apa saja?”             “Banyak, Kek. Novel cinta, novel komedi dan novel tentang kehidupan,” Liliana melihat ke depan gerbang. Sebenarnya dia sedang menunggu kedatangan si Trio Pelukis Gaib yang baru saja menghubunginya dan memintanya menunggu di depan. Sebenarnya Liliana merasa sedikit cemas kalau ternyata apa yang dilakukannya diketahui oleh Kakak Tirta. Apalagi dia bermain ke Padepokan lain.             “Kamu suatu hari akan menjadi seorang penulis yang hebat,” kata si Kakek Darmo memuji.             “Hebat apa, Kek?”             “Loh, kok gitu?”             Liliana menundukkan wajah, menatap sepatu ketsnya yang kotor terkena lumpur saat membersihkan lapangan.             “Kalau Liliana hebat, Liliana nggak harus sampai ke sini,”             “Cerita saja, Kakek dengerin,”              Liliana masih diam. Merasa berat untuk menceritakan tentang tujuan awal dia ke Padepokan adalah untuk mencari tahu tentang sesuatu yang berhubungan dengan dunia gaib untuk novelnya nanti.             “Kek,”             “Ya?”             “Sudah berapa lama kerja di sini?”             “Sejak Kakek masih muda usia 20 an-lah. Saat gurunya bukan Mbah Tirto yang sekarang. Waktu itu dia belum lahir, masih ada di genggaman Allah,” Kakek Darmo merapikan kartu remi dan memasukkannya ke dalam laci meja sambil berkata pada sesosok yang tak kasat mata. “Udahan, sono pergi dulu. Aku nemenin Mbak ini dulu,”             Spontan bulu kuduk Liliana mendadak merinding saat mendengar kata-kata si Kakek yang terasa ngeri baginya.             “Heheh,” Liliana meringis.             “Jadi usia Padepokan ini sudah puluhan tahun. Dulunya masih berupa gubuk biasa, dari satu dua murid, jadi belasan lalu sampai puluhan bahkan sampai akhirnya bisa jadi sebesar ini,” jelas si Kakek Darmo sambil mengudut sebatang rokok.             “Wah, lama juga ya? Keren,” Liliana menoleh ke samping menatap ke luar pagar Padepokan. Ternyata dia melihat ada tiga orang berdiri sedang melambai-lambaikan tangan padanya. Tak lain mereka adalah Aden, Bayu dan juga si Djani yang datang menyapanya. Liliana lekas beranjak dan meminta izin Kakek Darmo untuk dibukakan pintu gerbang Padepokan. Dia berlari keluar dan menemui mereka bertiga dengan wajah sumringah.             Aden, Bayu dan Djani tidak ingin sampai terlihat orang-orang yang ada di dalam. Ketiganya memilih untuk tidak masuk ke dalam dan hanya berdiri di luar saja sambil di tangannya membawa satu map berisi kertas-kertas lembaran sketsa.             “Sudah jadi? Cepet banget!” ucap Liliana berbisik.             “Iya, ini semua ada 15 sketsa,”             Liliana mendelik, “Astaghfirullah, banyak banget!! 15 penghuni astral?!” tak habis pikir, hampir saja dirinya jatuh terduduk saking syoknya.            Aden menyerahkan map itu dan lekas berpamitan, karena tidak ingin kalau kedatangan ketiganya sampai ketahuan oleh pemilik Padepokan. Antara Padepokan tidak bisa saling bekerja sama, apalagi kalau tujuannya berseberangan.               “Mas Aden, Bayu, Djani!” panggil Liliana lalu menghadang ketiganya.             “Ada apa? Kita harus cepat-cepat pergi sebelum ketahuan pemilik Padepokan,” Djani melihat ke belakang. Tatapannya masuk ke dalam Padepokan dan menampakkan mimik muka cemas.             “Sebanyak ini di rumah itu, apa yang harus aku lakukan? Aku tidak berani ke sana lagi,” Liliana resah. Apalagi apa yang terjadi dengan dirinya diminta untuk dituliskan ke dalam naskah cerita. Sebanyak itu siapa yang berani menghuni rumah angker?             Aden menepuk pundak Liliana dan berkata, “Carilah ilmu, agar kau bisa menguasai mereka. Setidaknya sebelum itu, agamamu harus diperkuat imannya dan setelah itu baru menerima ilmu lainnya. Sudah, itu saja. Tugas kita sudah selesai ya!”              “Eh, hei! Nanti kita ketemu lagi di luar ya!”             “Jangan, nanti kamu dihukum lagi. Kami tidak ingin sampai kamu terkena hukuman lagi. Lewat jarak jauh saja ya!”             “Jarak jauh?”             “Ya, kita kan bisa rogo sukmo, bisa ketemu kamu kapan saja kalau kamu memang manggil kami,”             “Ah ya, ya sudah kalau gitu. Terima kasih ya!” Liliana melambai-lambaikan tangan pada mereka bertiga yang baru saja menaiki motornya.             “Jaga dirimu, dan leluhur-leluhurmu itu!” pesan Aden terakhir kali sebelum semuanya berlalu pergi dari pandangannya.             Mendengar kata terakhir itu, Liliana mengernyitkan alis. “Leluhur-leluhurku?”             Ditepuknya pundak Liliana dari belakang  oleh seseorang yang tak lain adalah Tirta sendiri yang semenjak tadi memperhatikan Liliana dari dalam tepatnya di pos penjagaan.             “Siapa mereka dan kenapa kamu ada di luar?”             Liliana terperanjat sampai menjatuhkan map yang dipeluknya, “Hah!”                                                                                         *          “Jadi, siapa tadi yang menemuimu di luar? Apa kau punya teman lain selain saya di sini?” Tirta menginterogasi Liliana dengan sangat detail, sebab kapan lalu dia melihat Liliana sedang bersama tiga orang yang sama seperti yang dilihatnya di depan gerbang saat melakukan meditasi.             “Ta..tadi itu, teman saya, Kaka…,” jawab Liliana gugup.             “Dan map itu isinya apa?”             “Oh ini, gambar-gambar pesanan,”             “Gambar pesanan apa?”             “Ya, saya kan nulis novel, Ka. Jadi ada beberapa gambar untuk dimasukkan ke ceritanya, kebetulan pas saya ke sini itu ketemu sama mereka dulu,” Liliana berusaha mengarang cerita agar Tirta percaya padanya.            “Hmmm, ya sudah. Oh ya, nanti sore kamu ke ruangan saya. Saya akan melanjutkan pengobatanmu.”             “Baik, Kak!” Liliana semangat menjawab.             Tirta berbalik badan dan meninggalkan Liliana sendirian di depan pintu gerbang. Sedang di tangannya masih memeluk map berisi sketsa-sketsa penghuni rumahnya  yang dulu. Detak jantung Liliana berdegup kencang saat hendak membuka map. Ada perasaan seperti menarik tapi ada juga yang mencoba untuk mengurungkannya saja. Tapi, mengingat rasa keingintahuannya tentang sesiapa yang menjadi penghuni astral di sana membuat diri Liliana mau tak mau juga membuka tabir misteri kehidupannya sendiri.             “Liliana!” panggil Kakek Darmo memintanya segera masuk ke dalam.             “Ya Kek!” Liliana berlari masuk ke dalam. Pintu gerbang ditutup kembali dan Kakek Darmo melihat sesuatu yang mengitari Liliana. Ya, sesuatu keanehan yang makin lama sesuatu itu tampak perlahan-lahan ketika lelaki tua itu mencoba untuk merasakan dengan batinnya sendiri.             “Hmmm, cerita ini akan terpecahkan dengan sendirinya. Seperti biasa, hadirnya mereka membawa sesuatu untuk diri keturunannya sendiri.”                                                                                     *            Liliana duduk bersandar di atas kasur. Lalu menarik napas pelan-pelan saat hendak membuka map yang ada di tangannya. Sedikit gemetar saat akan membuka map dan melihat hasil gambar sketsa dari Trio Pelukis Gaib itu. Apa memang benar yang digambarnya itu atau hanya sekadar ilusi belaka atau bagaimana. Tapi Liliana ingin tahu, memang sulit untuknya mempercayai sepenuhnya lantaran dia tidak bisa melihat sendiri sosok-sosok astral itu sendiri.          Sebelum membuka, Liliana mengucapkan kalimat taawudz terlebih dahulu.             “Audzubillahiminasyaithonirojiim! Bismillahirahmanirrahiim…” Bismillahirahmanirrahiim…” dan akhirnya, dilihatnya juga sosok di gambar itu satu per satu. Tangan Liliana gemetaran, lidahnya sangat kelu, apalah kata. Tak lain yang tergambar di sana adalah sesosok-sosok menyeramkan yang kesemuanya sama sekali tidak laik untuk dilihat bahkan mungkin dipiara. Tubuhnya entah, mendadak berkeringat hebat dan spontan dia pun menjerit sekencang-kencangnya. “Aaargghhhhhhh!!! Ayah!!! Bunda!!!!” teriakannya menggema ke sekitar dinding bahkan sampai keluar dari dalam kamar. Jeritan Liliana yang menyiratkan rasa ketakutan mengejutkan beberapa orang yang sedang melintasi kamar Liliana. Dan mereka pun menggedor-gedor pintu kamar tapi suara jeritan Liliana tak habis-habisnya. Akhirnya mereka pun memutuskan untuk membuka paksa pintu kamar dan melihat Liliana jatuh pingsan tak sadarkan diri di atas kasur dengan tangan memegang lembaran-lembaran sketsa tersebut. Tangan yang masih gemetar karena ketakutan.             “Liliana!” Aku tidak tahu siapa mereka, Ternyata di sana sungguh mengerikan, Kuntilanak, Pocong, Raksasa, Gendruwo, Anak kerdil, siluman, macam, dan hantu-hantu lainnya. Kakek… kau di mana? Mengapa memintaku untuk kembali ke sana? Liliana takut, takut sekali.                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                             
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD