BAB 35 Benih-benih Cinta yang Perlahan Tumbuh

675 Words
Dear diary, Apa aku harus sudahi saja semua ini? Perjalanan yang kutempuh rasanya sangat berat, berat sekali. Baru saja pertama melangkah, jantungku sudah seperti berhenti saja. Diary, apa aku harus sudahi saja semua ini?               Menghadap sosok gurunya kini jauh lebih menakutkan daripada berhadapan dengan CEO sendiri. Pak Ardhan yang tegas seperti itu saja dan galaknya minta ampun, di sini malah ada yang lebih galak lagi. Oh, Liliana berpikir dirinya seperti sedang tinggal di dalam kandang singa dan terjebak di dalamnya. Saat dia hendak keluar, di luar dihadang seekor ular piton yang bersiap memangsanya jika sewaktu-waktu keluar dari kandang singa. Namun, sempat terpikir bagaimana kalau dia menjebak keduanya masuk ke dalam kandang lalu dia keluar dan menutup kandang itu agar singa dan ular bisa saling memangsa satu sama lain. Entah yang mati ularnya atau singanya yang dimakan ular.  Lembaran sketsa itu kini ada di tangan Tirta, sambil geleng-geleng kepala dia menatap Liliana yang diam ketakutan.             “Dari mana kamu dapat ini semua?” dedasnya lalu dia duduk di samping Liliana.             “Te…teman,”             “Ini semua?”             Liliana mengangguk, “Iya, saya yang minta,”             “Jelaskan semua sebenarnya kamu ini kenapa?”             “Lili cuma minta teman nggambarin sketsa penghuni gaib di rumah Lili,” Liliana menutup wajah dengan telapak tangannya.             “Untuk apa?”             “Untuk mengenal mereka semua,”             “Aneh, baru kali ini saya mendengar hal semacam ini. Apa maksud dan tujuan itu selain yang kamu bilang tadi?” Tirta menginterogasinya sampai ke akar-akarnya.             “Rumah itu, rumah Ayah. Yang sudah kosong bertahun-tahun lamanya. Dan Lili diminta untuk menempatinya lagi, sebab rumah itu dijual tidak laku-laku. Gimana bisa laku, la ternyata penghuni gaibnya kayak gitu semua, serem huhuhu….” Liliana menangis sesenggukan. Lembaran-lembaran sketsa itu pun ditumpuk dan dibawa Tirta yang keluar dari dalam kamar Liliana begitu saja.             Arvita Theeta menepuk pundak Liliana dan berusaha untuk menghiburnya serasa menghapus air mata Liliana dengan kertas tissue.             “Berhentilah menangis, menangis itu bukan solusi. Tapi berdoa dan berharap penuh pada Tuhanmu, itu lebi baik dari apapun,” kata si Arvita yang terdengar sangat menyejukkan.            “Di satu sisi, aku dapat tekanan dari bos. Sisi lain dari keluarga yang berharap aku bisa tinggal kembali di rumah itu,”             “Tenang, yang kau butuhkan cuma satu,”             “Apa itu, Kak?”             “Ilmu saja, itu cukup. Ilmu untuk melawan dan menundukkan mereka semua agar jangan sampai mengganggu dan kau bisa hidup berdampingan dengan mereka semua. Sepertinya, penghuni-penghuni gaib di sana menginginkanmu kembali. Karena cuma kamulah yang dianggap pantas menempatinya,” tandas Arvita menyemangati.             “Kak Arvit bisa tahu?”             Arvita mengangguk, “Kau tahu, orang-orang di sini sudah bisa menerawang jauh. Maka hati-hatilah sama pikiran dan hatimu. Apalagi si Mbah itu, yang kau panggil Kakak Tirta. Dia ahli bidang gaib, dia mampu menembus alam gaib. Kadang-kadang kalau kau mendapatinya sedang duduk diam dengan kaki bersila, maka sukmanya sedang terbang ke suatu tempat. Kadang mampir di Kerajaan Jin, kadang ke Kahyangan dan lain-lain tempat yang dia kehendaki,”             Liliana dibuat terpukau sampai mulutnya melongo.             “Hah? Kerajaan Jin?”            Arvita tersenyum simpul, senyum Arvita yang terkesan sangat ramah dan nyaman jika sedang bersamanya. Kedewasaan sikap dan bijaknya pikiran yang terlihat, membuat Liliana semakin betah saja.             “Tapi kakak tidak mendalami tentang itu, hanya orang-orang tertentu saja. Kakak justru lebih suka mendalami hati, jiwa dan pikiran manusia. Menguatkan mereka kala sedang lemah dan menghiburnya. Tujuan kami di sini beraneka ragam, dan kau harus belajar untuk memahaminya.”              Arvita bangkit dari duduk dan berpamitan keluar dari kamarnya. Meninggalkan Liliana yang badannya sudah tidak lagi gemetaran. Pikirannya kembali tenang. Seperti pada tujuan awal, dia harus fokus pada sesuatu lalu menyelesaikannya satu per satu. Karena perjalanan itu penuh misteri yang harus dipecahkan dan dilalui.             Terdengar suara gawai membangunkannya dari segala macam pikiran. Ya, suara ringtone khas dari bosnya. Kucoba ungkap tabir ini Kisah antara kau dan aku Terpisahkan oleh ruang dan waktu Memyudutkanmu meninggalkanku             “Hallo, Pak…”             “Liliana…! Keluarlah, saya sudah ada di luar gerbang Padepokan.”             “Apa?!”                                                                                     *                                            
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD