BAB 33 Tatapan Mata Tajam Sang Master

975 Words
Padepokan Meditasi Tunggal             Liliana terduduk diam di tengah-tengah lingkaran para murid yang berkumpul di dalam gazebo. Sebagian yang lain melingkar di luar gazebo. Tirta memintanya untuk duduk di tengah-tengah lingkaran dan menundukkan kepala sembari dirinya mengajar para murid yang lain. Tirta pun berdiri di samping Liliana. Dan kala itu sepertinya Liliana sedang menjalani hukuman akibat dia keluar dari Padepokan tanpa izinnya.             “Apa kalian tahu hukuman untuk anggota yang keluar tanpa izin dari pengurus Padepokan?” Tirta sengaja melontarkan pertanyaan tersebut untuk menyindir Liliana.             Serempak semuanya menjawab, “Tahu, Mbah!”             “Apa itu? Sebutkan!”             Arvitha mesam-mesem saja melihat Liliana yang sama sekali tidak bisa berkutik dan hanya diam menunduk menahan tangis.             Rangga berkomentar, “Lari lapangan sebanyak dua puluh kali putaran!”             Celetuk Dicky ikut berkomentar, “Sama Push up lima puluh kali!”             “Dzikir dan sholawat seribu kali!” seloroh Aris yang terkekeh-kekeh saat itu.             “Membersihkan lapangan selama tujuh hari berturut-turut!” tukas yang lain lagi.             “Ya, baik! Betul semua, jadi itu adalah hukuman untuk orang yang suka keluar masuk seenaknya tanpa izin dari siapapun. Setidaknya mintalah izin dari Kakek Darmo di depan. Mengerti?!”             “Mengerti, Mbah!” serempak semua menyahut.             Liliana semakin terpojok dan tersalahkan. Dirinya tak sanggup berbuat apa-apa selain menerimanya.             “Dan kamu, Liliana…!” panggil Tirta padanya.             Liliana tak berani mengangkat wajah.             “Lihat saya!”             “Iya, Kak…,”             “Kamu saya hukum hari ini,”             Liliana terkesiap kaget, ah… pikirnya dia hanyalah seorang tamu yang tak harus diperlakukan seperti itu.             “Hukuman apa, Kak?”             “Lari sebanyak dua puluh kali putaran, sanggup?!”             Liliana mengangguk, “Sanggup, Kak… tapi, boleh lima kali saja?” tawarnya.             “Kamu itu diberi hukuman masih nawar! Tambah lima kali putaran, totak dua puluh lima putaran, sekarang cepat!” bentaknya keras. Liliana pun terperanjat dan lekas berdiri dan melaksanakan perintah itu.             Tak habis pikir, hukumannya terlalu berat untuknya. Melanggar sekali saja sudah seperti ini. Bisa mati di Padepokan sebentar lagi. Arvita menepuk pundak Liliana dan memberikannya semangat.             “Semangat! Kamu bisa!”                                                                                     *  Padepokan Elang Terbang             Aden, Bayu dan Djani mulai bersiap-siap melakukan perjalanan astral untuk membedah sebuah rumah yang tak lain adalah rumah Liliana sendiri. Dengan bekal yang dimiliki selama menjadi murid di Padepokan Elang Terbang milik Mbah Jagad. Ketiganya dianggap sudah mumpuni untuk menjalani aktivitas perjalanan menembus ke dunia gaib tersebut. Perjalanan ini tentunya tidak bisa dijalani orang awam dan hanya manusia-manusia khusus saja yang mampu masuk ke dimensi lain. Mereka pun berlatih dengan bimbingan guru, sebab jika tidak ada sang pembimbing, bisa-bisa sukma mereka tersesat ke alam gaib dan tidak bisa kembali. Yang terjadi pada manusianya sendiri di dunia nyata akan menjadi orang gila. Ajian Rogo Sukmo yang mereka pakai sudah berhasil membawanya menemui para astral yang dikehendaki. Dan merupakan salah satu dari sekian banyaknya sukmaning Aji untuk melakukan pelepasan sukma diri sendiri untuk tujuan tertentu.             Kini, ketiganya tengah duduk di dalam ruangan yang gelap dan sepi. Aden, Bayu dan Djani semua duduk bersila dengan tenang. Di samping Bayu sudah tersedia beberapa lembar kertas gambar, pensil dan penghapus untuk menggambar sketsa para penghuni astral yang ada di dalam rumah Liliana.              “Baiklah, kita bertiga sebentar lagi akan sampai ke sana. Bismillahirrahmanirraahiim,” dalam sekejap mata sukma mereka pun keluar dari dalam tubuh, namun ketiganya masih dalam posisi sadar. Raga di tempat, tapi sukmanya terbang melesat sekian detik langsung menuju ke suatu rumah yang sama persis di foto.             Ketiganya menoleh satu sama lain, “Kita sampai juga, wah… benar ini rumahnya ya?” kata si Aden terperangah saat melihat dari luar nampak satu keanehan yang luar biasa. Di atas atap rumah Liliana itu nampak sesosok wujud hitam besar yang sedang duduk diam menatap ketiganya. Saat itu si sosok hitam langsung berdiri dan menggertak mereka semua.             “Heh, kamu siapa? Pergi!” gertakan dengan suaranya yang besar itu sempat mengejutkan si Aden.             Tapi, si Aden yang sudah biasa bergelut di dunia supranatural pun tidak merasa gentar. Malah balik menyapa dengan humoris.             “Woi, Wooo! Ngapain kamu di situ, sini ayo turun!” begitu kebiasaan si Aden menghadapi para makhluk astral.             “Kamu siapa? Kalau mau masuk rumah ini, izin dulu! Kalau nggak, kalian akan diserang!” jawabnya sekali lagi dengan gertakan.             “Wooo, kita dapat tugas dari Mbak Liliana, anak yang tinggal di rumah ini buat gambar kalian semua, mau tidak?” tawarnya bernegoisasi.             “Gambar apa?”             “Gambar kalian,”             “Hooh!” si sosok hitam yang biasa dipanggil Wowo itu turun dari atas atap rumah. Suara debuman kakinya terdengar keras. Dia pun mendekati si Aden, Bayu dan juga Djani.             “Siapa aja yang ada di sini? Tuan rumahmu mau melihat dan berkenalan, sebelum dia nanti kembali ke sini untuk dihuni,” Aden yang ramah dan humoris membuat si hitam Wowo senang dan menerima kehadiran mereka.             “Sebentar, aku panggil si Maung penjaga dulu,” si hitam Wowo masuk ke dalam dan menemui sesosok gaib Macan kumbang yang menjaga pintu depan. Dan terjadi perbincangan di antara mereka yang pada akhirnya si Macan Kumbang itu ikut keluar menyambut kedatangan ketiga praktisi tersebut.             “Masuklah, aku akan mengantar kalian,” ucap si Macan Kumbang itu pada ketiganya.             Aden, Bayu dan juga Djani dipersilahkan masuk ke dalam, tubuh mereka benar-benar halus dapat menembus dinding-dinding. Pada saat itu, Aden melihat beberapa penampakan yang mana semuanya terlihat penasaran atas kedatangan mereka. Dan semuanya pun menyambut dengan baik ketiganya. Aden, Bayu dan Djani menikmati keadaan dan merasa enjoy dengan mereka semua.             “Permisi, saya diminta sama Mbak Liliana buat ngelukis kalian semua, satu-satu ya.” Begitu kata si Aden meminta izin dengan sopannya.             “Silakan.” Roh-roh halus itu, Sangat halus, Maka perlakukanlah secara halus, Sebab mereka sangat halus, Dunia ini adalah dunia manusia dan bangsa jin, Menjadi satu, Adalah bagaimana cara memperlakukan keduanya, Dengan cara yang baik. Supaya mereka enggan.                                                                                             *                                                                                                                    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD