BAB 32 Rindu Sang CEO

802 Words
            Sudah beberapa hari lamanya Liliana tidak datang ke kantor penerbitan. Sedang dia ingin mengajaknya berbincang-bincang masalah orderan naskah novel dunia gaib Liliana. Di dalam kantor, Pak Ardhan fokus memikirkan sesuatu untuk mengadakan acara bazar buku murah yang diantaranya akan menjualkan novel Liliana dengan harga diskon untuk menutupi ongkos cetak dan lainnya. Pikirnya, tidak untung ya tidak apa-apa yang penting modal kembali utuh, itu saja cukup. Lelaki itu beralih ke sofa dan merebahkan tubuhnya sambil bersandar, Pak Ardhan melirik ke balik kaca jendela ruangannya yang dapat menembus ke luar untuk memantau karyawan-karyawannya dari dalam.             Tampak si Demy yang suka gugup dan latah itu terlihat baru saja menjatuhkan beberapa tumpukan map sampai lembaran kertas bercercer di lantai. Tingkah Demy yang seperti itu kerapkali membuat dirinya tersenyum geli. Sebab Demy adalah sosok wanita yang lucu dan banyak tingkah juga ceroboh. Jadi banyak orang yang suka dengan dirinya. Pak Ardhan masih menahan senyum gelinya saat hendak menyeruput secangkir coffelate buatan si Demy. Di mana terkreasi bentuk daun berwarna putih yang cantik pada lapisan busa di bagian atasnya. Baru saja mulut cangkir itu menempel di bibirnya, tiba-tiba Demy membuka pintu ruangan dengan gugupnya.             “Pak, maaf Pak Ardhan,” Demy melangkah cepat menghampiri Pak Ardhan yang masih duduk di sofa dan sedang menyeruput minumannya.             “Demy! Kamu tidak tahu saya sedang apa sekarang?” bentak Pak Ardhan meletakkan secangkir coffeelatenya ke meja.             “Ma…maaf, Pak. Tapi ini ada surat-surat yang harus design saat ini juga. Dan dikirim saat ini juga lewat faksimili.” Demy duduk di sofa lainnya sambil membersihkan ceceran cofeelate yang menempel di atas meja dengan tissue.             “Kenapa bisa dadakan seperti itu?”             “Maaf, Pak. Seharusnya hari Minggu kemarin saya antar berkas-berkas ini ke apartemen Pak Ardhan. Tapi Pak Ardhan tidak ada di tempat, dan saya baru ingat sekarang ini. Maaf, Pak!” Demy berkali-kali menundukkan kepalanya.            Mendengar penjelasan Demy seperti itu, akhirnya Pak Ardhan memakluminya. Benar memang hari Minggu itu dia tidak ada di apartemen. Sebab saat itu dia sedang bersama dengan Vindy. Dan yah, apa yang terjadi saat dengan Vindy kala itu di rumahnya. Vindy bukan lagi seperti Vindy yang biasa, melainkan Vindy yang ketakutan saat melihat dirinya mendekat. Vindy yang selalu berteriak saat menatap diri Pak Ardhan, selepas malam itu. Sampai-sampai Pak Ardhan tidak tahu harus berbuat apa. Dan sampai kini, Vindy belum kembali seperti sedia kala.             “OK. Maaf kalau begitu, ya sudah, saya tanda tangani semua sekarang.” Pak Ardhan beralih ke meja kerjanya dan mengambil sebatang pena.             Demy mengikutinya dari belakang, “Tumben Liliana sama Vindy nggak datang ke kantor, ada apa ya?”             “Biarkan mereka, mereka sedang mengerjakan tugas masing-masing. Oh ya, nanti kau hubungi Liliana ya setelah tugas ini selesai.”             “Baik, Pak!”                                                                                                     *  Video call by Pak Ardhan.             Bukan hal yang tak biasa jika semua karyawan kantor penerbitan mengetahui hubungan khusus antara CEO dengan Liliana. Meski terkadang hubungan itu seperti roller coaster yang naik turun dan berliku-liku tanpa status yang jelas. Tapi, jika Pak Ardhan tidak mendengar suara Liliana lebih dari dua hari saja sudah kangennya minta ampun. Beberapa karyawan sengaja mengintip aksi Pak Ardhan di depan kamera gawai dan tengah menelpon Liliana. Dan tak sadar dirinya sedang diintip oleh mereka dari luar.             “How are you today?”             “Fine, Mister!”             “Apa yang kau kerjakan sekarang?”             Liliana tidak menjawab, Pak Ardhan melihat dirinya sedang bersama dengan seseorang yang ada di samping kiri Liliana.             “Siapa itu di sebelahmu?”             “Guru saya, Pak,”             “Kenapa mukamu cemberut?”             “Tidak apa, Pak. Saya dapat tugas,”             “Novelnya bagaimana?”             “Sedang dikerjakan, Pak, tenang saja,”             “Saya perlu ke sana?”             “Jangan, Pak,”             “Kenapa?”             “Tidak apa-apa, belum waktunya saja,”            “Baik, kalau begitu. Jaga dirimu baik-baik,”             “Makasih, Pak…, maaf kalau tidak bisa lama-lama.”             “See you!”             Dan panggilan itu pun ditutup. Pak Ardhan melihat ke arah cincin batu akik mustika yang berkhodam harimau putih. Di mana cincin batu akik tersebut adalah pusaka warisan leluhur milik kakek buyut yang diwariskan padanya yang paling cocok diantara garis keturunan lainnya. Sebagai seorang pimpinan perusahaan, dia membutuhkan Mustika tersebut guna untuk membuat diri menjadi dihormati dan disegani. Juga untuk meningkatkan mental dan kepercayaan diri, yang bakal membuat diri lebih dihormati oleh orang lain. Apalagi di saat dalam kondisi terdesak, khodam yang ada di dalam cincin tersebut bisa menjaga dan melindungi dirinya dari serangan orang jahat.             Dielus-elusnya batu cincin itu dengan lembut. Sudah waktunya dia memberikan sesuatu untuk si khodam atas penjagaannya kapan hari lalu. Pak Ardhan membuka laci meja dan mengeluarkan sebuah minyak khusus untuk perawatan mustika tersebut. Di dalam ruangan dia mengajak berbincang-bincang si khodam dengan bahasa batin. Diam tapi berbicara. Beberapa karyawan yang mengintip pun kembali ke meja kerjanya masing-masing.                                                                                     *                                                                                                                                                                                                          
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD