BAB 31 Bisakah Kalian menggambar semua penghuni rumahku?

1192 Words
Chat: Ka Bayu, Aden, Ka Djani. Aku mau ke Padepokan kalian sekarang, ada perlu. -Liliana-             Pagi hari buta, tepat pukul 6 pagi. Saat kehidupan di Padepokan Meditasi Tunggal masih hening dan berkabut disertai hawa dingin yang menusuk ke tulang. Kala itu, Liliana yang punya satu tujuan sengaja ingin keluar dari Padepokan dan bermain ke Padepokan lainnya. Ada satu hal yang ingin diceritakan pada ketiga pelukis gaib itu. Langkah kakinya mengendap-endap agar tak sampai terdengar oleh penghuni kamar lain yang masih tertidur. Sepatu ketsnya seperti tanpa beban, ringan melangkah kecil-kecil seperti seekor kelinci. Suara burung-burung di pagi hari meramaikan keheningan pagi. Hanya terdengar beberapa suara kendaraan yang melintas di jam ketika matahari baru saja terbit.             Tepat di pintu gerbang, Liliana kesal saat melihat gerbang itu digembok dan harus meminta izin keluar oleh si Cantrik, Kakek Darmo yang bertugas menjaga. Mau tidak mau dia harus membangunkan Kakek Darmo biar dibukakan pagarnya. Liliana berbalik badan dan melangkah ke pos jaga, dilihatnya sosok lelaki tua itu tengah tertidur lelap. Hendak membangunkannya tapi tidak tega. Akhirnya dia pun memutuskan untuk keluar meloncat dari atas pagar.        Hap!        Liliana anjlok ke bawah dengan sukses. Untungnya saat itu dia memakai sepatu kets,  jadi tidak ada cerita kaki keseleo. Selepas itu diapun beringsut dari area Padepokan dan menghentikan mobil angkutan umum yang akan membawanya menuju ke Padepokan ketiga pelukis gaib itu. Liliana ingin mengetahui apa saja yang ada di dalam rumah lamanya dan agar dia dapat mempersiapkan diri saat nantinya kembali ke sana. Setidaknya, jangan sampai terjadi sesuatu yang tidak diharapkan dan mengerikan.                                                                                                          Tirta baru saja selesai bermeditasi dan beranjak bangkit dari alas tempat dia melakukan meditasi. Diambilnya sebuah buku yang akan diberikan pada Liliana pagi hari itu, dia harus memberikan beberapa ilmu pengetahuan tentang dunia tak kasat mata dan pelbagai macam hal lainnya yang harus diketahui olehnya. Dalam mendalami dunia gaib perlu kehati-hatian dan kecermatan yang tinggi. Sebab, sekali salah memilih ilmu maka akan fatal akibatnya. Itu sebab mempelajari ilmu tak kasat mata ini membutuhkan pembimbing, tidak diperbolehkan belajar sendiri atau mencari tahu sendiri. Kalau tidak nanti bisa-bisa tersesat dan jadi gila. Seperti kasus adiknya dulu, Marta yang diam-diam belajar ilmu gaib ternyata sesuatu yang tidak diharapkan terjadi. Sukma adiknya itu diculik oleh jin, ketika Marta sedang berlatih ilmu raga sukma sendirian. Sampai dirinya memanggil beberapa guru besar saat dulunya Tirta baru menjadi murid baru. Beruntung saja sukma adiknya itu bisa kembali. Jika tidak, maka waktu akan mengubahnya menjadi orang gila yang kehilangan akal.                 Lelaki itu mengenakan udeng lalu keluar dari ruangan. Seperti biasa absen pagi setelah jam enam beberapa murid sudah keluar untuk berolah raga dan menghirup udara segar. Tirta melewati satu per satu kamar murid yang pintu kamarnya semua sudah terbuka dan masih ada satu pintu yang tertutup, iaitu kamar Liliana. Tirta berhenti di depan kamar Liliana dan mengetuk pintu beberapa kali sambil memanggil-manggil dari luar.             “Liliana,” tapi tak ada sahutan sampai panggilan ketiga pun tetap tidak ada sahutan. Sepatu kets Liliana pun tidak ada di atas keset yang artinya tidak ada orang di dalam kamar itu. Tirta mencoba melihat dengan mata batinnya untuk bisa menembus ke dalam dan ternyata… kosong.             “Hemm, ternyata…” Tirta berbalik badan dan berjalan menuju ke lapangan untuk memulai latihan olah raga dan olah napas bersama para murid yang sudah berkumpul. Peluit pun ditiup dan berlarilah semua murid yang sudah mengenakan kaos olahraga bertuliskan nama Padepokan Meditasi Tunggal.                                                                                               *             “Jadi…?” Mas Aden menyeruput secangkir kopi hitam             “Jadi, aku minta kalian menggambar skets semua penghuni gaib di rumahku yang lama itu. Soalnya aku harus mengenal mereka semua, agar mereka tidak sampai menggangguku saat aku kembali ke sana nanti, Mas…” Liliana mengeluarkan beberapa lembar uang seratus ribuan pada Mas Aden.             “Sisanya nanti kalau sudah selesai yah,”             “OK. Siap!”             Liliana pun menjabat tangan ketiganya dan lekas berpamitan pulang. Jangan sampai lebih dari jam delapan saat kembali ke Padepokan, nanti bisa runyam urusannya kalau sampai Kakak Tirta tahu kepergiannya yang diam-diam.                                                                                     *                  Dear diary, Ini adalah kenakalan pertamaku, dan kau tahu? Aku sampai harus berjalan mengendap-endap saat akan memasuki Padepokan. Dan, seperti diketahui bahwa Kakek Darmo sudah tidak lagi tidur di pos jaga. Lalu, aku harus masuk darimana? Apa ada pintu belakang? Kalau sampai ketahuan, bisa mampus aku…               Liliana menggigit kuku jemarinya, beberapa kali terlihat mengintip dari luar pagar dan bersembunyi dari pandangan si Cantrik yang pandangannya mengawas ke sana-sini. Apakah Kakek Darmo tahu kalau dia keluyuran pagi ini. Adakah orang yang mengetahui bahwa dia sedang tidak berada di dalam Padepokan?             Mulailah rasa cemas itu berselubung di dalam benaknya. Mau lewat mana? Apa ada jalan belakang? Pikirnya gelisah.             “Lewat sini,” seloroh suara seorang laki-laki yang berdiri di belakangnya.             Liliana menoleh, “Ya? Ke mana?”             “Kamu murid baru ya?” tanya lelaki itu ingin tahu.             Liliana mengangguk, “Ya, saya baru datang kemarin,”             “Kenapa di luar?”             “Saya ada.. ada urusan sebentar,”             “Baru pertama sudah jadi murid nakal,”             Liliana meringis, “Bu… bukan, bukan seperti itu,”             “Kau tahu kalau Master sampai mengerti tentang hal ini, kau bisa dihukum berhari-hari,” tutur lelaki itu sekali lagi. Seorang lelaki yang tubuhnya tegap dan aura wajahnya terlihat cerah. Matanya agak sipit, hidung mancung, dan rambutnya bak si tokoh kartun Naruto yang jabrik.             “Ehehe, semoga tidak,”             “Ikut saya sekarang,”             Liliana mengikuti dari belakang, entah mau dibawa ke mana. Yang penting nurut saja, terbebas dari hukuman Kakak Tirta itu lebih baik.            Perawakan laki-laki yang ada di depannya itu membuat teringat punggung CEO-nya, Pak Ardhan. Lebar.             “Siapa namamu?” tanya Liliana.             “Bintang, panggil biasa saja ya. Aku bintang,”             “Oh, OK. Ka, Kak Bintang,”             Mereka berdua melewati ilalang yang tinggi. Jalan belakang menuju Padepokan satu-satunya harus melewati barisan ilalang.              Bintang menyingkirkan ilalang yang menghalangi jalan mereka, dan sampailah keduanya di depan dinding yang kokoh. Dinding belakang Padepokan dan Liliana harus naik ke atas agar bisa turun ke bawah.             “Naiklah,”             “Gimana aku bisa naik, ini tidak ada pijakannya seperti di pintu depan, apa aku harus merayap seperti seekor cicak?”             Dan tawa renyah pun terpecah juga, Bintang menertawakan kata-kata Liliana habis-habisan.  Pikirnya sungguh lucu             “Hei, kau belum sebut siapa namamu?”             “Liliana,”             “Naik ke atas punggungku, aku akan membantumu,”             “Oh, OK!” Liliana naik ke atas punggung si Bintang yang tengah berusaha menjadi anak tangga dengan membungkukkan punggungnya. “Jangan gerak ya, nanti aku jatuh,”             “Tenang aja, kalau sudah naik, cepat kembali ke kamarmu.”             “Ya, Kak!” Beruntung saja tangan Liliana kuat menahan saat sudah sampai pada bagian atas tembok. Dan kemudian dia pun terjun ke bawah.             HAP…!             Liliana berhasil mendarat dengan selamat. Tidak tahu kalau di dekatnya itu berdiri sosok Tirta yang sudah sedari tadi menunggu kedatangannya.             “Liliana…”             GLEK!             Suara yang familiar dan tak asing, Liliana yang baru saja bangkit pun mulai gemetaran. Tidak berani menoleh ke belakang. Sedang bibirnya bergumam dan bersiap-siap untuk kabur dari pandangannya. Berlari adalah jalan yang terbaik.             “Eh, Kakak. Saya pergi dulu! Waaaaaa!”             “Hei, mau ke mana kamu?!” *                                                                                                        
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD