BAB 39 Jejampi Si Vindy

1582 Words
              Vindy memutuskan untuk mencari praktisi baru selain Mbah Soip lantaran dianggap gagal menaklukkan Pak Ardhan dengan benda-benda kleniknya. Selain itu, Vindy tidak ingin disentuh lagi oleh si tua-tua keladi, makin tua makin menjadi. Rasa jijik bergelayut di dalam benaknya. Dia tidak ingin lagi terikat dengan dukun c***l yang punya niat ingin memiliki tubuhnya. Sore hari itu, diantar salah seorang temannya—Sabrina. Mereka mendatangi praktisi supranatural lain dan tempatnya ada di luar kota Surabaya. Tepatnya Banyuwangi, konon di kota ini dalam menangani urusan suprantural dianggap ampuh mengatasi masalah tanpa masalah. Kesaktian-kesaktian para praktisi di sana tidak hanya isapan jempol belaka. Bahkan melawan santet terberat pun mereka sanggup.             “Kamu yakin, Vin?” Sabrina berusaha mempengaruhi pikiran dan niat Vindy.             “Iya, aku cinta banget sama Pak Ardhan. Aku sekarang cuma takut sama cincin akiknya itu. Pak Ardhan itu punya khodam harimau dan harus dicabut sama dukun yang ampuh, dukun abal-abal mah nggak bakal bisa! Pak Ardhan kalo lagi jadi macan nakutin banget! Dan aku baru tau itu! Hih!” Vindy nyerocos tanpa henti seperti kereta api yang berjalan tanpa rem.             “Ya, aku ngerti banget. Tapi ini beneran mau nyabut khodam bosmu sendiri? Nanti kalau ketahuan gimana?” Sabrina menepuk pundak Vindy.             “Beneran, kalau memang bisa kenapa nggak? Nggak akan ketahuan, aku udah siapin amplop lebih banyak buat Pak Dukun,”             “Heheh,”             “Kenapa nyengenges?”             “Pokoknya aku nggak ikut-ikut,”             “Udah ah, nyetir aja lu. Yang penting Pak Ardhan bisa dekat sama aku lagi, aku nggak mau dia jadi kerasukan macan itu. Serem!!!”                                                                                                             *      Kantor CEE Publishing             Pak Ardhan mengadakan acara rapat dan mengumpulkan semua editor yang bertugas untuk menyaring naskah-naskah penulis yang sudah masuk ke meja redaksi. Di hari Rabu, seperti biasa Pak Ardhan mengenakan kemeja merah maroon dan dasi hitam bergaris setiap kali menggelar acara rapat. Dengan kewibawaannya, dia mampu memimpin dan mengarahkan anak buahnya untuk mengatur para penulis dan calon penulis baru.             “Saya belajar dari kasus penulis kita, Liliana. Sebaiknya kita mulai mengubah strategi marketing jualan buku dengan cara terbaru. Semisal… memakai f******k ads, rambah semua jejaring sosial. Jika memang branding penulisnya sendiri tidak mampu mengejarnya. Kadangkala, ada tipe penulis yang introvert dan tidak mengerti dunia luar. Ini yang justru harus kita bantu dan dongkrak brandingnya.” Pak Ardhan menyalakan layar proyektor dan membagikan slide-slide strategi marketing yang dibuat dengan power point semalam tadi. Agar semua editor dan Team Marketing ikut membacanya.             “Iya, Pak. Yang saya lihat juga seperti itu. Kita tidak bisa terfokus dengan toko buku saja, setidaknya kita juga gelar acara pameran di luar. Juga f******k ads, dan penjualan melalui w******p juga,” seloroh Rio, ketua Team Marketing menimpali.             “Untuk calon penulis baru, ada baiknya kita juga mengajarkannya cara membentuk branding yang sesuai dengan kriteria genre novelnya,” sambung Lola yang menjabat sebagai ketua editor.             “That’s right! Jangan lupa semisal dia penulis novel horor, maka status brandingnya ya seputar dunia horor. Itu sebagai pancingan fans saja agar tertarik ikut membeli novel-novelnya nanti,” jawab Pak Ardhan menyetujui semua usul mereka.             “Jadi, mulai dari sekarang…, kita naikkan kembali branding Liliana de Frank yang merosot turun. Bisa jadi kita buat trailer novelnya dulu, dan selama perjalanan menulisnya kita terus iklankan dan bikin pancingan sistem pre order, begitu,” sahut editor lain, Pak Sefyanto menyambung.             “Bagus juga! Kita bikin calon pembeli penasaran. Kita buat video sebagus mungkin, iklan semenarik mungkin. Dan, Demy! Tolong panggil Liliana ke kantor, sampaikan Pak Ardhan memanggilnya sebentar.”             Demy berjalan cepat menghampiri Pak Ardhan. “Baik, Pak. Saya hubungkan sekarang juga.”             Pak Ardhan tersenyum lebar saat melihat jalannya rapat sukses dan sesuai harapannya. Tidak ada yang menolak, semua setuju dengan penjabaran strategi marketingnya. Dia ingin karir Liliana yang meredup kembali sukses. Dengan novel jenis baru dan cerita terbaru yang sama sekali belum pernah dijamahnya selama ini. Bahwa sebenarnya di dalam diri Liliana tersimpan banyak misteri yang belum dipecahkan.                                                                                             *              Cleon menghubungi Liliana by video call. Ketika rasa kangen tak lagi dapat dibendung, Cleon pun sampai mendatangi Padepokan untuk kesekian kalinya. Tapi kali ini, sang Master sama sekali tidak memperbolehkan orang lain membawa Liliana keluar, jadi mereka berdua hanya boleh bertemu di depan pagar gerbang Padepokan atau di Pos Jaga saja. Peraturan yang dibuat lebih ketat itu ditujukan agar para murid dan atau yang masih calon murid bisa lebih disiplin akan waktu dan melupakan sejenak urusan dunia luar untuk mengasah dan masuk ke dunia spiritual.             Cleon dan Liliana saling bertatapan. Tak lama kemudian pandangan Cleon menatap ke pergelangan tangan Liliana yang sudah tak terlingkari oleh gelang khusus pemberiannya.             “Loh, gelangnya ke mana?” tanya Cleon menarik tangan Liliana.             “Oh, itu…” merasa tak enak Liliana saat hendak mengatakan bahwa gelangnya sudah diambil oleh bosnya lusa lalu.             “Ke mana?” tanyanya mulai mendedas.             “Diambil sama…,”             Cleon makin mendekat, “Diambil siapa?”             “Kenapa sih?”             “Diambil siapa? Itu kan gelang perlindungan,”             “Diambil sama guruku,”             Mulut Cleon sampai menganga mendengar jawaban Liliana. “Kok kamu bolehin?”             “Ya gimana, katanya ga perlu pakai gitu-gitu,”             “Duh, terus kalo nanti kamu balik ke rumah itu nanti diserang lagi, Lili!” Cleon menjadi resah tapi tak bisa berbuat apa-apa.             “Ya nggak tau juga aku, katanya nggak cocok dipake sama cewek. Karena bikin cepat emosi gitu,”             “Air yang dikasih sama bang Bernard masih kamu minum? Itu kalo airnya mau habis, kamu tambahin lagi, Lili…” Cleon menatap lekat-lekat mata Liliana. Keduanya saling beradu pandang.             “Kenapa sih, kamu rela jauh-jauh datang ke sini?” pipi Liliana bersemu merah.             “Karena aku cinta sama kamu,” jawab Cleon serius.             Liliana melengos, “Jangan main-main sama cinta, nanti kamu dimakan cinta. Lagian, kamu jangan sembarangan cium cewek. Nanti dikuntit sama Mbak Kun tau rasa kamu itu,” Liliana ambil jarak. Tidak ingin terlalu berdekatan dengan Cleon yang menurutnya makin lama makin intens saja. Sedang dirinya belum ada waktu dan rasa timbal balik atas pernyataan tersebut.            Cleon menarik tangan Liliana, “Kenapa kamu menjauh?”             “Cleon, kamu jangan kayak gini di tempat ini. Malu tau,” sergah Liliana menarik kembali tangannya.             “Aku bisa bantu kamu menulis novelnya, kalau memang kamu kesulitan,” tawar Cleon.             “Nggak bisa, Cleon. Menulis itu nggak bisa dikasihkan ke orang lain. Nanti bosku tau juga kalau itu tulisan orang lain. Kalau bisa gitu, udah dari dulu aku kasihkan ke orang lain… gimana sih?” Liliana beranjak dari kursi dan memilih untuk berdiri saja. Meski kemudian si Cleon ikut-ikutan berdiri juga.             “Apapun aku bisa bantu,” Cleon menarik tangan Liliana dan menggenggamnya lalu mengecup punggung tangan Liliana.             “Duh, kubilang jangan di sini. Nanti ketauan sama guruku gimana? Di sini banyak mata-mata tau!”            Cleon menarik tangan Liliana, “Kenapa kamu menjauh?”             “Cleon, kamu jangan kayak gini di tempat ini. Malu tau,” sergah Liliana menarik kembali tangannya.             “Aku bisa bantu kamu menulis novelnya, kalau memang kamu kesulitan,” tawar Cleon.             “Nggak bisa, Cleon. Menulis itu nggak bisa dikasihkan ke orang lain. Nanti bosku tau juga kalau itu tulisan orang lain. Kalau bisa gitu, udah dari dulu aku kasihkan ke orang lain… gimana sih?” Liliana beranjak dari kursi dan memilih untuk berdiri saja. Meski kemudian si Cleon ikut-ikutan berdiri juga.             “Apapun aku bisa bantu,” Cleon menarik tangan Liliana dan menggenggamnya lalu mengecup punggung tangan Liliana.             “Duh, kubilang jangan di sini. Nanti ketauan sama guruku gima “Lili, aku beneran suka kamu,”             “Cleon, jangan! Lepas!” Liliana berusaha menarik tangannya tapi ditahan Cleon.             Mereka berdua tak menyadari kalau gelagatnya tengah diintai seseorang dari kejauhan. Pun begitu dengan si Cantrik, Kakek Darmo yang berdiri di luar gerbang sambil mengudut rokok. Tidak mau ikut-ikutan dengan tingkah laku anak muda zaman sekarang.             Cleon masih tetap bersikeras dengan niat hatinya, tak melihat kalau di belakangnya sudah berdiri sosok lelaki bertubuh tegap yang tingginya sedikit jauh di atasnya. Lelaki itu berdehem kuat.             “Ini Padepokan, bukan tempat pacaran. Kalau mau pacaran di luar saja, tapi Liliana datang ke sini buat belajar, bukan buat kamu ajak pacaran! Mengerti?!” gertak si Tirta pada Cleon. Cleon saat itu beringsut dan melepas tangan Liliana darinya.             “Ma…maaf, Kak. Saya cuma mau…,”             “Mau apa?”             “Ketemu dia,”             “Pulang saja,”             “Ba.. baik, Kak. Saya izin pulang.” Cleon menatap mata Liliana dengan tatapan paling dalam. Mengisyaratkan tentang sebuah rasa yang tersimpan.             “Maaf ya, Cleon.”             Dan pagar gerbang pun dibukakan oleh Kakek Darmo yang mempersilahkan pemuda itu keluar dari Padepokan seraya berkata,            “Pangangen ati bakal tak turuti,             Sepiro adohe bakal tak parani,             Sepiro angele bakal tak goleki,             Amargo gedene roso tresno iki…”[1] [1] www.geguritangr.blogspot.com            “Liliana, ini saya kembalikan sketsamu, besok kamu jadi pulang lagi ke Surabaya?” Tirta memberikan satu map gambar sketsa itu kembali pada Liliana.             Liliana mengangguk, “Iya, Pak Bos memanggil lagi,”             “Baiklah, jaga dirimu baik-baik selama di sana. Jangan berbuat nekad sebelum kau mendapatkan ilmu dari sini, mengerti?” pesannya terakhir kali sebelum dia berbalik punggung.             “Thanks Kak,”             “Eh, Lili…”             “Ya, Kak?” Liliana menghampiri si Tirta.             “Kamu suka cowok itu?”             “Ah,” terkejut tiba-tiba ditanya seperti itu. “Belum, kenapa?”             “Ah,  tidak apa-apa, baguslah kalau begitu.” Dan lelaki bertubuh tegap itu pun melenggang kangkung sambil bersenandung lagu gending Jawa.                                                                                    *                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD