BAB 40 Duduk di Kursi Panas

1604 Words
Kantor CEE Publishing //Kursi yang paling kubenci Adalah kursi panas ini, Kaki dan tanganku gemetaran//               TUK…TUK…TUK             Seperti biasa, setiap dalam kondisi gugup dan kebisingan. Liliana selalu menghentak-hentakkan sepatu ke lantai. Jika tidak begitu, maka dia akan menggigiti kulit jemarinya sampai terkelupas. Apalagi saat berhadapan dengan CEO yang baru saja menerima semap utuh gambar-gambar sketsanya. Liliana melirik ke arah jam dinding yang menunjukkan pukul 10 lebih 15 menit. Jarum jam itu seakan berlari terlalu lambat, lambat seperti jalannya keong. Bahkan seakan-akan jam itu mati—tak bergerak. Pikiran Liliana berkeliaran ke mana-mana. ‘Bagaimana kalau… ‘bagaimana kalau…             Itu saja yang menari-nari di dalam pikiran alam bawah sadarnya  sampai tak terasa tenggelam demikian dalam ke alam lamunan. Dan…             “Liliana,” panggil sang CEO padanya. Tapi Liliana masih tetap tak mendengar dan tenggelam dalam lamunan. Dipanggilnya untuk yang kedua kali, “Lili,” tetap tidak ada sahutan dan reaksi apapun. HENING.             Panggilan ketiga pun berkumandang dengan seruan, “Lilianaaa!!!”             BRAK!             Meja pun digebrak dengan keras, “Dengarkan saya! Pikiranmu ke mana?!” emosi Pak Ardhan pun mulai naik. Begitulah kebiasaan Pak Ardhan kalau sedang serius, yang diajak bicara pun tidak boleh mengabaikannya.              “Hah, iya.. iya, maaf, Pak! Maafkan saya!” Liliana bangkit dari kursi dan membungkukkan badannya untuk meminta maaf.             “Lain kali, tolong lebih serius, kalau sudah diminta menunggu itu ya jangan sampai melamun, mengerti tidak?” tuturnya menasehati.             “Baik-baik, Pak,”             “Duduklah kembali, ada yang ingin saya sampaikan,” katanya sambil melonggarkan ikatan tali dasi di lehernya. Sebelum dia melanjutkan kata-katanya, Pak Ardhan mengambil napas panjang agar pikirannya dapat kembali fokus.            “Iya, Pak…,”             “Jadi, ini gimana awalnya cerita ini, cerita tentang kamu sampai pesan sketsa ini. Dan apa yang awalnya ada di dalam benakmu saat ingin tahu sesiapa penghuni astral di rumah lamamu itu, Lili?”              “Ja… jadi itu, saya awalnya ketemu sama trio pelukis gaib saat tengah perjalanan ke Padepokan. Nah, terus saya itu datangin mereka bertiga minta digambar penjaga gaib saya, Pak. Awalnya begitu,”             Pak Ardhan semakin tertarik dan penasaran mendengar cerita darinya, makin lama makin mendalam. Pak Ardhan semakin tertarik dan penasaran mendengar cerita darinya, makin lama makin mendalam. Apalagi kecantikan Liliana yang alami dengan polesan make up sederhana,          tak setebal riasan si Demy atau bahkan Vindy. Liliana memiliki kelebihan tersendiri yang membuatnya tampak berbeda. Sebab itulah pandangan sang CEO tak pernah beranjak jauh darinya. Seperti ada getaran-getaran yang mengikat antar dirinya dengan Liliana.             “Terus?”            “Penjaga gaibmu ada gambarnya?”             “Ada,”             “Mana? Kok saya nggak lihat? Di sketsa-sketsa ini hanya ada jin belek-belek semua, kalau penjaga gaib itu kan wujudnya bagus dan energinya positif,”             “Kok, Pak Ardhan bisa tahu detail yah?” Liliana heran.             “Yah, saya sedikit tahu hal-hal tentang dunia gaib tapi sayangnya saya tidak bisa menuliskannya ke dalam cerita. Kau harus belajar banyak tentang hal itu, Liliana. Jadi, mana sketsa penjaga gaibmu?” tangan kanan Pak Ardhan menodong Liliana.             “Eh, maaf… ketinggalan,”             “Kenapa tidak dibawa juga?”             Entah, mengapa Liliana enggan menjawabnya. Dia pikir masalah penjaga gaib adalah hal pribadinya yang mana tidak semua orang boleh mengetahuinya.             “Lupa, Pak,”             “Kalau gitu, besok kamu bawa juga ya?”             HENING.             Apa? Harus disetor juga?             “Oh, iya. Pak,”            “Oh, iya. Pak,” Liliana manggut-manggut saja mengiyakan.             “Besok, akan saya beri satu keputusan setelah melihat gambar skets terakhir. Saya punya ide khusus buatmu. Kutunggu besok.” Ucapnya terakhir kali lalu menyudahinya. “kau boleh keluar.”             “Baik, Pak. Permisi.” Liliana keluar dari ruangan dengan muka tertunduk lesu. Keempat kawannya, Hana, Toni, Ibrahim dan Rosita menguntitnya dari belakang.            Mereka berempat seperti Mimi dan Mintuno yang ke mana-mana selalu bersama.             “Hei, Ulil! Kenapa lagi?” seloroh si Rosita yang mulai kepo.             “Kamu belakangan ke mana sih?” sambung si Hana menghadang jalan Liliana.             “Minggir, ah!”             “Ceritain dong, pelit nih!” Toni menepuk pundak Liliana.             “Somse sekarang, iih!” lanjut si Ibrahim menyindir. Liliana berhenti melangkah dan berkata “Ka…li…an…biii…saa…nggak…ka…looo..nggak…ngurusin akuuu!"            Mereka berempat pun akhirnya minggir dan meninggalkan Liliana, kembali ke meja kerja masing-masing. Liliana kalau sedang bertampang serius, itu tandanya pikirannya sedang kacau balau dan harus dilampiaskan dengan melakukan sesuatu hal yang dapat meredam emosinya yang menggebu-gebu di dalam hati.             Ke mana ini enaknya ya? Pikiranku sumpek banget!             Pada tengah perjalanan turun ke bawah, di dalam lift. Tiba-tiba pandangan Liliana mengarah pada pantulan dirinya di sisi dinding cermin lift. Liliana seperti melihat sesosok yang lain, yang bukan dirinya saat sekilas memandang cermin.  Seraut wajah seorang wanita tua namun sekejap hilang begitu saja. Bulu kuduk pun merinding, berharap secepatnya bisa keluar dari dalam lift yang seakan mengurungnya. Tatapan Liliana beralih menatap ke papan nomor lantai yang terus beranjak turun. Dan tiba-tiba lift itu berhenti tepat di sebuah lantai 13. Liliana mulai merasa tidak enak dengan dirinya, sudah mulai was-was. Meski hari itu masih siang tapi hawa aneh makin lama makin terasa ketika pintu lift itu terbuka dan ternyata tidak ada siapa-siapa di depan. Anehnya hanya ada suara-suara desahan yang menggema dari luar lift, yang membuat bulu kuduknya semakin merinding. Liliana terperanjat hebat tatkala kemudian mendengar suara tawa seorang wanita dari luar lift itu yang membuatnya harus menutup telinganya dan jatuh terduduk ketakutan.             “Aarrrghhh, tolong!!! Tolong!!!” jeritnya keras menggema di setiap dinding-dinding lift yang pintunya sudah terutup dan kembali berjalan turun ke bawah. Tapi Liliana sudah merasa ketakutan, di dalam lift dia seakan mendengar suara-suara lain yang berkata-kata tak jelas.             Temukan, temukan dirimu sendiri..             Temukan aku, temukan aku,             Temukan kami,             Dan diapun langsung tak sadarkan diri. Tergeletak di dalam lift sendirian. Semua terasa gelap, gelap dan gelap.                                                                                     *             Dear diary,             Kau tahu, tepat malam itu aku bermimpi lagi untuk yang kesekian kalinya. Seakan-akan aku berada di sebuah tempat dan dimensi yang berbeda. Di mana yang kulihat hanyalah kegelapan. Berdiri di satu jalan yang gelap dan sepi. Hawa dingin yang kurasa terasa berbeda. Aku di mana? Kenapa bisa sampai ke sini? Aku terus berjalan tanpa arah dengan tangan yang memegang sesuatu, yah.. selembar sketsa bergambar si Kakek penjaga gaib itu. Aku juga tidak tahu harus ke mana, terus saja berjalan. Hingga akhirnya aku sampai ke suatu tempat yang membuat kakiku ini berhenti melangkah. Aku melihat sesosok kakek itu duduk di atas batang pohon yang sudah ditebang dalam posisi semedi dan memejamkan mata. Dengan tubuh berbalut pakaian adat Jawa khas dengan odengnya yang melingkar di kepalanya. Aku mencoba untuk menyapa, tampilan yang lain itu sempat membuatku pangling atau istilahnya tidak mengenali karena terlihat berbeda seperti yang sebelumnya pernah kulihat.             Aku memanggilnya, “Kek, ini Kakek?”             Dan kakek itu pun mengangguk lalu berkata, “Jangan engkau membuat sesuatu atau memberitahukan gambar wujud kakek pada orang lain.”             Itu saja yang kudengar darinya sebelum aku sempat bertanya lagi tentang perintah larangan tersebut. Tubuhku sudah melesat jauh mengitari langit begitu cepatnya dan sampai aku melihat  tubuhku sendirian  yang tertidur di atas kasur. Semua terasa begitu cepat, tapi sekejap aku melihat sesosok wanita yang kukenal tengah berdiri diam terpana melihatku. Dan aku terbangun seketika, tanpa kulihat siapapun di dalam kamar. Selain hanya aku yang sendirian.             Diary, kau tahu… ini seperti sebuah mimpi yang nyata tanpa aku ketahui apa makna dibalik semua sebelum akhirnya aku merenungkannya seharian.                                                                                                     *            Liliana merenung, di depannya teronggok selembar kertas gambar sketsa si Kakek penjaga yang mau dilihat oleh Pak Ardhan. Tapi, seperti pesan yang terlihat di mimpinya semalam, bahwa tidak boleh ada orang lain selain dirinya dan yang berkepentingan selain dirinya sendiri.             “Terus, gimana cara mengelabui Pak Ardhan agar percaya dan tidak sampai marah?” Liliana berpikir keras, karena dia percaya setiap amanat itu haruslah ditaati. Yang satu dari CEO-nya, yang kedua dari Kakek itu sendiri. Jadi, mau tidak mau dia harus mentaati keduanya. Semenit, dua menit, lima menit bahkan sampai sepuluh menit berpikir dalam renungan. Tiba-tiba terbesit satu ide yang menurutnya bagus dan dapat menyelamatkan semuanya. Iaitu dengan meminta tolong si Bayu untuk melukis wajah khodam kakek-kakek yang lain. “Oh, Mas Bayu! Aku minta dia saja geh daripada susah, nanti tinggal aku cetak terus besoknya aku berikan ke Pak Ardhan. Beres sudah, gini aja kok dibuat susah sih! Hihihi!” Liliana mengambil gawainya dan mengirim pesan pada si Bayu untuk menggambar wujud khodam leluhur sesuai permintaannya. Semua agar Pak CEO bisa percaya. Sudah, itu saja. Cukup.             Setelah selesia mengirim pesan pada si Bayu, Liliana membuka laptopnya dan mulai menulis judul untuk naskah novelnya. Meski selepas menulis judul, belum tentu Liliana langsung bisa menggoreskan pena dengan keyboardnya yang cantik itu seuntai kata-kata. Menulis tidaklah semudah membalikkan telapak tangan, tidak semudah yang ada di pikiran. Pun saat di pikiran sudah dapat membentuk kisah awal sampai akhir, untuk menuangkan ke dalam bentuk tulisan membutuhkan waktu yang lama. Berhari-hari, minggu bahkan bulan. Jika terlalu sulit pun bisa sampai tahunan hanya sekadar untuk menulis satu judul buku saja.              Masalah yang satu sudah selesai, dan kini Liliana dihadapkan pada masalah kedua tentang penulisan deskripsi wujud dari gambar sketsa-sketsa itu satu per satu. Besok diserahkan ke Pak Ardhan juga untuk dirapatkan bersama dengan para editor lainnya. Karena mewujudkan wujud setan yang menyeramkan ke dalam tulisan, diharapkan mampu menarik energi untuk pembaca agar ikut terseret ke dalam alam imajinasi sehingga mereka seakan-akan melihat secara nyata wujud tersebut.             Begidik. Liliana merasa ngeri, karena dia di satu sisi dia tidak ingin membayangkan seramnya wajah para hantu. Di sisi lain adalah tugasnya untuk menulis. Sungguh, itu suatu dilema yang sulit untuk …             Yah, untuk tidak dilakukan.                                                                             *                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD