BAB 21 Kau Bisa Ceritakan Tentang Dirimu

1333 Words
            Diantarnya pulang kembali ke rumah oleh Pak Ardhan, membuat orang tua Liliana panik bukan kepalang. Apalagi setelah sampai, Liliana dalam kondisi tertidur. Apalagi mendengarkan penjelasan dari bosnya bahwa telah terjadi sesuatu di Padepokan.             “Jadi, dia minta pulang,” Pak Ardhan membaringkan Liliana di atas kasur.             “Sebenarnya ada apa di Padepokan?” Pak Sarjo yang panik duduk di samping Liliana sambil mengipas-ngipasi putrinya.             Pak Ardhan mengambil napas sejenak, , sementara ibunda Liliana terkejut dan menangis sesenggukan.             “Kan sudah dibilang lebih baik nggak usah dikerjakan itu cerita, dan Anda sendiri bosnya malah memaksa dia, sekarang jadinya gini tambah runyam. Apa sih mau Anda itu?” seloroh Bu Lien mendedas Pak Ardhan sampai lelaki itu kewalahan menanggapinya.             Pak Sarjo pun ikut terbakar emosi dan menyudutkan Pak Ardhan. “Kalau perlu saya jual rumah ini untuk membayar ganti rugi perusahaan Anda. Pebisnis macam apa kamu ini, tidak siap bangkrut!” Pak Sarjo menarik paksa Pak Ardhan keluar dari kamar Liliana dan memintanya pergi begitu saja.             “Tapi, Pak. Ini bukan kesalahan saya, tapi putri Anda ini di Padepokan saat itu mengalami…,”             “Keluar! Saya bilang Anda keluar dari rumah ini!” bentak Pak Sarjo mempersilahkan bos Liliana angkat kaki.             “Begini, Pak. Putri Anda itu di Padepokan…,”             “Keluar!!!”             “Putri Anda itu kemasukan jin!”             PLAK!             Bertambah marahlah Pak Sarjo, ditariknya kerah baju Pak Ardhan dan menatapnya dengan tatapan murka.             “Dengar, jika kamu mau. Saya berikan rumah saya yang lain untuk membayar ganti rugi. Saya masih punya rumah, dan saya akan berikan padamu kalau kamu masih menuntut anak saya menuruti maumu!”             “Tidak, bukan begitu Pak. Saya belum jelaskan sampai habis, kalau saat di Padepokan itu dia…,”             “KE-LU-ARRR!”             Dan, BLAM! Pintu rumah itu pun ditutup. Pak Ardhan berdiri diam sambil melongo, baru kali ini dia diperlakukan seperti ini oleh orang lain. Dia adalah seorang pimpinan, tapi jika berhadapan dengan ayah Liliana, dia menjadi seperti bukan apa-apa lagi. Jika saja dia tidak ada suatu rasa apapun pada Liliana, tidak mungkin dirinya sampai rela jauh-jauh menjemput dari Surabaya ke Magetan hanya sekadar untuk menyusul Liliana. Meski memang dirinya juga ada tanggung jawab lantaran meminta Liliana untuk belajar ke Padepokan demi naskah yang akan digarapnya.             Pak Ardhan mengangkat kedua tangannya ke atas seraya meresah pada langit sebelum akhirnya dia berbalik badan dan keluar dari rumah Liliana. Tiba-tiba gawainya berbunyi dan itu panggilan video dari si Vindy. Mengingat apa yang telah terjadi semalam tadi dan penemuan botol minyak yang ternyata adalah minyak pelet. Membuat Pak Ardhan mematikan panggilan itu dan membiarkan perempuan itu menghubunginya sampai berkali-kali. Sampai akhirnya tidak ada lagi panggilan. Sunyi.             Esok dia akan memanggil Vindy ke kantor untuk minta penjelasan tentang sebotol minyak yang ditemukannya tadi pagi. Bukan milik Demy yang tiap dua hari selalu membersihkan apartemen dan memeriksa berkas-berkas dari kantor yang dibawa pulang ke apartemen. Atau bahkan Liliana, tidak mungkin juga. Karena Liliana jarang-jarang ke apartemennya. Pun penemuan botol itu bersamaan dengan kunci mobilnya yang terselip.               “Beritahu aku, bagaimana dengan kejujuranmu. Vindy.”                                                                                         *              Liliana terbangun dari tidur setelah mendengar kumandang suara adzan sholat Ashar. Ya, dia mencoba untuk bangkit tapi punggungnya terasa capek dan panas. Dia bingung ada di mana, kenapa bisa tiba-tiba berpindah di kamarnya sendiri? Sejak kapan dia bisa berpindah lokasi? Padahal sebelumnya tadi masih ada di Padepokan bersama dengan lainnya. Liliana mengucek-ucek matanya.             “Bunda, Bunda…,” panggilnya dengan suara lirih.             Ibundanya pun bergegas menghampiri dan membantu Liliana duduk. “Badanmu sudah enakan?”             “Kok aku udah ada di sini?”             “Yaa, Pak Ardhan nganterin kamu pulang. Beliau tadi sempat diusir sama ayahmu, Lil. Ayahmu terus nyalahin Pak Ardhan,”             “Loh, kok gitu? Kan ini sudah jadi tugasnya Lili,”             “Iya, tapi ayahmu nggak mau tau. Dia terus kepikiran kamu,”             “Sekarang, Ayah di mana?”             “Lagi di luar, kata mau manggil Om Waluyo lagi ke sini,”             “Om mau ke sini?”             “Iya, yang dulu pernah ngobatin kamu pas kena gini juga,”             “Bun, tadi itu di Padepokan…,”               Bu Lien menempelkan telunjuknya ke bibir Liliana. “Sudah, nggak usah cerita. Pak Ardhan sudah nyeritain semua. Ini, minumlah teh hangat untukmu.”             “Makasih, Bun.” Liliana menyeruput secangkir teh hangat. Tenggorokan rasanya begitu kering. Efek dari muntah-muntah saat tubuhnya dirukyah, , badan terasa lemas tak bertenaga. Dan sesuatu yang ada di dalam tubuhnya pun masih ada. Liliana mengambil tas dan mencari gawainya. Dia ingin mengabari Kakak Tirta kalau dirinya sudah sampai di rumah. Tapi, baru saja dia aktifkan gawai itu. Panggilan video datang dari CEO-nya. Pak Ardhan selalu begitu. Kadang terlihat khawatir tapi juga menjerumuskan ke dalam dunia yang tak ingin dipijaknya/ entah, kali ini apa yang ingin dia obrolkan.             Lantunan nada dering Black Eyed Peas ‘Where is the love’ berbunyi beberapa kali. Sedikit enggan untuk menerimanya, Liliana memasukkan kembali gawai itu ke dalam tas dan ditutupi bantal agar suara panggilan tidak terlalu keras didengar. Tapi, dibiarkan makin lama malah panggilan overprotective itu tak mau berhenti. Mau tak mau Liliana pun mengangkatnya.             “Ya, Pak,” jawabnya sambil mengarahkan kamera video itu menghadap ke arah jendela, bukan ke wajahnya.             “Hei, Lili. Gimana kamu sekarang? Kenapa saya harus nonton jendela sih? Saya nggak lagi ngobrol sama jendela…” begitulah gaya khas Pak Ardhan kalau berbicara di video call.             “Maaf, muka saya kusut, Pak. Baru bangun,” Liliana meraup wajah dengan telapak tangan.            “Sudah, balik kameranya, cepat. Ada yang mau saya sampaikan padamu. Oh ya, tutup pintu kamar dulu ya, jangan sampai ayah ibumu dengar. Ini rahasia, hanya saya dan kamu yang tau tentang hal ini. Ingat, ini rahasia,” mendengar kata-kata Pak Ardhan yang terkesan serius. Liliana bangkit dari kasur dan menutup pintu.             “Sudah, Pak. Ada apa sih, Pak?”            tanyanya penasaran.             “Pake headsetmu biar suara saya tidak terdengar keluar,”             “Duh, macam-macam nih!” elak Liliana menyanggupi permintaan bosnya yang satu itu. Lagipula dia masih ilfeel dengan kejadian malam kemarin. Dipasangnya headset di kuping dan yah, itu di video call terlihat Pak Ardhan sedang ada di apartemennya. Duh, bayangan Vindy dan tatapan yang menjijikkan itu pun sempat terlintas di benaknya.          “Jadi, saya ingin kamu menulis cerita goib itu tentang dirimu sendiri dengan apa yang sedang terjadi padamu. Lili,”             “Hah?” terkejut setengah mati. Liliana bagai tersambar petir di siang hari. Kali ini permintaan Pak Ardhan benar-benar kelewat batas.             “Iya, kau harus bisa menjiwai ceritamu sendiri bagaimanapun caranya itu, karena pasti hasilnya akan jauh lebih bagus saat dibaca, Liliana,” tandasnya sekali lagi menekan.             Liliana hanya bisa terdiam melongo. Pikirnya bagaimana ada semacam pikiran itu di dalam benak Pak Ardhan. Memanfaatkan situasi dan kondisi yang mana dirinya sendiri belum bisa mengendalikannya.             “Pak Ardhan membunuh saya secara tidak langsung," gumamnya pelan.             “Apa, Lili? Tidak dengar? Siapa yang membunuh?” dari video call, Pak Ardhan sempat kehilangan beberapa ucapan Liliana.             “Ehm, tidak ada apa-apa, Pak,”             “Baiklah, kau bisa kan?”             “Sebisa saya,”             “Harus bisa…”             Dan Liliana pun menyudahi panggilan itu. Dia mematikan gawainya, dia ingin bersembunyi di balik bantal. Menangis sekeras-kerasnya. Ya, Liliana ingin meluapkan segala isi hatinya dengan menangis seharian. Bahkan jika dia ingin, pergi ke pantai dan berteriak pada laut. Ya, Liliana ingin menenangkan hati dan pikirannya sejenak. Merenungkan hal-hal yang terjadi dan akan dilaluinya. Ada orang yang mencintai sepenuhnya, ada yang memanfaatkan sepenuhnya. Bahwa di dalam diri ada sesuatu, di luar pun ada sesuatu. mengapakah dirinya terlingkari dengan hal-hal yang sama sekali ingin dijauhinya. Malah, semakin ingin menjauh, hal itu semakin bertambah dekat saja. Liliana pun teringat satu pesan dari Om Waluyo yang pernah berkata padanya saat dia masih kecil.             “Jangan pernah engkau berusaha untuk menjauhi sesuatu hal, padahal itu sudah menjadi takdirmu. Jika kau jauhi, maka dia akan semakin mendekat. Terima saja keadaanmu ini, suatu hari kau akan bisa menerimanya, Liliana.” Pesannya terakhir kali sebelum pindah ke rumah barunya.                                                                                 *                                                                                                               
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD