BAB 22 Jika Kau Belum Berani Masuk, Jangan Coba-coba!

1068 Words
  “Ayah, tolong antar Lili,” “Antar ke mana?” “Rumah lama,” ===             Om Waluyo bersama dengan Liliana juga Pak Sarjo, ayah Liliana. Ketiganya tengah berdiri tepat di depan rumah  lama. Masih sama bentuk dan suasananya terasa sangat berbeda jauh sebelum ditinggalkan selama beberapa tahun lamanya. Membutuhkan waktu yang tidak sebentar untuk Pak Sarjo memutuskan jawaban atas permintaan Liliana. Sempat sebelumnya dia tanyakan kembali, apa keinginannya tersebut atas dasar dari diri sendiri atau paksaan dari orang lain? Dan Liliana menjawab dari diri sendiri. Sebab itu ayahnya mau mengantarkan tapi dengan syarat harus mengajak Om Waluyo untuk mendampingi Liliana selama ada di rumah tersebut. Pandangan Liliana terfokus pada sebuah bunga matahari yang tertanam di pekarangan rumah. Dan bunga mataharinya mengarah ke atas, menandakan waktu sudah siang.             Liliana memberi isyarat pada Om Waluyo apa harus masuk atau mengamati saja dari luar.             “Coba saja masuk, Om di belakangmu, Lili,” Om Waluyo yang baru kembali bertemu dan melihat Liliana setelah beberapa tahun lamanya. Melihat sesuatu yang berbeda dari belakang, tepat di punggung Liliana. Dia pun memejamkan mata sejenak dan melihat apa yang tak terlihat dengan mata batinnya. Seperti ada sesosok aneh yang menempel di dalam diri Liliana, ya yang masuk ke dalam raga Liliana.          “Om, Om dulu saja yang masuk, Lili di belakang Om, Ayah di belakang Lili,” cetus Liliana memberikan ide.             “Ok, ayo kita masuk,” Om Waluyo meminta Pak Sarjo memberikan kunci gembok pagar. Tampak dari luar lampu teras menyala remang-remang. “Ganti lampunya dengan lampu yang lebih terang agar tidak terkesan redup,” saran Om Waluyo pada ayah Liliana.             “OK,”             “Dan satu lagi, mulai nanti setidaknya seminggu dua kali, rumah ini harus dikunjungi. Agar tidak lagi terkesan angker,”             “Siap, Komandan!”              Pagar rumah sudah terbuka, dan benar baru saja melangkahkan kaki. Ketiganya sudah disambut oleh tamparan angin kencang yang menyapa kehadiran mereka kembali dan Liliana sampai terdorong ke tembok.             “Astaghfirullah, apaan itu tadi?” Pak Sarjo berusaha melindungi Liliana.             “Tak apa, mereka cuma menyambut kita saja, sepertinya mereka welcome dengan kita,” jelas Om Waluyo sambil menyisiri setiap arah dengan telapak tangannya. Jika dirasa ada energi negatif, dia buang dengan mengepak-ngepakkan tangan ke samping.             Berhentilah ketiganya di depan pintu ruang tamu. Dari sana kemudian tiba-tiba Om Waluyo terjungkal ke lantai. Dia seperti terkena serangan dari arah depan tepat di depan pintu ruang tamu.             BRUAK!             Om Waluyo berusaha melindungi tubuhnya dari serangan sambil mengucapkan mantra-mantra agar serangan itu lenyap. Liliana ketakutan, matanya mendelik.             “Om, Om!!!” Liliana mencoba untuk menarik tangan Om Waluyo tapi masih tetap lekat di wajahnya.             Om Waluyo membaca ayat kursi sampai akhirnya tak ada lagi serangan dan semuanya kembali seperti sebelumnya. Pak Sarjo membantu Om Waluyo untuk bangun dan bertanya ada apa gerangan sampai dia terjungkal tadi.             “Penjaga rumah ini, dia khodam,”             “Khodam?” Liliana terperanjat.             “Ya, seekor macan kumbang, besar sekali. Giginya bertaring dan menyerang tadi,” Om Waluyo bangkit dan mengatur napasnya yang masih tersengal-sengal.             “Dulu terakhir kau ke sini, apa dia ada, Dek?”             “Belum aktif sepertinya, ada tapi belum aktif,”             Liliana kembali teringat masa kecilnya saat dia disambut oleh dua macan ketika masuk ke alam lain.            “Aku pernah melihat dia, Om,” dan seketika entah apa yang terjadi pada tubuh Lilian tatkala dia mulai merasa sesak di d**a. Dadanya terasa penuh dan matanya berkunang-kunang. Liliana jatuh ambruk seketika.             “Lili!!!”                                                                                     *             Aku jatuh cinta pada langit, Pada awan putih, yang bergerombol seperti kapas, Birunya langit membuatku serasa ingin terbang, Menjangkau ke angkasa, mengepakkan sayap seperti burung elang…   Tiba-tiba semua menjadi gelap, Aku terjatuh ke dasar bumi, tapi aku tidak mati, Tubuhku tidak hancur,   Dan baru kusadari diriku mengawang Tidak menyentuh bumi, Aku jatuh cinta pada langit, Tapi aku tak bisa kembali.                                                                                  *          “Mau tidak mau, kau harus kembali lagi ke Padepokan itu, Lili. Karena di sana ada yang lebih bisa menanganimu, dan memberikan pagar badan untukmu lewat cara-cara mereka. Karena sudah seperti ini, artinya kamu harus memiliki ilmu untuk menjaga dan melawan energi-energi negatif yang ada di badanmu dan juga luar badan sendiri. Jika kau tidak bisa memproteksi diri, maka tiap saat kamu bisa kesurupan, Lili!” di dalam mobil Om Waluyo mengobati Liliana yang didudukkan di jok belakang. Setelah tahu Liliana jatuh pingsan dan terus mengigau, ayahnya memaksa untuk membawa Liliana pulang dan keluar dari rumah itu.             Pak Sarjo menyetir dengan agak was-was, beberapa kali menengok ke belakang untuk melihat kondisi putrinya.             “Jika kau belum berani masuk, jangan coba-coba!” tekan Om Waluyo dengan tegas. Kendaraan pun melaju seperti biasa dan Liliana pun termenung selama beberapa saat. Berpikir apakah dia memang harus kembali ke Padepokan untuk menuntut ilmu dan agar dirinya dapat menguasa dan mengendalikan dirinya sendiri.             Kakak Tirta. Gumamnya dalam hati.                                                                                     *             Cleon datang ke rumah Liliana. Dia bercerita bahwa saat itu sempat datang ke Padepokan untuk menjemput Liliana, tapi lebih dulu bosnya yang datang. Sementara dia tidak bisa melakukan apa-apa karena datang terlambat. Padahal Cleon sudah berjanji akan datang ke Padepokan. Liliana yang merasa tidak enak pun meminta maaf atas ketidaktahuannya dan semua terjadi di luar rencana.          “Maafin aku, Cleon,” Liliana memberikan sebatang cokelat pada Cleon agar tidak sampai dibawa ke dalam hati.             “Ya, tak apa. Sekarang sudah sehat?”             “Lumayan,”             “Mau kuajak keluar nggak?”             “Ke mana?”             “Jalan-jalan ke Café lagi,”             “Nggak mau ah,”             “Sama Bernard, dia nungguin kamu di sana,”             “Buat apa?”             “Ada yang mau disampaikan ke kamu, dia bawa obat buatmu, biar kamu nggak ketakutan lagi,”              Liliana terdiam. “Kayaknya nggak boleh sama Ayah,”             “Kubujuk deh,”             “Pakai apa?”             “Ini,” Cleon menunjukkan dua kardus martabak dengan terangbulan. “pasti ayahmu suka, hehehe…” sambungnya sambil menggaruk-garuk rambut.             “Bisa aja kamu,” Liliana mengambil dua kardus makanan yang masih hangat ke dalam ruang keluarga dan menyajikannya pada mereka berdua yang sedang duduk nonton televisi.             “Dari siapa?”             “Tuh, cowok yang di depan,”             “Oh, sampaikan terima kasih,”              “Tapi, boleh nggak Lili minta izin keluar?” pinta Liliana bergaya manja.             “Ke mana?” Pak Sarjo menghentikan gigitan martabaknya.             “Ketemu teman yang katanya bisa ngobatin,”             “Siapa?”             “Bernard, temennya Cleon,”             “Ketemu di?”             “Café,”             “Ayah ikut.”             GLEK!                                                                                     *                                                                                                        
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD