BAB 23 Jebakan Maut untuk Vindy

493 Words
Malam hari, Apartemen Mansion             Bel kamar apartemen Pak Ardhan dipencet beberapa kali, tapi tidak ada sahutan suara dari dalam atau ada kehidupan di dalam. Vindy mengintip dari lubang pintu pun tak melihat apapun. Sampai seorang Office boy menyapanya,             “Lagi pergi, Mbak. Dari tadi pagi sampai sekarang belum pulang,” kata Office boy itu menyampaikan.             “Oh, OK.” Sahut Vindy.”Ada barangku yang ketinggalan di dalam, tadi malam terjatuh,” lanjut Vindy resah.             “Barang apa yang tertinggal? Tadi pagi juga saya diminta Pak Ardhan untuk mencari kunci mobil yang hilang,” si Office boy yang saat itu sedang bersih-bersih karpet sempat berjongkok dan melihat paha mulus Vindy yang menggoda. Sampai membuatnya menelan ludah.             “Terus, sudah ketemu?”             “Sudah, Mbak,” si Office boy masih dengan posisi berjongkok dan berlagak membersihkan debu karpet dengan alat vacuum cleaner.             “Sudah, Mbak. Kunci sama botol minyak wangi,”             Mata Vindy mendelik, “Hah? Sama minyak wangi juga? Terus di mana botol minyak wangi itu?” semakin berdebar detak jantung Vindy mendengar kabar mengejutkan. Syok.             “Sudah dibawa Pak Ardhan semua.”             “Hah?!”                                                                                     * Kantor CEE             Waktu sudah menunjukkan pukul 9 malam. Dan ruangan pimpinan masih menyala. Selain di luar ruangan itu, semua lampu dimatikan. Pak Ardhan duduk di atas sofa sambil berbaring, tugasnya saat itu hanya membaca-membaca dan membaca surat-surat retur penjualan novel Liliana yang benar-benar hancur. Bahkan sempatan ada niat untuk menggelar acara launching baru lagi untuknya. Jika launching pertama gagal, masih ada kesempatan kedua, ketiga dan seterusnya. Pak Ardhan adalah tipe pantang menyerah, selagi novel itu masih dijual. Seberapapun pendapatan akan dia terima. Asal nama Liliana de Frank jangan sampai mati. Apalagi Liliana kini memiliki cerita pribadi dunia mistis sendiri. Pastinya, Pak Ardhan harus memanfaatkan momen itu juga. Karena sebuah pengalaman pribadi pasti lebih menjiwai—hasilnya pun sudah pasti akan lebih bagus juga.             Pak Ardhan bangkit dan mengambil gawainya yang teronggok di atas meja. Malam ini dia ingin tidur di dalam kantor saja. Dan benar, baru saja dinyalakan gawai itu. Muncul beberapa pesan masuk di w******p, pun juga panggilan pribadi dari Vindy yang menghubunginya sampai dua puluh dua kali panggilan.             “Kenapa pula si Vindy ini, huh!” dimatikannya lagi panggilan itu. Tapi terus saja panggilan tak pernah mau berhenti. Diangkatnya dengan geram, “Ada apaaaaaaah!!!” bentak Pak Ardhan.             “Oh, Pa…Pak Ardhan di mana?” tanya Vindy gelagapan.             “Kenapaaaa?!!”             “Saya cuma nanya aja, Pak…,”             “Di kantorrrr!”             “Sa…saya boleh ke sana?”             “Buat apaaah? Saya sibuk dan capek!!!”             “Buat bantuin, Pak Ardhan,”             Tiba-tiba terbesit sesuatu di dalam pikiran Pak Ardhan. Ya sesuatu di mana pastinya waktu sekarang adalah waktu yang paling tepat. Untuk menangkap basah Vindy.             “Ya sudah, datang saja.” Dan dia pun mengakhiri panggilan. dan bergegas mematikan lampu ruangannya. Semua menjadi gelap. Pak Ardhan akan melakukan sesuatu hal yang tak disangka-sangka oleh Vindy.                                                                                       *              
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD