BAB 24 Lipstik Pemikat Hati

1225 Words
                Gedung Graha Pena meski hari sudah malam, masih saja terlihat ramai lantaran para redaktur koran yang punya shift malam jauh lebih sibuk tiap harinya. Begitupun dengan para wartawan yang juga sampai harus bermalam di kantor. Jadi, di sekitar gedung tersebut tak pernah sepi. Sedangkan kantor CEE Publishing ada di lantai 17. Tapi kantor itu selalu tidak ada kehidupan pada malam harinya, semua pegawai bekerja di pagi hari dan pulang sore. Jika bukan CEO sendiri yang memutuskan begadang, maka tidak ada yang berani datang ke sana tanpa ada keperluan yang benar-benar mendesak.             Langkah kaki Vindy berhenti tepat di depan pintu lift lantai dasar. Dengan mengenakan dress sexy kuning dengan belahan d**a yang rendah tapi ditutup dengan scarf hitam serta dipadankan dengan outer lengan pendek. Dress selutut yang memang Vindy sengaja memamerkan betisnya yang putih. Apalagi untuk menarik perhatian CEO-nya di malam ini. Pun tujuan dia malam-malam datang ke kantor tak lain untuk mengambil kembali minyak yang hilang itu.             Sore harinya, Vindy menyempatkan diri untuk mendatangi Mbah Soip untuk meminta bantuan agar dilancarkan urusan mengambil minyak tanpa perlawanan dari bosnya. Kemudian Mbah Soip menawarkan Vindy sebuah gincu atau lipstik bertuah untuk menundukkan lawan jenis. Masih ingat dengan obrolan sore tadi bersama dengan Mbah Soip saat ditawari lipstik bertuah itu.             “Jadi ini buat apa, Mbah?” Vindy diminta untuk memilih warna lipstik yang cocok dan disukainya.             “Memikat orang yang kamu suka,”             “Eheh, barang baru ini, Mbah,”             “Yah, sebenarnya benda ini sudah lebih dulu ada sebelum Mbah kasih minyak pelet itu,Vindy,”             “Ampuhnya lebih bagus mana?”             “Kalau lipstik ini bisa memikat semua lawan jenis yang melihat, dari warna saja yang menempel di bibir, sudah bisa menarik perhatian kaum adam. Coba saja,” Mbah Soip mulai bersiap menulis nota pembelian. Meski pekerjaan sebagai seorang dukun, di zaman sekarang biasa disebut dengan praktisi.            “Kasiatnya apa cuma untuk menarik lawan jenis?”             “Ada banyak… dan itu salah satunya saja,”             “Wah, mantap. Maharnnya berapa?”             “Khusus untuk lipstik ini lebih mahal dari minyak, harganya sejuta pas,”             “Wah, kurang dikit dong, Mbah. Saya cuma bawa uang lima ratus ribu saja nih, lagian saya kan langganan, Mbah…, nego boleh nggak?” rayu Vindy mendekati Mbah Soip yang usianya sudah hampir menginjak usia 70-an.             Mbah Soip meskipun sudah tua, melihat body si Vindy yang bahenol dan molek siapa yang tidak tertarik. Apalagi saat itu si Vindy mengoles bibirnya dengan lipstik pemikat.             “Ini kuuji coba dulu ke Mbah, kira-kira ngefek nggak?” Vindy merangkul pundak Mbah Soip yang tentu saja langsung gemetaran. Apalagi mereka berdua saat itu hanya berdua di dalam rumah. Naluri kelelakian Mbah Soip yang sudah lama tertidur pun mendadak bangkit terkena efek energi lipstik pemikat.             “Ngefek, Vindy sayang. Gimana ini?” Mbah Soip meminta Vindy melihat ke bawah, di mana gentel Mbak Soip sudah menegang.             Waduh, gawat! Pikir Vindy dia hanya membujuk rayu saja, bukannya lebih dari itu. Pelukan Mbah Soip semakin menjadi-jadi, nafsu Mbah Soip pun seakan dikeluarkan semua setelah sekian puluh tahun berpuasa. Vindy sampai jatuh ke sofa dan tak bisa mengelak dari rengkuhan Mbah Soip yang semakin menjadi-jadi. Vindy jijik, Vindy mual. Didorongnya tubuh Mbah Soip sekuat tenaga sampai akhirnya terjungkal. Tapi saat Vindy hendak berlari menghindar, kaki Vindy ditariknya dan diapun ikut terjatuh tapi jatuh ke dalam pelukan si Mbah Soip yang nafsunya semakin menggila. Digerayanginya rok Vindy yang tersibak dan tangannya masuk ke dalam rok, kembali masuk ke dalam lebih dalam dan Vindy pun seakan tertarik ke dalam apalagi ketika bagian keintiman Vindy disentuh. Dan ambyar seketika, siapapun itu Vindy tak mampu untuk bertahan. Apalagi dipelukan aki-aki yang ternyata kelelakiannya masih belum punah.             “Vindiih, kita di sini sajaaa yah, Mbah sudah nggak kuat!”             “Mbahhhh, ja….ngannn….!”                                                                                     *              Pintu lift terbuka. Selama berdiri diam di dalam lift, Vindy sempat mengingat kejadian menjijikkan yang tak pernah terlupa sampai kapanpun. Meski yah, rasanya sangat beda sekali dengan apa yang pernah dirasakannya dengan lelaki lain. Mungkin karena Mbah Soip lama berpuasa jadi terasa sangat mengeras dan tidak mengalami ejakulasi dini, membuat si Vindy akhirnya menikmati juga. Tapi dia tidak mau dicium meski Mbah Soip memaksa, Vindy tidak suka. Karena mulut Mbah Soip bau.             Selepas pulang dari kediaman Mbah Soip, Vindy meninggalkan aki-aki yang terkapar kelelahan itu sendirian. Tak lupa dia mengambil tambahan lipstik yang masih teronggok di atas meja.             “Lipstiknya kuambil 4 biji lagi, mahal tarif tidur denganku. Lebih mahal dari sebatang lipstik, dasar aki-aki otak c***l!”  bergegas Vindy keluar dari rumah Mbah dukun dan pulang ke rumah. Yang harus dilakukannya pertama kali adalah mandi dan berendam selama satu jam untuk menghilangkan bakteri-bakteri bau yang menjijikkan dari si tua keladi itu. Mengeramasi rambutnya yang kotor terkena belaian dan lehernya yang diciumi sampai habis. Uffft, air lir yang sangat menjijikkan.              Vindy keluar dari dalam lift dan berdiri tepat di depan ruangan kantor CEE Publishing yang sepi. Tidak ada seorangpun yang tampak dari luar atau dalam sedang pintu kantor itu tidak terkunci dan setengah  terbuka. Perlahan dia putuskan untuk masuk ke dalam dan memanggil-manggil Pak Ardhan sambil menelponnya.             “Pak… Pak Ardhan di dalam?” celingak-celinguk ke kanan dan kiri. Ruang kantor Pak Ardhan gelap. Vindy kaget, apakah mungkin sebenarnya Pak Ardhan menipunya? Bilang ada di kantor tapi sebenarnya tidak? Alisnya mengernyit, pandangannya mulai ketakutan. Bulu kuduknya merinding. Kakinya gemetar. Tapi anehnya deringan suara ponsel milik Pak Ardhan terdengar di dalam. Vindy yakin Pak Ardhan ada di kantor. Vindy bingung mau menyalakan lampu bagaimana karena ruangannya semuanya gelap dan dia tidak tahu di mana saklar lampunya.         Ditekannya lagi suaranya semakin keras, “Pak, Pak Ardhan di dalam?” tapi tetap saja suasana masih hening. Hingga semuanya berubah saat terdengar suara gaduh yang tak jelas dari mana datangnya.             BRUK!             Vindy terjingkat dan berteriak, “Arrrght!” tapi demi minyak pelet itu dia harus mencari dan mengambilnya agar tidak ketahuan. Dia terus berjalan dan berjalan, kali ini dia nyalakan lampu senter dari gawainya agar bisa melihat keadaan sekitar meski tak semuanya terlihat. Yang penting bisa sampai ke ruangan Pak Ardhan. Sialnya, pintu ruangan CEO dikunci. Yang terlihat menyala hanya flash light dari gawai Pak Ardhan yang teronggok di atas meja dan terus berdering oleh panggilannya.             Tangan Vindy masih menggenggam pegangan pintu sebelum akhirnya memutuskan berbalik badan dan ternyata saat dia baru berbalik. Tiba-tiba tepat di depannya itu berdiri sesosok makhluk berwajah hitam dengan tubuh dibalut kain kafan dan matanya terlihat mengerikan. Begitu dekatnya ada di hadapan Vindy dengan tali pocong yang masih terikat dalam posisi tangan bersendekap. Gawai Vindy pun seketika terjatuh, Vindy berteriak lepas dan tak ada hitungan detik diapun jatuh tak sadarkan diri.             Khi…khi…khi…             Lalu sosok pocong itu pun menghilang dari pandangan. Sedang kemudian, Pak Ardhan yang baru keluar dari kamar mandi dan hendak mempersiapkan diri untuk menakuti Vindy dengan berpura-pura menjadi hantu pun terkejut saat baru membuka pintu ruangannya. Di mana tubuh Vindy tergeletak di atas lantai. Pak Ardhan yang saat itu baru saja membungkus dirinya dengan kain putih pun bingung. Dia membungkukkan badannya dan mencoba untuk membangunkan Vindy.             “Vindy, Vin, kamu kenapa tidur di sini? Vin..” ditepuk-tepuknya pipi Vindy beberapa kali dan dia pun sadar. Baru saja Vindy mengerjap-ngerjapkan matanya, lalu melihat satu pemandangan yang aneh dan mengerikan lagi, dia pun kembali jatuh pingsan.             “Haaaa, po…pocong!”             “Pocong?” *              
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD