BAB 11 Sebuah Sinopsis Tentang

2895 Words
            Bukanlah hal yang disangka-sangka, saat pulang diantar Cleon. Liliana mendapatkan satu informasi yang berguna saat dia tengah berboncengan dengan Cleon yang mengantarnya pulang ke rumah.             “Saya antar sampai rumah, Lili.” Begitu tawar Cleon yang seakan tak ingin melepas Liliana begitu saja.             Liliana tahu tingkah seseorang yang sedang mencoba PDKT itu seperti apa, ya … seperti yang dialaminya itu. Dan tidak sembarangan laki-laki diterima tawarannya untuk mengantarnya sampai ke rumah. Sebab hal itu akan menjadi sebuah pergunjingan yang luar biasa dari para tetangga dan orang tuanya sendiri. Melihat paras Cleon yang tampan meski Liliana tak begitu menggilai lelaki berparas tampan saja. Setidaknya Liliana memiliki teman curhat selain Pak Ardhan. Kedekatannya dengan Pak Ardhan mengalami kerenggangan akibat ulahnya yang belakangan memang sedang candu bermedsos ria. Membahas tentang politik dan lain-lain yang sama sekali tidak bersinggungan dengan karya sastra.             Di tengah perjalanan pulang, ya naik motor. Cleon mengendarai Yamaha motor sport merahnya. Dan siapa yang tidak suka dibonceng dengan motor belalang seperti ini, apalagi yang dibonceng harus dalam posisi memeluk erat pinggang Cleon. Liliana yang biasa diantar jemput oleh Pak Ardhan dengan mobil pun agak merasa kikuk saat harus memeluk pinggang orang yang  baru dikenal.             “Kok nggak pegangan? Nanti jatuh kehempas angin loh,”             “Nggak apaaaaa…. Apaaaa kokkkk, Cleonnnn….,” jawab Liliana dengan menahan angin yang menampar mukanya. Helm yang dipakainya saat itu helm kecil, entah yang disimpan Cleon di dalam jok motornya.             “Pegangannnn!”             “Enggak usahhhh,”             “Pegangan nggakkk?”             Motor pun malah semakin ngebut dan mau tak mau Liliana akhirnya memeluk erat pinggang Cleon. Dan menempelkan wajahnya ke punggung Cleon.             “Jangan ngebuttt!”             “Biarin, daripada Lili jatuh,”             Itulah percakapan yang diingat oleh Liliana selepas Cleon hilang dari pandangannya setelah sampai rumahnya.             “Cleon, terima kasih.”                                                     *             Tolong kirim contoh sinopsis novel gaibnya dulu.             Baru saja merebahkan tubuhnya yang lelah dan memeluk bantal gulingnya. Liliana mau tak mau membaca pesan dengan nada khusus dari bosnya. Pesan yang bernada singkat, jelas dan padat. Tidak jelas kapan butuhnya, esok atau lusa. Nada pesannya seakan memberikan perintah. SEKARANG JUGA!             Liliana menangis dan menghubungi Hana, Rosita, Toni dan Ibrahim. Berbicara secara grup amat dibutuhkan olehnya. Nada panggilan pun tersambung pada empat orang yang siang itu keempatnya sedang bekerja di kantor. Liliana seorang penulis yang pastinya bukan karyawan work in office melainkan penulis freelance. Yang bebas bertempat di mana saja yang penting tugasnya sesuai deadline yang telah ditentukan.             Panggilan tersambung di mana keempat-empatnya menyunggingkan senyum kecutnya pada Liliana.             “Oi, oi!!!” Hana memulai pembicaraan pertama kali. Dan disambung dengan Rosita yang memamerkan es krim Vienneta.             “Ini enak, Lil. Ulill ulet bulu!” godanya ke Liliana.             “Jahat ihhh! Pada berpesta di antara penderitaan orang lain!” jawab Liliana memonyongkan bibirnya karena merasa tidak mendapatkan bagian.             “Gimana sama Pak Bos tersayang?” Ibrahim memasang mimik muka serius.             “Aduuuh, aku pusing. Kalian tahu nggak aku disuruh nulis novel tentang dunia gaib, aku nggak tau apa-apa sama sekali dan ngggakkkk sukaakk!” Liliana menutup muka dengan bantal doraemonnya.             “Ya uda mau gimana lagi, tulis aja, Ulil,” tukas Hana meringis.             “Eh, bentar-bentar, emang si Liliana bisa nulis novel gaib?” Rosita menimpali.             “Kalau udah dikontrak sama Pak Bos, apapun yang diminta ya harus bisa,” jawab Toni santai.             “Tapi aku paling takut sama hantu ah! Ngapain juga sih nulis gituan?” sela Liliana. Saat itu Liliana melihat sesosok lelaki berkemeja hitam dan berdasi merah tengah berdiri di belakang Rosita yang masih sibuk menyantap sepotong es krim viennetanya. Tak tahu kalau ada penampakan di belakangnya. Bibir Liliana kelu, diam tak berkutik. Mulutnya menganga terkejut.             “Ros… Ros, ssst!” Hana menyikut Rosita biar lekas sadar.              Rosita menoleh dan memasang wajah naifnya, “Ha? Apa? Pake sat-set segala?”             Liliana yang matanya terfokus ke belakang Rosita pun memberikan kode lewat alisnya yang naik turun. Sebelum akhirnya suara deham CEO pun terdengar juga.             “Heem, uhuk.”             Rosita terkesiap dan seketika tersedak sampai batuk-batuk. “Uhuk, uhuk, Pak Bos!”             “Liliana, besok ke kantor!” didekatnnya gawai itu menghadap wajah Pak Ardhan dengan memasang wajah geramnya.             GLEK!             Dan panggilan pun terputus. TUTT…TUTT…TUTT                                                                                     *    Pada bias-bias asa kehidupan, Suara terdengar lirih, terbalas dengan sunyi Dikelilingi untaian kata yang sarat makna, Kegelapan dan kegaiban             ….             Liliana mulai membuka bungkus kartu tarot yang baru dibelinya lusa lalu. Sekotak kartu Tarot Rider White berwarna kuning yang didalamnya terdapat banyak sekali gambar-gambar kartu ramal yang menarik.  Mata Liliana berbinar-binar saat melihat dan mencium aroma kartu yang masih baru.             “Wah, keren! Tema cerita tentang ini pasti bagus!” pikirnya lalu menebar deretan kartu itu sesuai urutannya. Meski Liliana agak kebingungan dengan arti tiap kartu yang ada, tapi ada buku panduannya untuk membantu mengartikan. Liliana berusaha untuk memainkannya sendiri dan ingin tahu apa hasil dari prediksi tebaran kartunya. Mata Liliana terpejam seraya menempelkan telapak tangannya pada kartu. Saat masih duduk di bangku SMP, Liliana pernah beberapa kali mengasah intuisinya untuk menebak kartu-kartu remi saat bermain dengan temannya dan kesemua tebakannya itu benar. Tapi berbeda dengan kartu Tarot, Liliana baru pertama kali memegangnya.             “Apa yang akan terjadi esok hari?” gumam Liliana saat itu terfokus pada sebuah kartu yang sudah dijejer tiga deret dan kartu yang dipegangnya itu di bagian kanan. Sambil berdoa dirinya berharap akan mendapatkan gambaran baik. Tapi nyatanya yang keluar adalah gambar sembilan pedang dan seorang manusia yang seakan duduk dengan tangan menutupi wajahnya seperti baru mendapatkan mimpi buruk.             Melihat hasil yang di luar dugaan, Liliana terkesiap hebat dan menutup kartu itu kembali. Tanpa membaca arti di buku panduan, dia sudah tahu apa yang akan terjadi esok hari. Tapi bergegas Liliana mengalihkan pikiran itu dan mengelus dadanya kuat-kuat.                  “Esok hari baik, hari yang baik.” Harapnya cemas. Kemudian dia masukkan kembali kartu Tarot itu ke dalam kotak dan mulai menulis sinopsis yang keesokan hari akan diajukan pada bosnya yang galak. Namun di dalam pikiran bawah sadarnya selalu muncul gambar sembilan pedang. Sehingga membuat dirinya merasa kalut—gagal konsentrasi. Tapi Liliana terus menekan tuts-tuts keyboard dengan penuh percaya diri.             Tik…tik…tik… bukan bunyi suara hujan melainkan suara tombol keyboard yang terus menari-nari indah bak tarian angsa. Kala itu lampu kamar sengaja dimatikan untuk menambah kesan mistis agar sample bab-nya bisa diterima juga. Hanya suara bisikan dari kipas angin yang terus terdengar, tidak ada yang lainnya. Malam sudah menunjukkan pukul 11 tepat dan mata Liliana sudah mulai mengantuk satu per mati. Esok adalah penentuan. Ya, penentuan nasib Liliana. Sinopsis itu seakan menceritakan dirinya sendiri, seorang tokoh yang juga memakai inisial nama L dengan panggilan Luian. Luian sang peramal. Sampel LUIAN (Bab 1) LUIAN (Sebuah Kisah Pengungkap Misteri Rahasia)   ___________   Dari sebuah gambar, kehidupan bercerita. Dari sebuah kartu, hidupku dikendalikan. _______ Me, Aurora   BAB SATU Peramal Itu Telah Mati [Peramal tenar, Luian telah meninggal dunia tepat pada hari Minggu, tanggal 16 Mei 2010. Sebelum ia memejamkan mata untuk terakhir kali, Luian menulis surat wasiat dan mengabarkan tentang sepuluh kejadian yang akan terjadi di tanah air. Dan kini, seluruh masyarakat dibuat gempar dengan wafatnya seorang peramal tenar yang kini telah menutup usia ke 73. Generasi penerusnya akan diberikan pada anak angkatnya yang bernama, Aurora. Untuk menggantikan Luian. Surat wasiat itu diberikan kepadanya. Red]. _____________ Semua orang yang mengenal peramal tenar itu berduyun-duyun mendatangi rumahnya untuk melayat. Tidak hanya sekedar dari orang-orang biasa, para artis pun dan juga para pejabat pun ikut berziarah ke makamnya. Lebih dari lima ratus orang memadati seluruh area dan kawasan rumah Luian. Di mana semenjak ia masih berumur dua puluh tahun telah dianugerahi indera keenam untuk melihat masa depan. Beberapa orang yang diramalnya pun selalu terbukti benarnya. Luian memiliki bakat meramal semenjak ia baru berumur enam tahun, akan tetapi kemampuannya tersebut baru diasahnya saat ia merasakan bahwa banyak orang membutuhkan bantuan untuk menjalani kehidupannya. Beberapa orang yang melayat bukan hanya sekedar untuk melayat biasa. Akan tetapi mereka ingin tahu juga bocoran rahasia surat wasiat yang telah diberikan pada anak angkatnya, Aurora tentang sepuluh kejadian yang akan terjadi di tanah air. Dan tampaknya gadis berusia sembilan belas tahun itu tetap menolak untuk diwawancarai tentang surat peninggalan Luian.   “Tidak, saya tidak boleh memberitahukannya pada kalian. Itu pesan Luian.” Ungkapnya secara terus-menerus pada setiap wartawan yang berusaha memaksanya untuk membocorkan rahasianya. Salah satu dari wartawan itu menerobos masuk ke dalam rumah dan menanyai paksa gadis itu.   “Maaf, Jeng. Ini bukan maksud kami untuk membuat acara ritual pemakaman ini buyar. Tapi tolong, beritahu kami satu saja diantara sepuluh rahasia itu. Apa yang akan terjadi nanti, kami mohon satu saja, agar kami dapat waspada untuk melakukan sesuatu.” Pinta wartawati itu dengan menunjukkan wajah memelas. Aurora dibuat kebingungan dan gelisah. Apa yang harus ia jawab? Sementara surat itu sudah ia letakkan di dalam sebuah kotak rahasia yang ia simpan di suatu tempat yang tak mungkin orang akan mengetahui hal tersebut. Fatal, jika ada orang lain selain dirinya yang tahu tentang isi kesepuluh surat wasiat peninggalan Luian. Gadis itu berpikir sejenak, kemudian ia menjawab pertanyaan wartawati tersebut. Kilauan cahaya-cahaya dari kamera yang mengambil gambar anak angkat peramal tenar itu, menyilaukan pandangan Aurora.   “Hentikan kamera, jangan difoto! Saya tidak akan memnberitahukan pada kalian satu diantara kesepuluh isi surat wasiat itu. Kalau diantara kalian tidak menghormati saya.” Serunya mengancam. Akhirnya seluruh kamerapun dimatikan. Semua orang saling menatap wajah satu sama lain, berdiri diantara kediaman sementara Aurora mengambil alat pengeras suara. Sebelum ia melanjutkan pembicaraan, gadis itu menarik napas sejenak.   “Ibu Luian berpesan bahwa saya tidak boleh membocorkan rahasia itu pada kalian, hanya orang-orang tertentu yang ibu Luian tunjuk untuk hal itu. Tapi saya akan memberitahukan satu diantara sepuluh isi suratnya. Yang tak lain adalah bahwa, kalian harus bersiap-siap mendekatkan diri pada Tuhan kalian masing-masing, karena dalam waktu dekat ini. Alam semesta raya akan menunjukkan murkanya. Itu saja!” gadis itu meletakkan alat pengeras suaranya dan lekas masuk ke dalam kamarnya, sementara ia masih saja tetap terus dikejar oleh para wartawan pencari berita. Beberapa orang bodyguard telah menghadang wartawan-wartawan tersebut di sisi pintu rumahnya.   Gadis itu menangis terisak-isak di dalam kamarnya sambil menatap foto di pigura saat ia berdampingan dengan Luian. Ibu angkatnya. Tangisan yang melukiskan kisah masa lalu, dan hari-hari yang dijalaninya sebelum ini. Apakah ia sanggup dan kuat menggantikan Luian, seorang peramal tenar dan terhebat yang namanya sudah dikenal di masyarakat bahkan dunia. Sanggupkah ia menggantikan wanita itu?   “Mama…, mama Lui.” Isaknya, ia merebahkan tubuhnya di atas kasur. Melihat ke langit-langit dinding kamarnya, di mana ia seakan-akan masih dapat melihat bayang-bayang wajah Luian yang tersenyum padanya. “Mama, kenapa sebelum kau mati, harus menuliskan pesan itu padaku? Untuk diberikan pada orang itu? Kenapa hanya orang itu? Apakah aku bisa dan kuat menghadapi orang-orang disekitarnya? Apakah benar, bahwa dua tahun lagi dunia akan hancur dan musnah? Kenapa kau mati terlebih dahulu sebelum kejadian itu benar-benar terjadi? Ataukah kau terlalu takut untuk melihat apa yang akan terjadi nanti?”   Gadis itu mengambil sebuah kotak kecil di mana di dalamnya terdapat tumpukan kartu ramal yang bernama tarot. Kartu itu pula adalah salah satu dari kartu peninggalan Luian yang diberikan padanya. Gunakan kartu itu, jika kau sedang dalam keadaan gelisah. Karena kartu itu dapat menjadi kartu penyembuh. Tapi ingat, kau hanya boleh melihat satu kali. Tidak boleh kau ulangi lagi. Karena nantinya iblis akan mengikutimu, Aurora.   Itulah pesan terakhir yang juga dikatakan padanya. Aurora mulai mengocok kartu-kartu itu, secara acak dan berkonsentrasi untuk dapat membacanya. Gadis itu menggunakan tangan kirinya untuk membelah kartu menjadi dua bagian. Kemudian ia susun kembali, dan diulangi lagi sebanyak dua kali. Setelah itu ia tebarkan kartu itu membentuk sebuah formasi, kali ini ia memakai formasi tujuh untuk mendapatkan gambaran akhir tentang keyakinan yang harus dilakukannya.     Aurora memejamkan matanya sejenak untuk berkonsentrasi berpikir sebelum ia membuka kartu pertama. Fokus, fokus dan fokus. Dalam hitungan ketiga, ia membuka matanya dan membuka kartu pertama dengan tangan gemetaran. Terbukalah kartu pertama, di mana kartu tersebut menunjukkan masa lalu atau menyinggung adanya situasi yang mirip di masa lalunya.   Sebuah gambar bernama, ‘Keadilan’. Yang ternyata keluar diantara tumpukan kartu-kartu yang telah ditebarnya. Sesuatu gambar yang mengartikan tentang hukum sebab-akibat. Di mana kartu yang bergambar seorang wanita tengah duduk diantara kedua pilar yang mana posisinya mirip dengan Sang Pendeta Perempuan. Dan arti dari keluarnya kartu tersebut adalah ketika terjadi ketidakadilan, maka bisa jadi ada seseorang yang patut menerima hukuman setimpal, baik dalam bentuk materi, atau apapun agar harga dirinya dapat kembali.   “Sebuah proses keadilan dapat dipenuhi, bila dua sisi sama-sama mendapatkan hak dan hukuman yang seimbang. Bila ada satu sisi yang berbeda, maka seseorang akan menerima ganjarannya.” Gadis itu menunduk lesu, mengingat-ingat kejadian di masa lalunya. Tentang apa dan siapa dan kenapa lalu bagaimana? Itulah yang saat ini tengah berkecamuk di dalam d**a dan pikirannya. Saat Aurora memejamkan matanya, ia seperti mendapat bisikan di telinganya. Gadis itu mengenal betul suara itu, yang tak lain adalah bisikan Luian. Yang mengatakan,   Pertikaian, pertikaian mencari keadilan. Gadis itu terperanjat hebat, setelah mendengarnya. Ia beranjak dari kasur dan melangkah menuju sisi jendela dan mengintip ke luar apa yang tengah terjadi dengan kerumanan-kerumunan orang-orang yang masih memadati area rumahnya. Mereka saling dorong-mendorong satu sama lain, mengumpat tiada henti karena salah satu dari mereka ada yang tersakiti. Beberapa ada yang mengkultus-kultuskan nama Luian sebagai Tuhan, sampai mereka mengambil barang-barang yang ada di sekitar rumah, seperti patung-patung kecil yang dianggap memiliki ‘isi’ di dalamnya sebagai berkah hidup mereka. Detak jantung Aurora makin berdetak cepat dan menghebat, sesak. Ia merasakan sesak di d**a, dapatkah ia kuat menjalani sekumpulan orang-orang yang telah menjadi fanatik pada Luian dan menjadi penggantinya? Bagaimana cara ia menghadapi mereka dalam kondisi emosi yang menggelora seperti itu? Air mata gadis itu menitik membasahi pipi, perlahan-lahan. Bibirnya gemetar, rona wajahnya pun memerah. Bola matanya berkaca-kaca, ia menangis. Hanya satu yang dapat ia lakukan saat ini, menangis. Karena ia merasa sendirian kali ini, tanpa didampingi oleh Luian. Dan tugasnya untuk menyampaikan surat wasiat itu untuk diberikan pada Presiden harus segera ia lakukan. Jika sampai rahasia itu bocor tanpa sepengetahuannya, maka tanah air yang kini dipijaknya akan diluluhlantakkan oleh gelombang besar yang akan melahap setiap pulau dan bahkan bumi ini akan lenyap.   Lenyap. Tak ada kehidupan setelah ini. “Mama, apakah aku kuat? Kuat dengan segala macam pertikaian mereka? Ataukah lebih baik aku mati saja?” gumamnya menangis di dalam hati sambil menekan dadanya yang terasa sesak. *   31 Mei 2010, Aurora mendapat kiriman pesan beruntun dari penggemar fanatik Luian untuk mengucapkan bela sungkawa sekaligus menanyakan lagi apa rahasia di balik surat wasiat yang ditinggalkan untuknya. Gadis itu tidak ingin menjawabnya, namun ia masih memikirkan cara bagaimana dirinya dapat bertemu dengan Presiden untuk memberitahukan pesan wasiat tersebut tanpa diketahui oleh khalayak banyak. Sehingga tidak menarik perhatian orang lain untuk mencuri dengar atau bahkan ingin tahu lebih dalam apa-apa yang perlu disampaikan pada Presiden tentang sesuatu yang nantinya akan terjadi dalam masa jabatan yang masih didudukinya.   Resiko terberat adalah jika ia dianggap omong besar dan memberikan kabar bohong sehingga dapat meresahkan masyarakat yang mempercayai ramalan terakhir dari Luian sehingga membuat mereka ketakutan. Karena itu, hal yang kini diembannya sangatlah berat. Dengan cara apa ia dapat memberitahukan hal tersebut? Aurora menulis status di situs jejaring pertemanan, f******k untuk mengungkapkan keresahannya. Dua minggu berselang setelah kematian Luian, ia masih juga belum mendapatkan ilham dan jawaban untuk itu.   Facebook: Beritahu aku cara, bagaimana dapat menyampaikan pesan itu padanya? Sementara waktu terus berjalan. Aku resah. Tidak ada sepuluh menit berselang, komentar-komentar pun langsung muncul dan menjawab status gadis itu. Tidak hanya satu melainkan seratus orang yang telah menjadi anggotanya untuk menanyakan ‘kenapa?’ dan ‘pesan apakah itu’. Beberapa ada yang memberitahukan bantuan untuk menyalurkan uneg-unegnya pada orang yang memang ditujunya. Ia tak mungkin menjawabnya, bahwa orang yang dituju adalah seorang presiden. Gadis itu hanya diam sambil menatap ke arah layar monitor notebook-nya. Menggigit jari dan menggerak-gerakkan kakinya sekedar untuk menghilangkan perasaan cemas yang tak berkesudahan. Namun, ia tertarik dengan salah satu komentar dari salah seorang anggota yang tak lain bernama, ‘Rhiyu’ mengatakan, Ku tahu pesan apa yang kau maksud, Aurora. Percayalah dengan intuisimu, dan jangan bertanya pada kami bagaimana cara membantumu, karena kau yang tahu jawaban itu. Bersemangatlah!   Benar, sebuah intuisi yang pastinya dapat menggerakkan semuanya. Begitu pula dengan jawaban-jawaban itu sendiri. Tapi, selalu saja kata tapi muncul di dalam benak dan pikirannya. Bahwa pesan tersebut harus segera disampaikan dalam waktu kurang lebih satu bulan ke depan. Jika tidak maka akan terjadi sesuatu. Kata Luian sebelum ia menghembuskan napasnya untuk terakhir kalinya.   “Kau harus menyampaikan pesanku dalam waktu satu bulan ini, Aurora. Kalau tidak…, bahaya akan menanti dirimu juga yang lainnya. Akan ada di mana datangnya bencana besar yang dapat menghancurkan tanah air kita.” Ucapnya terbata-bata, dan kalimat terakhir itulah, ‘tanah air kita’ yang kemudian menjadi kalimat terakhir yang didengar oleh Aurora. Luian memejamkan mata dengan sempurna, senyum tipis yang selalu terhias dari wajahnya. Bahwa ada sebab kenapa walau ia disebut sebagai seorang peramal, namun di manapun ia berada. Tuhan selalu mengawasinya dan memberikan waktu kapan ia hidup dan mati. Takdir telah menunjukkan jalan pada Luian untuk menjadi seorang pembaca nasib. Dan sempat gadis itu dibuat bertanya-tanya, kenapa harus presiden yang harus ditemuinya. Tidak semudah yang dibayangkan, bahwa dirinya bukanlah siapa-siapa selain anak angkat. Masyarakat pun pastinya belum sepenuhnya mempercayai akan ucapannya karena dirasa ia masih terlalu amat muda.   (bersambung)                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                           
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD