BAB 10 Cleon, Sang Merpati Putih

2027 Words
Dalam beku, engkau tertidur Terjatuh ke dalam sebuah lubang sungai, Dingin, di malam hari. Engkau jatuh terkapar, lalu menembus ke dalam celah…         Cleon merasa terpikat saat membaca barisan syair dari sebuah novel yang baru saja dibelinya lusa lalu. Belumlah habis halaman sampai akhir cerita, Cleon sudah memuji-muji sang penulis di dalam hati. Dibalik-baliknya halaman yang ada di sampul bagian belakang. Terpampang foto si penulis yang sedang tersenyum. Cantik, batin Cleon dalam hati memuji. Teringat pun senyuman si penulis kala itu, yang berdiri sendiri di samping tumpukan novel-novel yang sudah ditata dan didesain semenarik mungkin.             “Liliana de Frank, nama yang sangat bagus.” Cleon mencatat nomor kontak sang penulis yang tertera di biodata novel tersebut. Pikirnya sewaktu-waktu jika sudah selesai membaca, dia akan menghubunginya dan memberikan review terbaik untuk penulis. Kebetulan Cleon juga suka menulis cerpen, ingin tahu resep-resep penulis andal itu seperti apa. Mungkin saja Cleon bisa belajar banyak dari novelis itu saat sudah mengenalnya lebih dekat. Setelah disimpannya nomor Liliana de Frank, Cleon menutup novel itu dan meletakkannya di bawah bantal. Kini Cleon beralih mengambil gitar kesayangannya dan mulai menyenandungkan sebuah lagu. “Life is full of lots of up and downs But the distance feels further When it's headed for the ground And there's nothing more painful Than to let your feelings take you down   It's so hard to know the way you feel inside When there's many thoughts and feelings that you hide But you might feel better If you let me walk with you by your side.”[1]               Dan suara petikan gitar pun terdengar amat merdu bersanding dengan nyanyian yang meneduhkan hati. Pada sebuah memoar yang tak pernah terlupakan.                                                                                     *            Di ruang dunia maya, gadis itu mulai berselancar menjelajahi jendela luar dari dalam. Liliana pun mulai mencari-cara artikel dan data-data tentang anak-anak Indigo juga sesuatu hal yang berhubungan dengan dunia spiritual dan supranatural. Dia pun mulai mengetik satu kalimat kunci yang akan terhubung di mesin pencarian google.                         Anak Indigo           Dan ditemukan satu artikel pertama. 1. Minat yang tinggi pada bidang tertentu   2. Perfeksionis   3. Idealis   4. Cepat belajar   5. Merasa superior   6. Mempunyai bakat alami   7. Mudah bosan   8. Sangat pemikir   9. Berani mengutarakan pendapat   10. Sensitif   11. Memiliki ambiguitas   12, Antisosial   13. Memiliki gelombang yang tak biasa.           Liliana mencermati setiap poin-poin yang ada, tentunya khusus ini kali adalah bukan perkara dan ide yang biasa. Di mana tidak ada di dalam buku-buku referensi yang biasa dengan mudah didapatinya. Satu-satunya yang dia pikirkan hanyalah tentang bagaimana cara mendapatkan seorang Indigo asli untuk dimintai sebagai narasumber. Setidaknya jawaban yang tidak ada di google, jawaban yang benar-benar dari orang Indigo itu sendiri sehingga dapat dengan mudah dipertanggungjawabkan jika suatu hari ada yang bertanya tentang si tokoh Indigo yang bukan sekadar rekaan belaka.         “Aku harus cari di mana?” Liliana pun berinisiatif untuk menggali semua lewat dunia maya, terutama jaringan f******k. Dan bergabung di dalam satu wadah bernama Komunitas Indigo. Tak berapa lama dia meminta permintaan bergabung, langsung disetujui oleh admin komunitas. Tak ayal langsung saja Liliana menulis satu postingan yang akan menggegerkan member sejagad di linimasa ruang tersebut.         “Sedang mencari orang Indigo asli. Yang kebaikannya seperti Khrisna,dan baik hati.”         Setelah itu dia menekan tombol ‘posting’ dan menunggu persetujuan admin grup. Harap-harap cemas dan berpikir apa yang akan terjadi setelah ini, apakai ramai ataukah sepi dari para komentator. 10 menit pun berlalu dan…     Postingan yang Anda tulis di Komunitas Indigo telah disetujui oleh admin. Dag, dig, dug hati Liliana. Berharap penuh agar mendapatkan satu narasumber yang benar-benar dapat dikorek kehidupan mereka.     “Bismillah…”     Satu menit berlalu, satu per satu komentator pun bermunculan.   Satria Panduga: Wah, keren nih! Mau dong daftar Bayu Rama: Buat apa? Gladi angel: Saya Indigo, jadi penasaran             Dan bermunculan komentar-komentar lainnya yang tanpa diduga sebelumnya akan menjadi sebanyak dari yang diharapkan Liliana. Senang bukan main kepalangnya Liliana mendapatkan perhatian sebanyak itu. Seperti menarik energi-energi yang bagus untuk dirinya.           Dia pun mulai menjawab satu-satu. Tak tahu bahwa dirinya sedang berada dalam bahaya jika salah berlaku dan berkata akan mendapatkan feedbacknya sendiri. Jauh dalam pikirannya akan efek tersebut, ketika ingin mengenal orang-orang Indigo dan kehidupan mereka dalam dunianya yang berbeda dengan orang biasa.           “Aku dapat, aku dapat. Akhirnya…”           Beberapa inbox masuk, mendadak dirinya diterawang oleh beberapa orang yang langsung berkata sesuatu pada Liliana.   Anja anji Salam kenal Lili, kamu orangnya suka marah ya? Jaga emosi, emosimu tak terkendali.           Membaca pesan tersebut, Liliana terenyak. Belum jadi friendlist-nya, tapi sudah menebak sifatnya. Diapun membalas: Kok bisa tau? Anja anji Tau-lah, dari fotomu saja aku sudah bisa melihat.           Liliana pun kembali bertanya, Apa yang kau lihat lagi? Apa kau melihat beberapa orang di belakangku? Anja anji Oh, aku tidak melihat tentang itu, hanya membaca karakter seseorang saja.           Jelas lelaki itu, Liliana pun mengamati dan bertanya to the point. Apa Kaka Indigo?           Tidak ada sahutan lagi setelahnya. Liliana menarik napas panjang, belumlah ketemu seseorang yang diinginkannya, dan sesuai kriterianya. Seorang Indigo yang benar-benar pintar dan baik hatinya. Yang bukan hanya menebak sifat-sifatnya tapi membaca rahasia yang tersembunyi, yang hanya dirinya yang tahu. Apakah orang itu ada? Liliana harus bertemu langsung dengan narasumber, bukan melewati media sosial saja. Kurang kuat untuk dijadikan sebagai bahan referensi. Paling tidak dia harus bergabung langsung dengan komunitas yang real.           “Susah,” Liliana duduk bersandar di kursi kerjanya dan memutar-mutar kursi itu saat tengah mencari ide cemerlang. Tiba-tiba, dia merasakan sesuatu bergeliat di punggungnya. Seperti ada sesuatu yang tengah berjalan-jalan memutar. Anehnya, sejak dulu Liliana tidak tahu itu apa. Ya, rasa aneh yang ada di tubuhnya yang sama sekali tidak dimengerti. Sekelebat bayangan hitam pun muncul dari balik jendela kamarnya. Muncul dan hilang begitu saja. “apa itu?” uuh, inilah hal-hal yang tidak disukai oleh Liliana jika akan menulis cerita yang berhubungan dengan gaib. Kenangan masa lalu kan kembali muncul satu per satu.           Susah!!!!!           Pekik Liliana dalam hati dan melempar beberapa bukunya ke dinding. Kemudian dia pun mulai meracau.           “Bos! Kau tahu tidak?! Aku benci mengenal hal-hal goib! Kau tahu tidak, mereka selalu mengintaiku kalau aku kembali menulis cerita tentang goib! Apa kau tau Pak Bos?! Tahu! Sebelum aku kau kenal sebagai penulis novel, aku adalah seorang penulis novel horor. Novel horor pertama kali yang kutulis sebelum aku menggantinya dengan novel-novel lain! Aku benci mengingat semuanya, Bos! Aku benci! Benci!!!” dan satu per satu buku yang terlempar di dinding itu pun terjatuh ke lantai. Ingatan lama yang sudah lama dikuburnya pun kembali muncul. Dan menjadi mimpi buruk baginya jika dia harus mengingatnya kembali.                                                                                     *              Di toko buku Gramedia, Liliana mencari-cari buku bertema misteri dan dunia gaib. Apapun dibelinya dari kisah-kisah hantu dan lainnya termasuk alien. Saat kecil Liliana suka membaca novel serial ghosebump yang terkenal dengan kisah para monster yang beraneka ragam. Mempelajari dunia gaib sangat menguras energi. Tiba-tiba terbesit di dalam pikirannya untuk membeli kartu Tarot yang saat itu menarik perhatiannya. Bukankah dunia gaib juga tak jauh dari ramal-meramal? Pikir Liliana. Tak perlu banyak pikir, diambilnya sekotak kartu Tarot Rider-Waite. Dibawanya semua barang belanjaannya menuju kasir, harapnya semua akan berjalan dengan lancar.             “Demi apa semua ini?” Liliana mengambil kantong belanjaannya. Ketika hendak berbalik badan. Liliana terkejut saat bertabrakan dengan seorang lelaki berparas tampan yang pernah dilihatnya beberapa waktu lalu. Yah, seraut wajah yang tak asing meski baru bertemu sekali.             “Eh, Kaka…?” celetuk lelaki yang wajahnya mirip Leeteuk.             “Eh?” Liliana mendelik, sejenak terpesona memandang wajah kembaran Leeteuk yang seakan menghipnotis dirinya.             “Kaka yang penulis kemarin itu kan?” pandangnya takjub.             “Oh ya .. ya .. ya…,” Liliana pura-pura lupa ingatan padahal sebenarnya dia masih ingat. Senyum kembaran Leeteuk itu sangat menggoda apalagi punya lesung pipit juga. Menambah daya tarik tersendiri untuk terus tak henti-hentinya memandang.             “Kenalin, nama saya Cleon. Saya sudah selesai membaca novel Kaka loh!” ujarnya penuh kagum sambil menyodorkan tangannya pada Liliana.             Memang, mendapatkan fans baru itu sudah menjadi hal yang biasa pada dirinya. Kebanyakan dari para kaum Hawa yang menggilai novel-novelnya. Tapi tak jarang juga bahwa diantara mereka juga ada yang menaruh hati pada Liliana.             “Oh, ya. Cleon, salam kenal ya?”             Tanpa sadar perbincangan pun menjadi lebih renyah dan langkah mereka berdua tanpa disadari pula sudah keluar saja dari toko buku itu.            “Eh, Ka Lili mau ke mana lagi habis ini?” Cleon menggaruk-garuk rambutnya, sedikit kikuk dia menyambung pembicaraan.             “Pulang sih, tapi mau makan dulu di sini,”             “Sendirian?”             “Sudah biasa itu, seorang penulis sering menyendiri di manapun untuk mencari inspirasi,”             “Oh, I see…, eee…”  jawab Cleon makin kikuk. Meski dia tampan pun kalau berhadapan dengan penulis buku yang dikaguminya, bikin salting juga.             “Kenapa?”             “Saya juga belum makan ini, gimana kalo bareng kita makan ya?” tawarnya basa-basi, hidung Cleon kembang-kempis.             “Ayo, asik deh, ada teman ngobrol,”             Langkah keduanya pun melaju ke arah lift dan naik ke lantai 3 menuju food court. Dalam hening saat ada di dalam lift. Mereka berdua saling berpandangan, lirikan mata Cleon tak berkedip menatap wajah Liliana.             “Kaka masih single?”             Tiba-tiba Liliana terbatuk-batuk mendengar satu pertanyaan itu. Itu adalah satu pertanyaan yang amat dihindarinya selama ini.             “Uhuk.. uhuk..!”             “Ka, kenapa?”             “Nggak apa-apa, kelihatannya gimana sekarang?”             “Oh, sendiri,”             “Ya udah, kalo tau jawabannya.”             HENING. Dan seketika pintu lift terbuka.                                                                                         *          Cleon memesan menu ayam bakar lada hitam, juga Liliana. Dan Cleon sengaja mentraktir Liliana makan siang. Betapa senangnya Liliana, diajak makan si cowok tampan bak aktor boyband Korea. Banyak juga pengunjung mall yang melihat ke arahnya.             “Jadi Kaka Lili tuh udah nulis sejak kapan?” tanya Cleon lalu menggigit paha ayam itu setelah dicelupkan di mangkok sambal.             “Nulisnya udah lama, tapi baru publish dua tahun ini sih,”             “Wah, keren itu, Kak…”             “Biasa aja, itu di toko buku banyak juga penulis hihihi…,”             “Kaka nih, merendah. Saya jadi tambah kagum sama Kaka,”             “Panggil Lili aja,”             “Ah, nggak enak nih…,”             “Lili, kalau nggak besok-besok saya nggak mau diajak ketemuan buat makan-makan lagi,”             “Hihihi, Ok. Lili,”             “Nah, gitu kan bagus,”             “Tapi Lili nih penulis beken,”             “Nggak juga,”             “Kenapa mesti ngomong gitu sih?             Hening. Liliana tidak mau menjawab pertanyaan Cleon. Baginya apa yang akan dikata dan diingat itu adalah hal yang sakit.             Cleon membangunkan Liliana dari lamunan, dia tepuk tangan Liliana yang terdiam tak melanjutkan suapan makannya ke mulut.             “Eh,”             “Lili baik-baik aja kan?”             “Oh ya, maaf. Jangan suka memuji, nanti nggak bagus,”             “OK. Kalo begitu,”             Gawai Cleon berbunyi pertanda ada panggilan masuk. Sedikit gugup Cleon saat mengangkatnya apalagi saat itu Liliana sempat melihat foto si gadis yang terpampang di layar w******p Cleon. Tapi buru-buru Cleon mematikannya.             “Kenapa dimatikan?” Liliana mengernyitkan alis.            Cleon terlihat masih kikuk. “Bukan siapa-siapa, Lili. Biasa fans aja,”             Seumur-umur, Liliana yang juga punya banyak fans tak pernah berbuat seperti itu. Karena fans adalah penggemar yang harus dihargai karena rasa sukanya pada sang publik figur.             “Kalau gitu, saya pamit dulu. Saya bukan orang yang suka mematikan panggilan dari fans, kadang ada dari mereka yang butuh nasehat kita. Atau sesuatu, jadi apapun kondisi harus diterima. Sibuk pun setidaknya dijawab nanti hubungi lagi. Begitu etikanya. Maaf kalau saya dirasa mengganggu, saya pulang saja. Terima kasih Cleon traktirannya.” Liliana beranjak dari kursi dan pergi berlalu begitu saja meninggalkan sosok si lelaki tampan itu sendirian.             “Liliana, tunggu!”            Tapi Liliana mempercepat langkahnya dan buru-buru hendak masuk ke dalam lift. Cleon berusaha terus mengejarnya dan menarik lengan Liliana. Tak sadar Liliana pun ada di pelukan Cleon. Cleon yang merasa tak sengaja pun minta maaf.             “Cleon!”             “Maaf, Lili. Jangan kabur kayak gitu, saya mau jelasin…,”             “Cleon…”             “Dia itu mantan saya,”             “Cleon…”             “Jangan berpikir buruk-buruk tentang saya,”             “Cleon…”             “Kenapa Lili?”             Liliana meringis, “Kamu injak kakiku, Cleon.” *                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                               [1] A Shoulder to cry on : Tommy Page
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD