BAB 63 Cincin Pengantin untuk Liliana

812 Words
            Rencana hari pernikahan akan diadakan satu bulan ke depan, dan tentunya segala macam persiapan dari urusan t***k-bengeknya wajib untuk dipikirkan. Termasuk membeli cincin kawin. Siang hari itu, Liliana diajak oleh Pak Ardhan untuk memilih cincin kawin. Diajaknya Liliana ke toko emas dan diminta untuk memilih-milih ukuran cincin yang cocok dengan jari manisnya itu. Hubungan mereka terlihat semakin erat, pun juga Liliana belajar untuk mencoba menerima apa yang harus diterimanya. Siang hari itu Liliana mengenakan kaos kasual dan sepatu kets biru kesayangannya. Dia ingin tampil biasa saja meski sudah menjadi tunangan seorang CEO yang tampan. Baginya semua itu bukanlah rekor, rekor menurut Liliana jika dia berhasil dicintai oleh lelaki masa lalunya.             “Sudah siap?”             “Ke Toko Emas mana?”             “Pasar Atom sana, banyak pilihan,”             “Ah, OK..”             “Oh ya, mengenai rumah tinggal kita nanti, ayahmu meminta kita tinggal di rumah itu. Kau sudah siap?”             “Siap, tapi …,”             “Tapi kenapa?”             “Lebih baik dibersihkan dulu saja, semuanya.”             “Itu gampang, nanti biar saya urus. Oh ya, temanmu itu …, yang kapan hari tinggal di rumah itu sekarang di mana?” Pak Ardhan tiba-tiba mengingat sesuatu hal yang muncul di dalam benaknya.             “Venus?”             “Ya, Venus,”             “Oh, dia ngekos, kenapa?”             “Coba kau minta lagi dia tinggal di rumah itu barang sebulan, sampai kita menikah dan mengurus semuanya baru kita pindah ke sana.”             Liliana terbengong, “Maksudnya, nanti kita mau tinggal sama Venus?”             “Bukan begitu,”             “Tinggal bertiga?”             “Bukan begitu, Lili …,”             “Kita menikah bertiga?”             “Haduh, apalagi itu?”             “Sekamar bertiga?”             “Hah? Bisa diam tidak?”             “Terus?”             “Makanya dengarkan dulu kata-kata saya,”             Liliana pun menundukkan wajahnya, merasa tidak enak mendengar kata-kata itu. Pikirnya sebentar lagi hidup bersama, pasti sering terjadi perbedaan pendapat. Terbiasa hidup sendiri lalu tiba-tiba berubah menjadi berdua dan tidur yang biasa sendirian tiba-tiba harus bersama dengan orang lain yang berjanji akan menjaga dan melindunginya.             “Iya, saya dengarkan dulu,”             “Saya ingin rumah itu ditinggali oleh Venus dulu, nanti saya buat rumah itu direnovasi sedikit. Setelah direnovasi kita baru pindah ke sana. Daripada kosong, biar dia yang tinggal. Dan, bukannya saat ditempati olehnya, tidak ada kejadian apapun?”             Liliana menggelengkan kepala, “Tidak ada,”             “Dan sepertinya, saya melihat diri Venus itu berbeda. Dia seperti bukan orang biasa,”             “Maksudnya?”             “Sepertinya kita akan membutuhkannya kelak,”             “Jadi, nanti kita tinggal bertiga?”             “Pikiranmu selalu ke mana-mana,”             “Pikir saja,”            “Sudahlah, untuk masalah itu tenang saja dan lebih baik sekarang kau hubungi Venus lalu temui dia setelah ini,” Pak Ardhan mengelus kepala Liliana dengan lembut.             “OK.”                                                                             * Pasar Atom Surabaya             Sepasang cincin kawin emas diperlihatkan oleh si penjual pada Liliana dan Pak Ardhan. Keduanya diminta untuk memilah-milah cincin kawin yang hendak dibeli. Liliana terpesona melihat banyaknya perhiasan emas berjejer-jejer dengan cantiknya. Pun tergiur dengan harga meski membuatnya geleng-geleng dalam hatinya.             “Jadi, mau pilih yang mana?” tanya si penjual itu membuka kotak cincin kawin satu per satu. Melihat tampilan necis Pak Ardhan, pastinya penjual itu tahu mana si pemilik berkantong tebal dan yang rakyat menengah.            Pak Ardhan mengamati satu per satu sampai ke batu permatanya pun dia lihat sampai sedekat-dekatnya.             “Saya mau yang ada inisial nama masing-masing, bisa?”             “Oh, pesanan nama ada, tapi harus menunggu selama beberapa hari,”             “Kira-kira seminggu bisa siap tidak?”             “Kami usahakan,”             “Jadi, saya mau yang ini, cincin 5 gram, dan beberapa perhiasan lain seperti gelang, kalung, liontin, tolong bantu dia untuk memilih apa yang dia suka,” kata Pak Ardhan memberikan pesan sebelum dia sibuk dengan gawainya dan tengah menghubungi rekannya.             Liliana hanya bisa diam melongo saja, apa semua yang tampak di depan matanya kali ini itu hanyalah mimpi belaka? Dia diminta untuk memilih perhiasan yang dia sukai?             “Pak Ardhan,”             “Sayang panggil sayang ya?”             “Oh ya, ehm, Sa … sayang,”             “Bagus, saya ke depan dulu ya, saya harus menelpon seseorang, kamu sama dia saja milih-milih emas yang bagus ya, buat Mas Kawin,”             “Cincin saja apa tidak cukup?” Liliana hendak menolak tawaran itu.             “Cincin saja?”             “Ya,”             “Lili sayang, jangan mempermalukan jabatan saya, OK.”             “Oh, OK.”             Jadi, pikir Liliana jabatan dan nama juga harga diri amat berperan penting di mata orang lain, ketimbang cinta itu sendiri. Padahal menurut Liliana, cinta itu tak pernah melihat perhiasan. Oh, mungkin dirinya terlalu naif saja.             “Ayo, Mbak, sini, saya bantu pilihkan. Calonnya Mbak itu bos besar ya?”             Liliana hanya tersenyum simpul, “Iya, Bos saya sendiri,”             “Wah, sekretarisnya?”             Liliana menggeleng, “Bukan,”             “Wah, keren kalau begitu, selamat ya!”                                                                                             *                                               
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD