BAB 64 Apakah Ini Sebuah Kebetulan?

933 Words
Hei, Laut! Aku berkata padamu, Kembalikan dia padaku, Hei, Laut! Jangan kau bawa dia pergi!       Diriku bersandar pada sebuah tembok besar. Menatap laut yang tak berombak. Tak bergerak. Diam menatapku layu. Sebentar-sebentar air itu membasahi kakiku. Membasahi rokku yang berlipit panjang semata kaki. Basah...lengket. Ditanganku kubawa beberapa lembar surat yang sudah ikut basah terkena air. Tulisan yang sebelumnya tertera jelas dan bisa k****a dan dibaca laut. Kini, hanya tinggal tulisan yang luber seperti tulisan yang menangis.       Diriku bersandar di tembok besar. Menatap laut yang masih juga tak berombak. Menunggu ombak datang menemuiku. Kutatap langit yang tak bersahabat padaku. Setetes air jatuh mengenai kepalaku. Aku mendongak ke atas. Dan menengadahkan tangan. “Hujan?”tanyaku. Tetesan air itu membasahi rambutku yang hitam. Lengket...semuanya terasa lengket. Ke mana kau pergi lautku? Tak berombak, hanya desiran buih-buih yang datang dan kemudian pergi. Membasahi kakiku.       Surat-surat yang kupegang itu lembar demi lembar kulemparkan ke laut. Supaya dia tahu apa yang kurasakan. Lembar-lembaran yang kutulis semenjak kau pergi ke laut. Setiap hari aku merangkai kata-kata untukmu. Kenapa kau tak beritahu aku kalau akan pergi ke laut? Tanyaku dalam hati. Laut telah membawamu pergi selama ini. Pada siapa aku kirimkan surat-suratku ini? Lautlah yang menjawabnya di teluk ini. Teluk yang memisahkan kita berdua.       Kau pergi melaut tanpa aku. Tapi, aku tetap di sini menantimu. Menanti kedatangan lautku yang telah hilang beberapa lama dan tak kunjung kembali.       Menanti laut hatiku. * Aku menanti di teluk...menanti kedatangannya. Yang tiada kabar. Aku tunggu dirimu di pelabuhan ini. Dan kubawa serta surat-surat yang tiap hari kutulis untukmu. Supaya kau tahu seberapa besar aku menyukaimu. Buih-buih ombak itu menerjang kakiku. Semakin lama air itu semakin naik. Ombak yang semula diam tak bersuara kini menghampiriku. Surat-surat itu tenggelam jatuh dan mengambang diatas air. Aku ingin mengambilnya. Karena ada satu surat yang ingin kusimpan diantara yang kubuang. Surat terakhir yang harus kau baca. Surat itu terjatuh di laut... Aku mengejar surat itu masuk ke laut Aku menemukan surat itu Diriku tenggelam...                                                                                              *         Liliana terdiam melamun menatap perhiasan-perhiasan cantik yang teronggok di depannya. Bayangan-bayangan dirinya di masa lalu pun kembali terbuka, pandangannya berubah menjadi kosong. Terjebak pada dirinya yang kelam, sampai membuatnya tak sadar dirinya tengah dibangunkan oleh si Penjual Emas.       “Mbak, kok ngelamun? Ngelamun apa?” si Penjual Emas yang memiliki gaya rambut jabrik dan biasa dipanggil koko-koko.       “Eh, oh ya, itu,” tukas Liliana kebingungan.       “Mbak kenapa sih?”       “Eh, lagi mikir mana yang bagus yah?”       “Kalau gitu saya ke pelanggan sebelah dulu,”       “OK.” Kala itu Liliana kembali terfokus pada kalung yang teronggok di dalam kotak hitam yang terbuka. Sangat cantik, perhiasan emas 24 karat yang terlihat elegan dan menarik hati setiap wanita. Pak Ardhan memintanya untuk memilih perhiasan-perhiasan satu set itu sebagai mahar pernikahannya. Galau, semuanya cantik. Saat dia kebingungan untuk memilih tiba-tiba ada celetukan dari seorang di sampingnya.       “Yang ini sangat cantik,” celetukan itu sontak membuat Liliana terkejut bukan main. Dan langsung menoleh ke kiri, melihat sosok lelaki yang bertubuh tegap tinggi dan saat itu di sampingnya berdiri sosok wanita yang kemungkinan besar adalah ibunya dan di samping kanannya ada sesosok perempuan muda yang metnggandeng lelaki itu sambil tersenyum.       “Kakak, belikan adik juga ya?”       “Ya, nanti kalau tabungan Kakak sudah banyak,”       “Roki,”       Roki!!!       Bak disambar geledek, siapa nama orang yang dipanggil itu? Liliana tak sanggup menoleh ke samping dan menyaksikan sesuatu yang terjadi. Bahkan suara itu masih terdengar familiar. Teringat setiap malam dia menelpon lelaki masa lalunya dan berbincang-bincang tentang hal apapun yang sedang terjadi.       Belum sempat Liliana menoleh ke samping kiri, si Koko penjual emas memanggilnya kembali.       “Jadi, pilih perhiasan yang mana?” tanya si Koko tak sabar sebab ada pembeli lain yang mengantri.       “Oh, yang ini,” Liliana spontan memilih kalung satu set yang dikata sangat cantik oleh lelaki itu.       “Bagus sekali yang ini, oke saya siapkan semua,” si Koko kembali sibuk dan meminta pegawai lain melayani pelanggan lain. Liliana masih berdiri diam dan hendak menoleh ke samping kiri, apa dia sudah pulang? Jika sudah pulang kenapa dia tidak tahu? Biasanya tahu kapan akan datang dan pergi.       “Kakak akan beli seperangkat mahar emas seperti itu kalau nanti menikah,” Roki berkata sekali lagi, dan tak menunggu waktu lama lagi, Liliana spontan menoleh ke kiri dan keduanya saling berbalas tatapan. Roki yang melihat diri Liliana pun tertegun, begitu pula dengan Liliana. Pertemuan secara kebetulan itu meninggalkan sisa-sisa duka paling dalam.       “Roki,” ucapnya pelan.       Dan Roki pun hanya tersenyum simpul saja sebelum akhirnya dia beralih muka memilihkan kalung untuk wanita yang ada di samping kiri.       “Ibu, Roki pilihkan yang ini ya?” tunjuknya menunjuk pada sebuah kalung yang ada di dalam kaca etalase. Sementara dia disibukkan dengan ibu dan adiknya yang cerewet, Liliana kembali tak mendapatkan perhatian. Meski dirinya masih tetap berdiri di tempat itu. Rupanya, sikap cuek Roki sampai kini tak berubah. Penantiannya menanti selama itu dulu pun tak ada gunanya. Liliana menundukkan wajahnya dan menatap ke dalam kaca etalase, kata Roki barusan. “Kakak akan beli seperangkat mahar emas seperti itu kalau nanti menikah,” gemetar jemari Liliana mengingat kata-kata yang tak akan dia lupakan selamanya. “Ro … ki,” panggilnya lirih. Dan Roki menoleh kembali ke arahnya dengan senyuman khasnya itu. Senyuman yang membuatnya jatuh cinta pertama kali. Senyuman yang memabukkan hati dan jiwanya. Dan juga, Liliana membenci senyuman itu, sebab senyuman itu membuatnya patah hati. Saat keduanya kembali bertatapan, Pak Ardhan yang sudah selesai dengan urusannya pun berdiri di belakang Liliana.       “Sudah selesai milihnya?” tanyanya sambil memeluk Liliana dari belakang.                                                                                 *                    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD