BAB 48 Telepon Tua

1138 Words
Kring…kring…kring Datanglah kemari, aku memberi pesan padamu, Violeta, kemarilah… ----- Desember 2015             Wanita berbaju biru bercorak bunga-bunga kamboja putih itu, tengah berjalan pelan menyusuri area jalan dari kompleks perumahannya. Di tangannya membawa dua kantong kresek berisi belanjaan sayur-mayur dan daging yang baru dibelinya pagi itu. Hari ini ia hendak memasak ayam bumbu rica-rica kesukaan suaminya. Setiap pagi, kegiatan rutinnya selepas bangun pagi adalah berbelanja ke pasar lalu mengurus sang suami sebelum berangkat bekerja di luar. Tak biasanya hari itu, ia sedikit merasa lelah. Ya, lelah pikiran yang disebabkan oleh omongan orang tuanya lusa lalu.             “Kalau sudah menikah itu harusnya pisah rumah dan nggak seatap dengan orang tua.”             “Tapi suamiku belum punya rumah sendiri, ngontrak pun nggak murah. Kalau sudah begini, aku harus apa?” ia pun berjalan setengah melamun, hingga tanpa disadari langkahnya terhenti di samping telepon umum berwarna merah. Tiba-tiba ia terhenti dan merogoh saku jaketnya untuk mencari uang recehan.             “Aku lupa lagi, iih!” Ia pun bergegas masuk ke dalam kotak merah-telepon umum zaman dulu yang tak pernah lekang oleh waktu. Sebab ia dicap pelupa, karena memang sering terlupa. Jemarinya mulai menekan tombol angka dan melekatkan gagang telepon itu ke telinga kirinya. Sambil mendengarkan nada sambung yang masih terus berbunyi, pandangannya terfokus pada selembar iklan yang melekat di samping kotak telepon umum. Wah! Rumah bagus ini…, simpan ah! Ia mencopot kertas iklan dan dilipatnya menjadi dua, lalu dimasukkannya ke dalam kantong belanjaannya. Selepas ia menelpon ibunya sekadar untuk menanyakan apa yang terlupa dalam benaknya. Dan ia pun diminta pulang saja daripada harus kembali lagi ke pasar. “Laosnya lupa, ah! Pasti nanti di rumah sewot,” wanita itu bernama Violeta. Dan saat ini dirinya tengah menghadapi gundah-gulana. Ia harus secepatnya keluar dari rumah dan pindah ke rumah baru. Tinggal dengan keluarga apalagi masih campur dengan orang tua, plus kakak dan keponakan. Akan sering terjadi keributan. Jika ia pergi, usai sudah masalah yang menjadi ‘neraka’ baginya. Dan saat suaminya bangun nanti, ia akan langsung memberikan kertas itu. Instingnya bekerja, bahwa rumah itu memanggilnya. Suatu hari, Ia akan benar-benar pergi *             “Ibu marah-marah lagi, Mas…, kita harus cepat cari kontrakan, telingaku udah nggak kuat lagi dengar Ibu tiap hari ngomel-ngomel melulu.” Violeta menelpon suaminya dengan suara yang lirih, ia tahu bahwa sang Ibunda kurang menyukai kehadiran suaminya yang ikut tinggal di rumah orang tua Violeta. Meski dirinya adalah anak perempuan paling bungsu, Violeta lebih membela suami daripada ibunya sendiri. Sebab dirinya memahami bahwa seorang anak perempuan yang sudah menikah, maka wajib menjaga wibawa suami di hadapan orang lain. Meski memang, mereka masih tinggal numpang selama beberapa tahun. Tiada harga diri di mata orang tua Violeta, membuat dirinya merasa jengah.             Mau tak mau, harus!             “Ya sudah, Mas lagi cari rumah kontrakan yang cocok buatmu sama anak-anak. Sabarlah,” suara dari sambungan telepon itu sejenak membuat hati Violeta meredam dari amarah yang tertahan di dalam dadanya.             “Oh ya, Mas…, tadi aku dapat iklan rumah kontrakan nih! Aku kirim di w******p aja ya fotonya, jadi nanti Mas bisa nelpon orangnya, terus diliat rumahnya. Bener nggak bagus kayak fotonya itu.” Violeta mengambil kembali kertas iklan rumah kontrakan yang sudah disimpannya ke dalam lemari.             “Ya sudah, Mas lagi kerja. Jangan sering nggangguin orang lagi kerja, nanti kalo ada apa-apa sama Mas, kamu juga yang repot.” Pesannya sebelum akhirnya panggilan itupun berakhir.             Tuut….tuutt…tuut…             Violeta cemberut, “Selalu ditutup tiba-tiba, hfft…,”             Dok…dok…dok…!             “Viii…!” panggil ibunya dari luar kamar.             “Ya, Bu!” bergegas ia pun merapikan tempat tidur yang sudah diporak-porandakkan kedua anaknya yang masih kecil-kecil. “Hssst, diam sebentar! Jangan berisik, nanti Mbah marah!”             Setelah semuanya terlihat rapi, baru ia membuka pintu kamar yang sengaja selalu dikunci dari dalam.             “Viii…, buka! Lama amat?” ucapnya sewot.             “Apa sih, Bu?” Violeta berlagak kesal dan capek.             “Kamu ini loh, kenapa pampers anakmu nggak kamu buang ke tempat sampah?! Mesti nunggu sampai numpuk, baru dibuang!” tegasnya sang Ibu yang marah besar pada Violeta. Belakangan memang ibundanya sering terlihat uring-uringan, seakan memberikan isyarat kalau beliau sudah tidak berkenan lagi menerima kehadiran suami Violeta. Apalagi karena anak Violeta sudah dua. Rumah yang ditumpanginya pun cepat kotor dan berantakan. “Aduh, Bu. Vi itu lupa, Vi sibuk urus anak-anak, dari pasar terus mandiin anak, lupaaaa!” tukas Violeta menahan sedalam mungkin emosinya yang hendak keluar. Kalau saja ia bisa dengan sigap membawa kabur anak-anaknya dan tak lagi kembali. Violeta akan memilih jalur ‘minggat’ saking lelahnya menghadapi kehidupan di dalam rumah orang tua yang berkesan monotun. Aku sudah nggak tahan, Ya Tuhan…, aku harus segera pindah! Kedua anaknya berlari mendekap dirinya yang tengah jatuh terduduk melemas. Mereka berdua, si sulung, Ruwi 3 tahun dan Rosi 1 tahun. * Malam hari,             Hai, Dik. Apa kabar?             -Borte-             Sebuah pesan singkat masuk ke dalam kotak pesannya. Violeta yang malam itu baru saja usai menunaikan tugas sebagai seorang ibu anak-anak merebahkan punggungnya di atas bantal untuk beristirahat. Ada pesan di gawainya yang baru saja masuk, ia pun lekas membukanya dan membaca isinya.             “Kak Borte, aku baik-baik saja.” Gumamnya dalam hati, sampai ia akhirnya membalas pesan tersebut.             Hai juga, aku baik-baik saja. Ada apa?             Malam hari itu pun Violeta disibukkan dengan berkirim pesan pada Borte. Borte adalah seorang kawan maya dari grup indigo di f******k pada tahun 2010 lalu. Dan di tahun ketiga perkenalan, keduanya pun bertemu. Violeta menganggap Borte seperti kakaknya sendiri, yang suka memberikan nasehat spiritual dan pandangan ke depan jika ia mendapatkan masalah dan ujian kehidupan. Borte seperti lampu penerang yang menerangi pikiran dan menyejukkan hati. Borte    :  Kalau kamu mau kontrak rumah, boleh saja. Tapi… Violeta  :  Tapi apa, Kak? Borte    : Aku takut kalau suamimu nanti melukaimu, dan tidak ada yang bisa menolong saat kau    membutuhkan bantuan. Violeta  :  Selama masih ada Kak Borte, dan tidak meninggalkanku. Meski jauh, Kakak pasti bisa menolongku. Borte    :  Dik, saya ingin bertemu kamu lagi. Violeta  :  Kak, aku sudah tidak bisa lagi keluar dengan bebas. Kak Borte kan bisa lihat aku dari jauh. Lihat saja dari jauh. Hihihi…,               Obrolan saling berkirim pesan pun harus ditutup tiba-tiba saat Violeta mendengar suara sepeda motor suaminya berhenti di depan rumah.             “Ah, Mas Sofyan pulang!” Violeta meletakkan gawainya di atas meja dan bergegas menemui sang suami. Violeta senang sekali mencium aroma badan suaminya sendiri, seperti mencium bau bunga anggrek kesukaannya.             “Assalamualaikum, kamu mesti lupa salam kalo Mas pulang,”                                                                                     *          Liliana kembali membaca ceritanya sendiri dan meras aneh, bagaimanapun kerasnya dia mencoba untuk menulis cerita misteri pun selalu tidak ada feel dan terkesan hambar. Ditekannya tombol CTRL+A lalu delete.         HIlang. Layar word itu pun kembali kosong.     
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD