BAB 15 Mereka Ingin Liliana Kembali ke Rumah Ini

977 Words
            Pak Sarjo resah melihat nasib Liliana yang sedang kebingungan. Harta terakhir yang dimilikinya adalah rumah lama yang sampai kini belum laku terjual. Sampai harga diturunkan pun tetap masih tidak laku-laku juga. Pak Sarjo menghubungi salah satu kerabatnya yang memiliki kelebihan indera keenam dan diminta untuk menemuinya keesokan harinya. Dan kalau perlu langsung menuju ke lokasi untuk sekaligus membersihkan rumahnya itu. Tiap sebulan sekali Pak Sarjo membersihkan rumah itu dari debu-debu dan dedaunan, hingga akhirnya termakan oleh kesibukan. Jadilah rumah itu tidak terawat sama sekali. Setelah menghubungi kerabat dekatnya yang bernama Raden Sukmajati, Pak Sarjo lalu menyusul ke rumah yang dituju.             Di video call mereka saling ngobrol.             “Ya, jadi saya mau rumah itu kembali terurus. Selakunyalah kalau sampeyan bisa ngelarisi nyariin pembeli, ya nanti saya kasih persenan gitu, Mas Raden,” Pak Sarjo sudah tak bisa berpikir lebih jauh. Baginya memikirkan Liliana lebih penting, dia tidak mau lagi Liliana terikat kontrak dengan CEO itu. Apalagi semenjak kejadian tadi malam di mana, Liliana bercerita bahwa dia telah dicium oleh Pak Ardhan dalam kondisi mabuk. Liliana diantar oleh Pak Ardhan yang sedang mabuk, sedangkan mobil dikemudikan oleh sopirnya sendiri.             “Saya lihat dulu bagaimana, nanti juga akan ada persiapan pembersihan dulu, Pak, kali banyak dedemitnya, maklum sudah lama tidak dihuni.”             “Ok, saya sedang meluncur ke sana. Tungguh saya.”                                                                                       *   Cerita masa kecil Liliana             Gadis kecil itu berdiri diam di sisi pintu kelas 1A.  Jam sekolah usai lebih awal lantaran guru kelas 1B ada rapat di luar. Jadi murid-murid dipulangkan dua jam sebelumnya. Gadis kecil itu tak suka ada acara dadakan, apalagi pulang lebih cepat. Sebab jarak antar rumah dan sekolahnya lumayan jauh untuk anak sekolah seumurannya-2,5 kilometer. Apalagi dia diantar pulang-pergi oleh si Babang beca. Pasti akan selalu tepat waktu, jemput ke rumah setengah jam sebelum jam masuk, dan jemput ke sekolah setengah jam sebelum jam pulang juga. Nama gadis kecil itu, Liliana. Usianya baru saja menginjak 7 tahun. Dan kini dia tengah berdiri sendirian di sisi pintu kelas 1a. Bola matanya mulai berkaca-kaca, tangisnya dialihkan dengan memain-mainkan sepatu hitamnya yang mungil. Sesekali dia beranjak turun ke bawah untuk bermain ayunan, sendirian. Semua teman-temannya sudah pulang. Murid kelas 1b hanya tinggal dirinya seorang. “Kok belum pulang, Nak?” celetuk guru kelas 1a yang baru saja keluar dari dalam kelas dan menepuk pundaknya.             “Nunggu jemputan, Bu.”             “OK, jangan pulang kalau belum dijemput ya?!”             Satu jam pun terlewati, kaki Liliana sudah mulai kesemutan. Entah datang dari mana, dirinya seakan mendapatkan keyakinan untuk memilih pulang sendiri. Sambil menahan tangis, gadis itu menundukkan kepalanya terus. Agar tidak ada yang tahu kalau dia sedang menangis. Jalan depan sekolah itu termasuk jalan besar, dan Liliana agak takut untuk menyeberang jalan. Seperti ada tepukan di pundak kanan memberikan rasa yakin agar dia mau terus berjalan. Seorang gadis kecil, tubuhnya kecil dan penakut akhirnya melanjutkan perjalanannya. Dia mulai belajar menghafal jalan tiap kali si Babang beca mengantarnya pulang. Melewati jembatan yang dibawahnya sungai kecil, konon kabarnya ada buaya penjaga sungai di bawah jembatan itu yang suka memakan anak kecil.         Liliana takut dan akhirnya berjalan di pinggir-pinggir saja tidak ke tengah, apalagi ada yang berlubang. Takut terperosok. Imajinasi gadis itu terlalu tinggi. Cerita-cerita dari kakak dan teman-temannya membuat nyalinya ciut di tengah perjalan. Tapi sekali lagi dia mendengar suatu bisikan di telinganya.         Terus saja, jangan takut.         Sebentar lagi sudah sampai ke rumah.         Ya, seorang gadis kecil duduk di bangku kelas 1 sekolah dasar. Tidak ada yang menjemputnya saat itu, dia benar-benar sendirian.         “Lili? Lilii pulang kok jalan kaki, Nak? Mana Babang beca?” Bu Lien, ibunda Liliana terkejut saat melihat anak perempuan paling kecilnya pulang ke rumah jalan kaki sambil menangis sesenggukan. Dipapahnya gadis kecil itu yang kelelahan berjalan kaki, dan tak henti-hentinya menangis.                                                                                      *         “Ya, saya masih ingat masa kecil Liliana dulu. Kau pernah bercerita kalau dia pernah pulang sendirian dari sekolah ke rumah dalam kondisi selamat,” Raden Sukmajati menyulut sebatang rokoknya selepas mereka baru saja tiba tepat di depan rumah lamanya. Lelaki yang disekitar kepalanya itu melingkar udeng batik khas Jawa sebagai wujud cinta tanah kelahiran sendiri yang tidak ingin meninggalkan kultur Jawa-nya. Dari luar dia mulai menerawang apa saja yang ada di dalam rumah tersebut, penghuni-penghuni gaibnya. Kedua tangannya mulai meraba-raba bak gaya seorang paranormal sakti sambil merapal mantera.       “Bagaimana?” Pak Sarjo bertambah penasaran meski agak-agak merinding.       “Hawanya panas, panas sekali,”       “Waduh, gawat kalau gitu ini, Mas. Ya sudah, kita balik pulang saja,”       “Tunggu, tunggu dulu,”       Pak Sarjo mengernyit heran, “Kenapa?”       “Saya sedang bicara dengan si pemilik keris gaib yang ada di dalam rumahmu ini. Penguasa tanah di rumah ini. Seorang… hemmm, huffft…,” Raden Sukmajati terbatuk-batuk, beberapa kali dia sempat bersendawa.       “Mas Raden baik-baik saja kan? Kita pulang saja, Mas. Kok jadi merinding ini, memang angker rumah ini,” bulu kuduk Pak Sarjo mulai berdiri semua. Tangannya gemetaran saat memegang kunci rumah itu.       “Tenang, tenang. Dia tidak jahat tapi dia menunggu seseorang yang dianggapnya bisa tinggal di rumah ini,”       “Siapa yang ditunggunya?”       “Putrimu sendiri, Liliana,”       Spontan Pak Sarjo terkaget-kaget sampai jatuh terduduk. Pikirannya sudah melayang ke mana-mana, apalagi mencatut nama anaknya.             “Tidak, tidak boleh. Saya tidak mau Liliana dijadikan tumbal rumah ini, Mas. Lebih baik rumah ini tidak laku dijual daripada saya harus mengganti dengan jiwa anak saya sendiri,” Pak Sarjo menangis.             “Bukan seperti itu, Pak Sarjo,”             “Lalu apa?”             “Mereka ingin bertemu dengan putrimu lagi, putrimu itu sudah pernah diajak mereka ke alam mereka.”             “Apa???!”                                                                                             *          Mata Liliana mendelik, syok bukan main selepas ayahnya memberitahu  kalau Liliana harus kembali tinggal di rumah lama yang sudah kosong bertahun-tahun itu. "Jadi, rumah itu sampai kapan pun tidak akan pernah laku dijual, Nak..." Pak Sarjo menahan air matanya yang jauh sebelum dirinya mengutaralan hal itu                                                                                        
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD