BAB 16 Perjalanan Menuju Padepokan

1481 Words
Terminal bus Maospati, Magetan             Liliana tertidur di dalam bus. Tanpa terasa perjalanan selama beberapa jam itu membuat matanya tak dapat menahan rasa kantuk yang luar biasa. Demi perjuangan akan nasib karirnya, Liliana harus mengunjungi Padepokan yang sudah direferensikan oleh Cleon, di mana nantinya dia akan mendapatkan pelajaran yang banyak di sana. Hawa dingin AC bus membuat matanya terkantuk-kantuk. Seperti biasa dia memulai perjalanannya ke alam mimpi dan terbang pada cerita masa lalunya.             “Kemarilah, Nak…” panggilnya saat itu. Seketika langkah kaki Liliana pun bertambah semakin cepat dan sampai ke tujuan. Kakek berbaju putih itu, dengan seraut wajah tanpa ekspresi dan kulitnya yang berwarna putih pucat mempersilahkan Liliana mengambil posisi duduk di sampingnya.             Liliana, gadis kecil yang masih berusia 8 tahun itu dilihat oleh semua penghuni gubuk-gubuk lain dan yang ada di sekitaran si Kakek. Mereka semua terlihat menyukai Liliana dan merasa gemas lantaran gadis kecil itu sangat lucu. Liliana duduk di samping si Kakek berbaju putih dan Kakek itu pun menatap diri Liliana.             “Kakek siapa?” satu pertanyaan dengan muka polosnya gadis kecil itu bertanya pada si Kakek.             “Kakek adalah penjagamu,”             “Penjagaku?”             “Ya, Kakek akan selalu mengikutimu ke mana pun kau pergi, dan menjagamu.”             “Ini di mana?”             “Ini adalah Sanggar Jati Panengkep, dan ini adalah istana gaib di dalam rumahmu.” Ucap si Kakek itu terakhir kali sebelum akhirnya, semua lenyap dari pandangan Liliana  Dan dia pun juga terbangun dari tidur siangnya.   Liliana membuka mata lalu mengucek-ucek matanya lagi. Tersadar dari mimpi membuat pikirannya agak kalut. Bagaimana bisa ingatan itu kembali datang tiba-tiba saat dirinya tertidur? Liliana membuka tas dan mengambil sebuah buku diary masa remajanya saat dia berusia 18 tahun. Buku diary yang menyimpan kenangan terburuknya dan tak akan pernah dia lupakan. Gemetar tangannya saat hendak membuka kunci diary yang sudah sekian lama tidak pernah dibukanya. Seakan-akan ada sesuatu hal yang menariknya, memintanya untuk membuka.                 Ayo dibuka, ayo dibuka, buka Liliana!   Malam itu terasa berbeda dari malam-malam sebelumnya. Meski seperti biasa semua lampu akan dimatikan tepat pukul 9 malam. Dan aku mendengarkan radio EBS FM kesukaanku, menunggu si penyiar, Fahmi EBS on line.   Namun, aku terjebak pada sebuah suasana aneh. Antara terjaga dan tidak, di tempat yang sama. Aku tidak sedang bermimpi karena aku ada di tempat yang sama. Berbaring di tempat tidurku sendirian. Aku melihat sesosok nenek-nenek berpakaian putih berjalan melayang masuk ke dalam kamar dan naik perlahan ke atas dipan. Kemudian dia merebahkan dirinya di samping kiriku. Dengan tangan kanannya ditekankan ke leherku. Aku sesak napas tiba-tiba, terkejut. Tak mampu untuk bergerak sama sekali. Aku berteriak, berdzikir menyebut asma Allah.   “Allahu..akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar!!!” kalimat terakhir itu melepaskan cengkramanya dari kakiku. Tepat di saat itu, aku merasa keningku ditepuk-tepuk keras oleh Ayah yang menyebut-nyebut namaku.   “Hei, bangun! Bangun!” kata Ayah mengejutkanku.   Oh, kenapa aku? Siapa mereka? Aku tindihan? Aku merasa itu sangat-sangat nyata sekali.   “Jam berapa ini, Ayah?”   “Jam 4 pagi,” Aku mengucek mataku, ini sudah shubuh. Jadi tadi aku tindihan jam berapa? Itu nyata tapi kok seperti di film horor suasananya. Menyatu tapi berbeda waktu. Apakah sebenarnya roh-ku saja yang masuk ke dunia setan? Dalam posisi yang sama persis. Kepalaku terasa pusing sampai tidak bisa tidur lagi.               Liliana menutup buku diary dan bergumam, “Seram, haruskah aku bercerita tentang diriku sendiri?”                 Tanpa terasa perjalanan dari Kota Surabaya menuju Kota Magetan sudah sampai. Liliana beranjak dari kursi dan bersiap-siap turun dari dalam bus. Banyak sekali penumpang yang berdesak-desakan tidak mau mengantri saat hendak turun sempat membuat Liliana kepayahan dan terdorong ke depan dan belakang.             Saat dirinya baru saja turun dari dalam bus ternyata beberapa driver  berjejer menawarinya jasa antar ke tempat tujuan. Sudah sampai, batinnya dalam hati lega. Dia pun mengirim pesan pada Kaka Tirta kalau sudah sampai di Terminal bus, dan akan segera meluncur ke alamat Padepokannya.             “Hmm, enaknya nih, langsung atau pake acara jalan-jalan dulu ya?” Liliana melewati barisan para driver dan malah memilih barisan Babang beca yang tersenyum ramah padanya.             “Beca, Ning…” begitu sapa mereka. Liliana memilih satu beca yang akan dinaikinya, saat itu dia merasa suka dengan Babang beca yang mengingatkannya akan kisah masa kecilnya yang selalu diantar jemput Babang beca. Memoar masa lalu pun sekejap kembali teringat.             “Ke Padepokan Meditasi Tunggal, Pak.”             “Ke Padepokan mau berguru, Ning?”             “Enggak, Pak…” Liliana masuk ke dalam beca dan meletakkan koper juga kardus berisi buku di sampingnya.             “Mau ngapain ke Padepokan, Ning?”             “Mau ketemu teman saya, Pak…”             “Padepokan di sini banyak, Ning. Biasanya buat yang mau belajar liat gaib-gaib disitu tempatnya, Ning…”             “Ah, saya nggak berani liat gaib-gaib, Pak,” Liliana melihat ke sekitar pasar dekat Terminal. Di samping terminal itu adalah Pasar Maospati 2, yang sering disebut sebagai Pasar Sayur karena menjual beraneka ragam sayuran segar dan dagangan lainnya. “rame banget ya, Pak…”             “Iya, Ning. Tiap hari ya kayak gini memang. Barang yang dibawa sama Ning kok berat banget kelihatannya,”             “Iya, Pak, ini buku.”             “Ning kayaknya terpelajar ya?”             “Nggak juga, Pak,” Liliana singkat menjawab sambil pandangannya berkelilin g ke sekitar. Tiba-tiba dia melihat keramaian di sisi kiri pasar yang dekat dengan Padepokan kecil. Padepokan lain yang letaknya paling ujung dan terlihat ramai. “Pak, Pak! Berhenti di sini saja, Pak!” pinta Liliana pada si Babang beca.             “Padepokannya Ning kan masih agak jauh ke sana,”             “Turun sini dululah, saya juga mau beli kue-kue dulu,” Liliana bersiap-siap turun dari becak dan ingin tahu ada apa dengan keramaian di sana. Liliana berdiri di depan pintu gerbang Padepokan selain Padepokan Meditasi Tunggal milik Kaka Tirta. Tampak di depan pintu itu ada tiga orang laki-laki yang sedang membuka lapak. Liliana membaca papan nama di meja bukalapak itu yang bertuliskan, 'Jasa sket gaib khodam' “Wah, khodam?”                                                                                                 *              “Jadi, apa yang kalian lihat?” Liliana mencoba untuk menyamakan hasil dengan apa yang kapan lalu dibaca oleh Bernard saat bersama dengan Cleon. Dia satu diantara tiga lelaki yang ada di depannya itu terlihat sibuk dengan gambarnya dan tidak mau menjawab apapun sebelum tugas menggambarnya selesai. Ketiga-tiganya diam membuat Liliana makin deg-degan saja.             Dan kemudian, selesai.             “Ya, ini gambar sket kakek penjaganya Mbak,” selelaki berkaos biru dan rambutnya agak gondrong itu menyodorkan selembar kertas yang sudah tergambar sketsa pensil.             Liliana melihat gambar sketsa itu dan terkejut, karena seraut wajah si Kakek itu sangat mirip dengan apa yang pernah dilihatnya dalam mimpi ataupun nyata.             “Sa…sama, Kakek ini ada bersamaku sekarang?” Liliana menoleh ke sekitar dengan tatapan wajah riangnya. “Berapa jasa sket ini?”             “Seratus ribu saja, Mbak,”             “Oh ya, sebentar,” Liliana mengambil dompet dan mengeluarkan selembar uang seratus ribu pada si lelaki berkaos biru.             “Kakeknya ada di dekat Mbak terus kok, jangan khawatir,” kenalin nama saya Aden Gendeng, biasa dipanggil Mas Aden,” lelaki yang memperkenalkan dirinya bernama Aden itu menyodorkan tangannya pada Liliana.             “Oh ya, Mas Aden terima kasih sketsanya,” Liliana beranjak dari kursi dan bersiap-siap kembali melanjutkan perjalanan.             “Sebenarnya Mbak Lili ini mau ke mana? Kenalin dulu, nama saya Bayu dan ini Djani,” Bayu menggosok-gosok rambutnya dan menarik si Djani di dekatnya. “Djani ini masih single, Mbak. Hehehe,” candanya lalu tertawa.             “Saya mau ke Padepokannya teman,”             “Di mana?”             “Padepokan Meditasi Tunggal, kalian pernah tahu?”             Aden, Bayu dan Djani saling melirik satu sama lain seolah tahu sesuatu tentang nama Padepokan tersebut.             “Kurang tau Mbak,” jawab Aden singkat.             “Kenapa Mbak nggak ikutan aja jadi anggota di Padepokan kami ini? Kami juga punya Padepokan loh,”             Liliana terpesona, “Wah, keren!”             “Iya, kapan-kapan Mbak Lili main ke sini yah,” Bayu seakan tertarik berkenalan dengan Liliana. “boleh minta nomor whatsappnya?”             Begitu mendengar gelagat genit si Bayu, Aden dan Djani menjitak kepala Bayu. “Dasar kamu, Yu! Modus!”             “Wadow, sakit tau!” Bayu mengelus-elus kepalanya.             Rupanya kekompakan mereka bertiga menarik hati Liliana. Seakan terkena tarikan magnet dari ketiganya.             “Kalian nyenengin banget, ini nomor whatsappku.” Liliana menyodorkan kartu namanya yang berjumlah tiga lembar untuk ketiganya.             “Wah, mantap. Kita dikasih kartu nama nih! Mbak pasti orang beken ya?” celetuk Bayu kegirangan.             “Bukan sih, tapi memang suka bawa kartu nama gitu aja, ya sudah pamit dulu ya!” Liliana berbalik badan dan melambaikan tangan pada ketiganya sebelum naik ke atas becak lagi.             “Kek, jaga dia untukku ya!” pekik Bayu saat becak itu berbalik melaju ke depan meninggalkan ketiganya.             Liliana yang mendengarnya meringis saja melihat gelagat ketiga orang yang kocak saling jitak-menjitak kepala. Kemudian dia beralih melihat gambar sketsa itu lagi, menatap seraut wajah lelaki tua yang tanpa ekspresi dan senyum sama sekali. *                                                                                                                                                                                                                                                                                                  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD