BAB 44 Cerita Tentang Venus

2140 Words
  “Saat itu aku tengah mencarimu Dalam kegelapan, Aku mencarimu dalam keheningan, Saat itu aku… Merasa tidak mengetahui apapun tentang diriMu, Namun entah, kekuatan ini datang dari mana, Sampai aku berusaha untuk tetap, Mempertahankanmu.”   [Venus Allisandra]                                                                                                 *             Venus tenggelam ke dalam berbagai macam buku-buku tebalnya yang berserakan di atas meja. Buku sejarah tentang kerajaan-kerajaan di seluruh dunia, bahkan sampai pada buku keagamaan. Ia menaikkan kacamatanya yang mulai turun dan pandangannya terfokus pada satu gambar museum di salah satu negara Italia, Roma. Museum Vatican, sebuah museum kuno bersejarah. Ia mendapat tugas rangkuman dari dosen sejarahnya dan dikumpulkan esok pagi di jam pertama.             ‘Empat abad dalam perlindungan dan kesalehan para Paus telah menjadikan Vatican sebagai tempat terkumpulnya karya seni klasik, termasuk karya seni bergaya renaissance. Rumah-rumah atau gereja-gereja dengan banyak temuan arkeologi yang mengagumkan ditemukan dipusat  kota Italia termasuk kumpulan patung Laocoon dan Aollo del belvedere.’             Venus menorehkan stabilo kuning untuk menggarisbawahi kalimat itu. Sebelum ia meneruskan tugasnya, gadis berambut ikal itu beranjak dari kursi dan mengambil segelas air mineral. Rasa dahaga yang tak tertahankan, meski hanya sekadar duduk saja di atas kursi belajar dengan diiringi lantunan musik instrumental. Pun membuat tubuhnya mengalami dehidrasi. Venus meletakkan gelas kosong itu dan kembali duduk. Namun sebelumnya ia ingin berselancar ke dunia maya. Menjelajahi f******k, dan juga ** untuk menghilangkan rasa penatnya pada tugas-tugas yang menumpuk dan tidak tahu kapan selesainya.             Venus melepas kacamatanya sejenak sebelum akhirnya ia pakai kembali. Matanya sudah melewati minus empat. Jika tidak mengenakan kacamata, tulisan apapun tidak bisa dibacanya. Dan baru saja ia membuka **, tetiba di dalam berandanya memperlihatkan sesuatu. Sesuatu yang terlihat indah namun perih di dalam hati.             Venus menghela nafas pelan, “Huah, apaan ini? Bikin pening.” Ia pun hendak menurunkan ke bawah dan melihat penampakan foto-foto lainnya. Akan tetapi yang terjadi malah sebaliknya, jemarinya seakan bergerak sendiri dan menggeser foto-foto selanjutnya. Semakin panas hati saat ia melihat jejeran foto pre-wedding bertebaran.             “Jadi, kau sudah mau merried ya, Frans.” Tetiba kepalanya menunduk lemas, diikuti oleh punggung, tangan dan kaki.             Salah dirinya jika ia akan merasa terhibur setelah membuka instagramnya. Ya, salah jika ia mengira demikian. Seharusnya tidak. Sakit.                                                                                    * Kampong Glam Café, Singapura, Maret 2016             Frans menyeruput segelas minuman ‘Horlicks Cinno’ yang baru saja tersaji di depannya. Kemudian ia menatap seraut wajah ayu sang kekasih yang masih sibuk bermain dengan gawainya.             “Venus, taruh ponselmu, minumlah dulu,” ujar Frans menepuk pundak Venus. Namun gadis itu masih saj asyik dengan gawainya yang telah mencuri waktu berdua dengannya. “Venus,” panggilnya sekali lagi lalu berdehem.             “Ya, dikit lagi nih! Aku lagi ngobrol di grup sama temen-temen,” Venus menyibakkan rambutnya dan melirik sedetik pada Frans sambil menyunggingkan senyum tipisnya.             “Venus, aku mau ngomong serius sama kamu,” Frans menarik lengan Venus dan memintanya untuk menatap matanya.             “Fraans…,” sahutnya manja.             “Venus, aku mau ngomong tentang urusan cinta kita, jangan anggap ini bercanda!” Frans menaikkan sedikit volume suaranya.             Venus melirik ke sekitar dan melihat beberapa orang tengah menatapnya diam. Daripada malu, gadis itu pun meletakkan gawainya dan menyeruput segelas ‘Neslo Cinno’.  Kembali ia menundukkan wajahnya, bukan untuk memainkan gawai, tapi seperti biasa jika ia sedang duduk berdua dan mengawali pembicaraan. Venus merasa gagu. Ia tahu apa yang akan dibicarakan Frans pada dirinya. Sebab Venus memiliki kelebihan membaca hati seseorang tanpa ia harus mendengar langsung sebelum diucapkan. Hanya dirinya yang mengetahui, ia tidak pernah menceritakan hal itu pada siapapun.             [Venus, aku sayang kamu. Tapi, kamu mau nggak pindah agama biar kita bisa menikah?]             Venus berpaling muka, namun Frans menahannya.             “Venus,”             “Aku nggak mau,”             “Nggak mau apa?” Frans mengernyitkan alis.             “Tuhan itu satu, aku nggak mau menggantinya dengan apapun.” Venus beranjak dari kursi dan mengambil tasnya, lalu ia berdiri di depan Frans dan melanjutkan kata-katanya, “aku lebih baik kehilangan dirimu, daripada aku kehilangan Tuhanku.”             “Venus? Venus!” Frans beranjak dari kursi dan menarik lengan Venus seraya menahannya pergi. “Kau bilang apa? Aku belum ngomong apa-apa!”             “Aku tahu semuanya, aku tahu bahkan sebelum kita bertemu.”             “Kau, aneh. Kamu lagi sakit?”             Venus menggelengkan kepala, “Aku nggak sakit apa-apa, aku sehat, Frans!”             “Venus, kita menikah.”             Mendadak Venus terdiam melongo menatap wajah Frans yang menampakkan mimik serius.             “Menikah?”             Hati siapa yang tidak berbunga-bunga mendengar pernyataan itu. Bahkan semisal itu Puteri Cinderella yang dipinang oleh seorang Pangeran tampan yang datang dari kerajaan.             “Kalau kamu uda tau apa yang bakal aku omongin ke kamu, kalau gitu, ayo kita menikah,” Frans merangkul Venus erat. “aku nggak mau kehilangan kamu, Venus.”             “Tapi, Frans. Mana bisa?”             “Kalau tidak bisa, aku akan membawamu lari,”             “Apa?”             “Ya, kita kawin lari.”                                                                                                 *  Kampus Universitas Indonesia             Jam mata kuliah Sejarah pun dimulai, semua mahasiswa telah mengumpulkan tugasnya masing-masing pada dosennya yang bernama Profesor Slamet Widodo. Venus duduk di kursi paling belakang karena ia sedang tidak fokus belajar. Ia hanya mendengarkan saja Profesor Slamet berbicara di depan kelas.             “Baik, kita sampai pada bab di mana sejarah menjadikan kita lebih berilmu. Banyak kian orang melupakan sejarah karena merasa malas untuk mengenang masa lalu. Ingatlah bahwa kisah cinta kalian pun pasti ada sejarahnya, sejarah adalah kenangan. Peninggalan memori silam yang dapat kita pelajari. Pun seperti mengenang kisah mantan-lah misalnya, seperti itu rasanya.” Tukas Profesor Slamet yang tengah memperhatikan Venus sedang melamun dan tatapannya kosong, tidak mengarah ke depan.             Terdengar suara gelak tawa yang memecah ruangan, dan membangunkan Venus dari lamunan kosongnya.             “Hahaha! Cieee…mantan!” teriak beberapa mahasiswa yang saling berceletuk satu sama lain.             Venus menoleh ke samping dan bertanya pada teman sebelahnya, “Ada apa sih, Lan? Kok pada ketawa ngikik semua gitu?” Venus mengernyitkan alisnya sampai terlihat menyatu.             Alaina Faqod, panggilannya Lana pun menjawab singkat, “Tau tuh! Profesor lagi kangen sama mantannya kaleee!” ujarnya geli.             “Pssst! Diem dulu deh!” sahut teman yang duduk tepat di depan Venus sambil meletakkannya jari telunjuk di depan bibirnya.             “Mantan?”             Perlahan Profesor Slamet berjalan ke belakang dan berdiri tepat di samping Venus, seolah memberikan kode bahwa dirinyalah yang sedang diperbincangkan.             Venus mendongakkan wajahnya ke atas dan menghadap kepada Profesor Slamet, ia memejamkan mata sedetik untuk membuka pintu batinnya agar dapat membaca isi hati Profesor itu.             [Dasar mahasiswi tukang ngelamun, mikirin mantan ya?]             Merasa terkejut dirinya saat mendengar ocehan hati Sang Profesor pada dirinya. Gadis itu pun tersenyum kecut dan mengalihkan pandangan ke depan.             Darimana Profesor tau aku lagi mikir sang Mantan sih?!             Sekejap itu pula ia menutup kembali pintu membaca isi hati orang lain dan berusaha untuk kembali fokus ke depan. Jika ia membuka pintu batinnya, bisa kacau pikirannya saat itu juga. Paling parahnya, Venus akan berteriak sendiri di dalam kelas karena mendengar isi hati semua orang yang ada di sekitarnya.             Kosong. Kosong. Fokus!             Dan mata kuliah pun dimulai. Ia mengusir rasa galaunya dengan membuang jauh-jauh pikirannya tentang Frans. Lagipula, semua berakhir karena keputusannya untuk apa disesali. Venus  melirik ke arah jam dinding, masih pukul sepuluh pagi. Satu jam lagi selesai mata kuliah sejarah dan waktunya pergi ke perpustakaan. Ia ingin meminjam satu buku tentang perjalanan travel ke Eropa. Tugasnya masih belum selesai. Venus menoleh ke samping dan menulis obrolan di atas kertas lalu diberikan pada Alaina alias Lana.             “Nanti kamu ikut nggak?” [Venus]             “Ke mana?” [Lana]             “Perpus,” [Venus]             “Boleh-boleh, sambil liat Shakr?” [Lana]             ‘Heh, Shakr?” [Venus]             “Iya, itu petugas perpus baru yang kece, cakep lagi, hihihi…” [Lana]             Venus menyunggingkan senyum tipis dan mengakhiri obrolan dan kembali fokus mendengarkan Profesor Slamet sedang asyik menerangkan tentang kota Romawi kuno beserta dengan segala peninggalan bersejarahnya.             Roma, suatu hari aku akan ke sana.             Bersamamu, Frans? Seperti janjimu?             Oh tidak, kita sudah berpisah. Seperti Romeo dan Juliet.                                                                                         * Bandara Juanda Surabaya       Liliana mendapat pesan dari sahabat lamanya, sahabat saat masih duduk di bangku SMP bahwa dia akan tiba siang hari itu dan sedang mencari rumah tinggal untuk sementara. Kebetulan saat itu Liliana yang selalu up date melihat story Venus menawarkannya untuk tinggal di rumah lamanya itu. Meski yang baru dipersiapkan baru satu tempat tidur dan kursi tamu saja. Venus senang sekali mendapat hunian sementara secara gratis apalagi saat itu dia sedang ada urusan selama satu hingga dua bulan lamanya. Pun apalagi agar rumah yang sudah dibersihkan itu tidak kosong. Dan Venus terbiasa tinggal sendirian, jadi mau-mau saja diberi tawaran Liliana untuk menghuninya sampai urusan pekerjaan selesai dan kembali ke Jakarta lagi.       |Aku sudah sampai, Lil.                                                                 |OK. Aku sudah di luar di area jemputan. Aku pakai baju ini…                                                             [Send  a pict]             |OK. I’m on there                         Liliana merapat di kaca jendela tempat area jemputan agar dapat terlihat oleh Venus. Dia melambai-lambaikan tangannya saat sosok yang dinantinya itu sudah tiba. Dengan penampilan baju kasual kaos oblong berwarna biru yang di tengah-tengahnya ada gambar kartun Disney sablonan dipadankan dengan celana jeans belel dan sepatu ketsnya. Penampilan si Venus yang sekarang berubah menjadi tomboy jauh berbeda dengan yang dulu sebelum mengalami patah hati yang luar biasa.             “””””””””””””Oi, Venus! Venus!!!” Liliana melambaikan tangan sambil berjingkat.             Venus balik menyapa lambaian tangan Liliana dan berlari menuju ke arahnya lalu memeluk erat Liliana.             “Hoi, Hoi, gimana kabar loi! Hihi, seneng banget ketemu lo…!” Venus menepuk kepala Liliana sebagai tanda selamat datangnya.             “Ih, nggak pake nepuk kepala bisa nggak sih?” Liliana manyun sambil sambil mengelus kepalanya.             “Lo itu kayak nggak kenal gue aja sih,” jawabnya santai dan keluar dari bandara naik ke mobil taksi pesanan Liliana.             “Kita langsung ke rumah ya, kamu yakin berani sendirian?”             “Yakin, bukan Venus namanya kalau nggak yakin,” ungkapnya percaya diri.             “Kalau gitu gini aja, semalam aku temenin ya. Kasian kamunya baru datang nanti bingung di situ cuma ada kasur, tivi sama sofa doang,” Liliana merasa tidak enak meski hatinya pun agak terasa was-was.             “Okelah kalo begitu,”            “Eh, tapi…,”             “Tapi apa?”             “Kamu pernah tinggal di rumah angker belum?” Liliana mencoba untuk memancing pembicaraan ke arah tersebut sebelum benar-benar sampai di rumah lamanya.             “Pernahlah, bahkan gue sering melihat hantu sejak kecil. Jadi gue udah biasa itu,” ungkap si Venus, wanita itu mengambil dua batang cokelat dari dalam tasnya.             “Wah, keren kalo gitu,”             “Kenapa? Rumah lo angker?”             “E..enggak juga sih,”             “Terus ngapain nanya?”             “Yaa, pengen tau aja gitu,”             “Tenang aja, kalau ada Allah di dalam hatimu. Percayalah, lo nggak akan pernah merasa takut apapun. Dan juga, gue ada yang njagain. Siapapun orang yang hendak nyakitin gue, akan lari terbirit-b***t. Begitupula dengan jin jahat atau siluman lainnya,” beber Venus yang kemudian melengos menatap ke arah jendela. Hari itu hujan turun , gerimis mengundang. Bulir-bulir air jatuh merembes ke kaca jendela. Venus membenci hujan, tiap hujan datang dia selalu bersedih.             “Wah, aku bersyukur ketemu kamu hari ini. Karena rumah itu rencananya akan kutinggali lagi bulan depan bersama dengan orang tuaku. Jadi dua bulan masih kosong, eh semoga kamu bisa lebih lama deh tinggal di sana,” Liliana tak melihat kala itu kalau si Venus sedang bersimbah air mata dan sibuk membalas pesan teman-temannya yang masuk ke nomor w******p-nya. Kusangkakan panas berpanjangan Rupanya gerimis, rupanya gerimis Mengundang a-ha-ha-ah Dalam tak sedar 'ku kebasahan Pernah juga kau pinta perpisahan Aku sangkakan itu hanyalah Gurauan a-ha-ha-ah Nyata kau serius dalam senyuman                                                                                             *            Dear diary, Aku ingin engkau menjadi saksi bisu atas segala hal yang terjadi. Hingga akhir masaku nanti, catatan inilah yang akan bercerita pada dunia. Atas apa yang terjadi padaku dan semua yang ada di sekitar. Hari ini aku menjemput Venus dan ini pertama kalinya aku bermalam bersama dia di rumah. Sebenarnya, meski tim pemburu hantu itu sudah menetralisir semua. Tapi aku masih agak meragukan bahwa apa benar tak akan kembali? Sebab semenjak di perjalanan tadi, degup jantungku terasa kencang sekali. Aku merasa was-was kalau-kalau sesuatu yang lebih mengerikan daripada ini akan terjadi. Oh ya, aku di malam itu setelah rumah ini dibersihkan. Aku melihat sosok Kakek gaib itu tengah duduk bersemedi. Dia marah, yah… kau tahu menahan rasa kesal di d**a. Aku mencoba untuk mengingat-ingat kata-kata itu bahwa ‘dia benar-benar marah’ karena bukan aku yang turun tangan malah orang lain. Dan kini, ada Venus di sampingku. Dia… duduk di atas kasur kamar yang akan kutempati nanti. Tidak ada reaksi apapun atas dirinya, meski mungkin dia agak merasa tapi tak dirasa.             Diary, aku mencatat ini semua untuk menumpahkan semua rasa kegalauanku. Dan juga sebagai catatan untuk Pak Ardhan atas apa yang kurasakan selama ini. Aku hanya bisa bercerita dalam bentuk diary. Keanehan-keanehan tanpa ujung. *                                                                                                                                                                                                                                                                                             
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD