BAB 45 Saat Jatuh di Pangkuan Vindy

2051 Words
Ruang rapat             Semua peserta yang hadir di ruang rapat berjumlah 9 orang terlihat serius mendengar seruan sang CEO untuk mengganti posisi Liliana yang kosong. Mimik muka serius Pak Ardhan membuat semua karyawan yang hadir tak berani memotong pembicaraan sebelum CEO selesai berbicara.             “Jadi, saya akan mengganti Liliana dengan Vindy. Karena jadwal Liliana mundur sampai waktu yang belum ditentukan. Maka Vindy akan masuk dengan menghadirkan novelnya yang terbaru. Bagaimana menurut kalian?” tanya Pak Ardhan memberikan usul.             “Boleh juga, Pak,” sahut Toni sambil manggut-manggut.             “Lalu, rencana kemarin untuk menaikkan lagi pamor Liliana bagaimana? Kalau kita up dua-duanya, budget juga jadi dobel dan itu memboroskan pengeluaran. Lebih baik fokus satu saja,” sambung si Demy memberikan pendapatnya.             “Yaaa, kalau begitu Vindy dulu saja. Liliana nanti kalau dia sudah sembuh saja,” jawab Pak Ardhan memutuskan.             “Untuk tema novelnya?” Ibrahim menyambung pertanyaan.             “Pakai yang tema kemarin, dan itu… tolong bikin yang bagus-bagus sekali,” tuturnya sebelum mengakhiri rapat. Gawainya terus berbunyi, sampai akhirnya panggilan itu dijawab juga. “Liliana?” Pak Ardhan memberikan isyarat bubar untuk pengadaan acara rapatnya dan berjalan keluar ruangan rapat menuju meja kerjanya. Sementara kesembilan karyawannya masih tinggal di ruang rapat untuk kembali berdiskusi masalah penggantian posisi tersebut.             Di dalam panggilan video call, Liliana melemparkan senyum rindu dengan tatapan sedihnya lantaran Pak Ardhan sudah dilarang untuk menemuinya.             “Pak, gimana kabar?”             “Seperti kau lihat, Lili. Kau harus istirahat penuh ya, jangan lagi memikirkan novel-novelmu,” lelaki berkemaja hijau itu merebahkan dirinya ke punggung kursi.             “Iya, Pak. Tapi sekarang saya sudah di rumah ini,”             “Rumah ini maksudnya?”             “Ya, rumah yang lama kosong ini, Pak…”             Pak Ardhan terkesiap kaget sampai bangkit dari kursi. “Rumahmu yang kosong itukah?”             “Iya,”             “Bu… bukannya di sana banyak goib-goibnya?”             Liliana menggeleng, “Mereka sudah dimusiumkan, Pak…,”             Alis Pak Ardhan mengernyit, “Maksudnya?”             “Sudah dinetralisir semua, Pak. Jadi aman,”             “Kamu sama siapa di sana?”             “Sama temenku, dia nginap di sini. Sementara Ayah mengemas barang-barang pindahan, temanku nginap di sini selama dua bulan,”             “Temenmu? Cewek apa cowok?”             “Ya, ceweklah,”             “Eh, Lili,”             “Ya,”             “Boleh aku ke sana?”             “Apa?”                                                                                     *              Mobil Luxio hitam milik Pak Ardhan terparkir di depan rumah Liliana. Ya, lelaki itu memutuskan untuk bertandang ke rumah Liliana untuk menemuinya. Meski sudah ada larangan pun tetap saja dilanggar, semua karena perihal rasa rindu yang membuncah. Tak peduli tai kucing rasa cokelat.             Mereka duduk di sofa, Pak Ardhan mencoba untuk mendekati Liliana. Sementara Venus yang masih lelah memilih untuk tidur di dalam kamarnya.             Pak Ardhan menatap lekat-lekat mata Liliana. “Dengarkan, tolong kamu sentuh dadaku sekarang,” pintanya memelas.             “Kenapa, Pak?”             “Degupnya bagaimana? Kencang atau pelan?”             Liliana meletakkan telapak tangannya ke d**a kiri lelaki itu, yang sepertinya makin lama jaraknya makin dekat saja.             “Ke…kencang, Pak,” buru-buru dilepasnya tangan yang melekat di d**a Pak Ardhan.             “Aku kangen banget sama kamu,” bisiknya pelan. Saat itu pintu rumah ditutup oleh Pak Ardhan, dan memang sepertinya lelaki itu sedang berhasrat padanya.             Liliana makin lama makin menjauh dan berhenti di ujung sofa, dia mencoba untuk berdiri dan menempelkan bibirnya ke pipi Liliana.             “Eh, Pak. Jangan, jangan,” elak Liliana.             “Aku kangen kamu, Lili,” secepat kilat bibir lelaki itu menempel di bibir Liliana dan mengecupnya pelan.             “Pak, jangan,”             “Lili, aku ingin menciummu,”             “Jangan, Pak. Tidak boleh,”             Tapi bibir itu makin lama makin melumat saja bibir Liliana yang kering, “aku basahi bibirmu dengan bibirku,”             Secepat kilat itu pula, tamparan mendarat ke pipi Pak Ardhan dengan keras.             PLAK!             “Hentikan, Pak!”             Pak Ardhan terkesiap kaget dan menyentuh pipinya, “Lili!” dipeluknya erat tubuh Liliana dan dia menciumnya habis-habisan. Dari bibir, pipi, mata, kening dan lehernya. Liliana yang terpojok saat itu tidak bisa berkutik dan melepas diri. Sungguh, tubuh kekar Pak Ardhan itu membuat dirinya seperti terikat kuat. Bak seekor ular yang melilit tubuh si kelinci. Semakin Liliana berusaha untuk memberontak, semakin eratlah pelukan Pak Ardhan. Hingga sampai kancing baju Liliana terbuka satu oleh tangan usil Pak Ardhan itu. Pada saat Liliana tak bisa berbuat apapun lagi. Tiba-tiba dia melihat si Venus membawa panci kosong dan dipukulkan ke kepala Pak Ardhan dengan keras sekali.             TANG!!!             “Pemerkosa! Pemerkosa!!!” pekiknya keras sambil memukulkan panci itu berkali-kali. Pak Ardhan yang kaget dan kesakitan pun spontan berhenti dan melindungi kepala.             “Hentikan! Stop! Saya bosnya, saya bosnya dia!” elak Pak Ardhan melindungi wajah juga kepala dengan tangannya.             “Bos? Bos apa main perkosa-perkosa gitu? Bos c***l!!!” seru Venus geram dan menarik kerah kemeja Pak Ardhan.             “Hei, beraninya kau?!”             “Mau kulaporkan polisi?”             Pak Ardhan menarik lengan Venus, “Siapa kau beraninya berbuat ini, lapor polisi? Saya kenal mereka, mau apa?!”             “Stop! Stop!!!” Liliana berusaha untuk melerai. “Venus, dia memang bosku.”             “Bosmu?”             “Iya,”             “Dia mau memperkosamu tadi,”             “Ti..tidak, kau salah mengerti, Venus,”             “Aku bermaksud menolongmu, tapi kenapa kamu malah bela dia?” Venus tak habis pikir.             “Venus, dia cuma khilaf,”             “Oh, berarti tadi aku mengganggu kalian. Teruskan saja, aku pergi dari sini,” Venus berbalik badan dan masuk ke dalam kamar. Dia ambil tasnya yang belum sempat dikeluarkan isinya lalu mengenakan jaket dan keluar kamar lagi untuk berpamitan dengan Liliana. Liliana mengejar Venus dan berusaha menahan lajunya keluar dari rumah.             “Venus,”             “Lepasin, aku cari kos-kosan dulu aja, aku tidak mau mengganggu kesenangan kalian berdua. Aku pergi,” lanjutnya lalu membuka pagar dan dan melangkah keluar.             Liliana terus mengejarnya, “Venus, tapi aku takut sendirian!”             “Ada dia, kenapa tidak bermalam saja?”             “Kau sinting, Venus. Dia bosku,”             “Diminta menjaga kan mau juga,” Venus memanggil Gojek yang sudah dipesan dan berhenti di depan rumah Liliana lalu menaiki motor si Gojek. “aku pergi dulu,”             “Venus! Venus!”             “Jaga dirimu baik-baik, Liliana, cinta itu bullshit!” ucapnya terakhir kali sebelum motor itu melaju dan berlalu pergi meninggalkannya.             Pak Ardhan berdiri di depan pintu rumah Liliana. “Liliana,”             Liliana masuk ke dalam rumahnya kembali dan duduk di atas sofa. “Kenapa Pak Ardhan membuat teman lamaku itu pergi?”             “Maafkan aku Liliana tapi saya khilaf tadi saking kangen sama kamu,” ucapnya memelas.             “Ini hari pertamaku aku tinggal di sini, dan aku senang ditemani Venus. Tapi sekarang dia pergi, dan aku ditinggal sendirian,”             Pak Ardhan menggenggam tangan Liliana, “Lalu kau anggap apa aku di sini? Katamu rumah ini sudah dibersihkan, jadi aman kan?”             “Tidak boleh, Anda harus pulang,” Liliana bangkit dari sofa.             “Tapi kamu sendirian,”             “Biar saja, saya tidak apa-apa,”             “Lili!”             “Saya sudah sehat,”             “Tapi kalau kamu kena lagi seperti di bioskop kemarin itu bagaimana?”             “Pak Ardhan pulang saja,”             “Tidak!”             “Pulang!”             “Tidak!”             “Pulang saja, Pak!” Liliana mendorong tubuh Pak Ardhan mengarah keluar pintu rumah. Tapi lagi-lagi, Pak Ardhan malah mendorong Liliana dan menutup pintu depan dan menguncinya lalu mengangkat tubuh Liliana tiba-tiba. Lelaki itu membawa Liliana masuk ke dalam kamar dan merebahkan tubuh Liliana di atas kasur.             “Pak, jangan aneh-aneh, ke…!” belum sempat Liliana melanjutkan kata-katanya, telapak tangan lelaki itu membekap mulut Liliana.             “Diam di sini, jangan keluar sebelum saya buka kamar ini. Saya mau melakukan sesuatu di ruang tengah, jangan mengintip atau mendengar apapun. Kau di dalam saja dan tunggu saya masuk ke dalam,” tuturnya memberi pesan sebelum pintu kamarnya ditutup. Detak jantung Liliana semakin kencang saja. Apa yang akan dilakukan oleh Pak Ardhan kali ini? Dia sendiri tidak tahu dan merasa was-was.             Pintu kamar ditutup. Liliana pun menguncinya dari dalam. Dia mencoba untuk mengintip dari lubang pintu dan melihat sosok bertubuh kekar itu mematikan lampu ruang tengah. Gelap. Tidak ada yang bisa dilihat olehnya.             “Kenapa ini?”                                                                                                 *      Rumah Vindy             You have 1 new mail.             Begitulah pesan yang baru dibaca oleh Vindy saat itu. Begitu dibuka senangnya bukan main dirinya, e-mail dari penerbitan yang dinanti-nantinya.             “Wah, tumben dapat surat penanda tanganan kontrak datang lebih cepat dari sebelumnya? Ada apa?” ucapnya bicara sendiri. Apalagi surat kontrak itu atas novel yang masih digarapnya dan sebenarnya satu urutan di bawah Liliana. “Kan harusnya Liliana yang mendapat jatah terbit dua bulan ke depan, kenapa ganti aku?” alisnya mengernyit. Kemudian tangannya mengambil gawai di atas kasur dan bermaksud untuk menghubungi Pak Ardhan. Dia ingin menemui bosnya, dan ingin mengetahui tentang sesuatu yang sudah hilang itu apa sudah disadari atau belum. Sebab selepas beberapa waktu lalu dia dan temannya bertandang ke rumah seorang dukun sakti di Kota Banyuwangi untuk meminta sesuatu. Ya, sesuatu yang ada di dalam batu akik Pak Ardhan itu dibuang saja. Agar dia bisa kembali mendekatinya.            . Panggilan video call pun dimulai, Pak Ardhan berdering TUUT…TUT…                                                                                     *              Terdengar suara gawai Pak Ardhan yang jatuh di atas kasur kamar Liliana sesaat dia sebelum keluar. Gawai itu terjatuh dari dalam saku kemeja bosnya dan kini tengah berdering. Pandangan Liliana beralih ke gawai bosnya dan bergegas mengambilnya, dilihat siapa orang yang tengah menghubunginya saat itu yang tak lain adalah Vindy. Vindy calling.             “Wah, si Vindy nih. Diangkat nggak ya?” terbesit satu pikiran yang aneh untuk membalas dendam atas kasus teleponnya yang dulu. Dan pikiran terliar Liliana masuk ke dalam benaknya tanpa disadari. Dia pun membuka pintu kamar dan menuju ke ruang tengah, kemudian menyusul Pak Ardhan yang saat itu sedang duduk diam bersila dan memejamkan matanya. Lampu ruangan yang gelap itu dinyalakan oleh Liliana dan langsung memeluk lelaki itu dari belakang dan mengecup pipinya. “Pak Ardhan,”             Spontan Pak Ardhan membuka matanya dan terkejut melihat Liliana dalam posisi memeluk dirinya. “Lili, Lili tunggu, kamu kenapa? Saya lagi meditasi,”             Liliana memencet tombol answer pada panggilan si Vindy dan membuat sesuatu kejutan yang tak disangka-sangka.             “Kiss me, Pak,”             “Apa?”             “Cepatlah,” bisik Liliana menatap lekat-lekat bibir lelaki itu.             “Ouh, kau ini ehm, Oke…” dikecupnya bibir Liliana dengan lembut dan melumatnya sampai habis.             Liliana berusaha untuk menikmati ciuman itu dengan tangan masih memegang gawai dan memposisikan keduanya terlihat oleh kamera pada panggilan videonya si Vindy. Dia ingin usil sedikit agar wanita satu itu tahu diri juga.             “Kau kenapa Lili?” bisik Pak Ardhan di sela-sela ciumannya yang panas.             “Si Vindy telepon dan aku membalasnya dengan apa yang dulu pernah aku lakukan saat menelpon Pak Ardhan dulu,”             “Ups! Ini…,” Pak Ardan berhenti sejenak dan menatap mata Liliana lekat-lekat.             “Bawa saya ke kamar, Pak,” pinta Liliana.             Hormon kelelakian Pak Ardhan pun naik, dan tanpa diminta lagi, diangkatnya tubuh Liliana yang langsing itu masuk ke dalam kamar dan merebahkannya ke atas kasur. Mereka berdua saling bertatapan dan kembali melanjutkan ciumannya. Sampai akhirnya Liliana melirik seraut wajah Vindy yang bergulir air mata menatap dirinya dan mengakhiri panggilan video itu. Sekejap setelah panggilan itu berakhir, Liliana mendorong tubuh Pak Ardhan ke samping dan dia bangkit dari tempat tidur.             “Lili,”             Liliana bergegas keluar dari kamarnya dan mengunci Pak Ardhan dari luar. Lelaki itu berbahaya sekali kalau lagi On. Liliana masih membawa gawai Pak Ardhan dan tersenyum bahagia sudah bisa membalas perbuatan si Vindy dengan hal yang sama. Sementara Pak Ardhan terus memanggilya terus.             “Maafin aku, Pak…,”  “Lili, kenapa kau tega berbuat seperti ini…? Lili!”             Liliana beralih ke ruang tamu dan membaringkan tubuhnya di atas sofa, tubuhnya benar-benar terasa lelah. Biar saja, biar. Apapun yang terjadi di malam ini biarkan saja. Otot tubuhnya yang lelah menguasai dirinya dan matanya pun terpejam. Dan ruhnya digenggam oleh Sang Khalik untuk sementara waktu. Bersatu dengan mereka yang ada dan hidup di alam ruh pula. Tak tahu bahwa sesuatu akan terjadi pada dirinya di dalam ruangan tersebut, ketika tengah malam tiba. Di mana tak seorangpun yang dapat menjaga dirinya, tubuhnya sudah terlalu lelah dan dalam bahaya. Tidak ada yang tahu di malam itu mereka yang telah dibuang jauh satu per satu kembali ke rumah.                                                                                     *                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD