BAB 46 F.i.r.a.s.a.t B.u.r.u.k

2783 Words
Padepokan Meditasi Tunggal             Malam hari itu tepat malam Jum’at dab seperti biasa semua murid dan master yang hadir mengadakan acara pertemuan untuk membahas tentang penjaga-penjaga gaib. Dan pembahasan mengenai penjaga gaib selalu diadakan tepat malam Jum’at saja. Bagi para murid lama dan murid yang baru semua dikumpulkan menjadi satu. Karena ada murid baru yang belum paham mengenai hal-hal tersebut yang hanya orang-orang tertentu saja yang mampu untuk menjelaskannya secara lebih rinci.            “Jadi, buat kalian yang baru masuk. Saya akan menjelaskan tentang apa itu khodam, jadi… khodam itu asalnya dari bahasa Arab yaitu pembantu. Nah, jin khodam berarti jin pembantu. Yang bertugas untuk membantu manusia dalam memenuhi hajatnya. Di masa kenabian Sulaiman AS, yang mampu menaklukkan bangsa jin adalah Nabi Sulaiman sendiri. Dan hanya beliaulah yang mampu melakukannya, tidak ada yang lain selain beliau apalagi selepas ini. Mereka, para jin sangat tunduk dan dapat dikendalikan oleh nabi Sulaiman. Dan tidak ada yang bisa menandingi kelebihan beliau, tak satupun,” jelas Tirta pada murid baru yang duduknya sengaja ditempatkan di bagian terdepan agar lebih dikenal dan mudah menerima penjelasan.             “Apa saja macam-macam jenis Khodam itu, Mbah?” tanya Supri mengacungkan tangannya.             “Ya, banyak kalau dibeberkan satu persatu ya nggak akan habis-habis penjelasannya. Tapi saya akan menjelaskan yang beberapa saja diantara mereka. Yang pertama adalah Khodam pendamping, khodam pendamping adalah khodam yang diciptakan oleh Allah untuk mendampingi manusia. Biasanya jenis khodam ini datang sendiri karena manusia itu rajin beribadah, wirid dan berpuasa. Dan yang kedua adalah, Khodam leluhur. Khodam leluhur adalah roh dari leluhur yang sudah meninggal dan menjadi khodam. Khodam jenis ini biasanya memiliki kekuatan yang cukup tinggi dan senang menjaga anak keturunannya. Ketiga, adalah Khodam keris, Khodam keris adalah khodam yang menghuni atau menempati salah satu keris dan…,” tiba-tiba Tirta menghentikan penjelasannya dan diam selama beberapa saat sambil memegangi kepalanya.            “Kenapa, Mbah?” Arvita menghampiri Tirta yang mendadak terdiam. Arvita tahu biasanya kalau tiba-tiba sang guru mengalami hal demikian. Artinya ada sesuatu yang sedang atau baru saja datang. Entah itu semacam kabar atau firasat saja.             “Ada yang datang,”             “Siapa?”             “Liliana,”             “Liliana, kenapa?”             “Entahlah, saya merasa akan terjadi sesuatu padanya,”             “Oh, iya. Mbah, kapan hari saya juga ketemu Liliana,” Arvita akhirnya menceritakan juga perihal kejadian raga sukmanya saat itu.             “Ketemu di mana?” Tirta mengernyitkan alis.             “Ya, saya datang ke rumahnya tanpa sadar. Sukma ini lepas dan jalan-jalan,”             “Terus?”             “Saya lihat saat itu Liliana sedang tertidur pulas,”             “Lalu?”             “Dan rupanya sukma dia juga sedang keluar entah ke mana, tau-tau pas saya datang dan baru melihat dia dalam kondisi tertidur. Sukma dia masuk lagi ke badan gitu,”             “Oh, jadi sebenarnya Liliana itu juga bisa rogo sukmo?” Tirta masih tidak mempercayainya.             “Lili itu kan sebenarnya sama kayak kita ini tapi dengan tipe dan karakter yang lain, atau mungkin juga sebenarnya dia itu belum menyadari keindigoannya, Mbah…” tandasnya memberikan satu gambaran.             “Ya sudah, kamu urus mereka ini. Saya pergi ke ruang meditasi dulu, saya harus melihat Liliana. Mungkin saja dia memerlukan bantuan,” Tirta menepuk pundak Arvita dan mengalihkan tugas padanya.             “Oke-oke, biar saya pegang,” Arvita beralih dan melanjutkan penjelasan pada murid-murid yang sudah menunggu kelanjutan penjelasan tentang khodam.             Sedangkan Tirta melangkah cepat keluar dari ruangan menuju ruang meditasinya. Namun, di tengah jalan, Bintang menahan lajunya.             “Mbah,”             “Sebentar, saya ada keperluan mendesak,”             “Tapi, Mbah..,”             “Ada apa? Saya tidak punya banyak waktu,” Tirta merasa kesal karena langkahnya tertahan.             “Ada tamu nyari Mbah,”             “Siapa?”             Bintang mengarahkan telunjuknya ke arah gazebo. “Itu, di situ, katanya minta bantu,”             “Bantu apa? Ini ada orang yang lagi butuh bantuan saya juga,”             “Siapa, Mbah kok keliatan urgent banget,”             “Liliana,”             “Liliana kenapa?”             “Sudah, jangan banyak tanya. Kamu temui tamu itu dulu dan ajak ngobrol-ngobrol sebentar. Saya nggak lama kok, OK!” tuturnya terakhir kali lalu bergegas menuju ruang meditasinya.             “Hmm, kenapa dengan Liliana?”                                                                                              *    “Bun, kalo malam jangan nyalain radio…,” keluh Liliana sambil menyeruput indomie sebagai sarapan paginya. Bu Lili selalu menyiapkan sarapan pagi dengan mie instan untuk semua anak-anaknya. Meski sebenarnya Liliana tidak suka sarapan karena akan membuat perutnya menjadi sebah saat di sekolah, dan itu menimbulkan rasa tidak enak duduk. Jadi, kadang Liliana sengaja tidak menghabiskannya.           “Lha kenapa, to?”           “Serem, Bun, hiii….”           “Apa yang serem?”           “Itu loh, masa’ malam-malam nayangin acara cerita misteri. Tentang bandoso, keranjang jenasah yang kalo mau ada orang meninggal itu, petinya goyang-goyang. Hiiii…!” kata Liliana begidik ngeri.           “Hooo ya, memang gitu sih kebanyakan…,”           “Lili nggak bisa tidur, Bun! Takut!”           “Iya, iya, nanti malam Bunda nggak nyetel radio lagi,”           “Terus itu Bun, nanya lagi,”           “setan berbulu itu namanya apa?”           “Genderuwo, kenapa?”           “Heheh, Genderuwo ya?”           “Iya, bentuknya kayak apa?”           “Kayak monyet besar, bulunya dhiwut-dhiwut, bisa malik rupo juga.”           “Bisa malik rupo, merubah wajah?”           “Iya, kamu tau tetangga sebelah itu loh, Bu Hadi. Itu sering diganggu sama Genderuwo, nah…, pas malam-malam itu kan lagi ke dapur, tiba-tiba lihat si Genderuwo itu badannya menjulang ke atas, kakinya segede atap rumah.”           Mendengar penuturan itu, mie yang ada di mulut Liliana pun jatuh lagi ke piring. Perutnya terasa mual. Pikirnya apa yang tadi malam apa juga seperti itu, bahwa dirinya sedang diperlihatkan oleh penampakan sosok kaki Genderuwo. Seperti apa yang diceritakan sama ibunya.           “Bu, berangkat dulu ya! Assalamualaikum!” pamitnya beralih dari ruang makan dan mengambil tasnya, lalu berpamitan pada orang tuanya. Pak Bram saat itu tengah sibuk mengecek kondisi mobil sebelum berangkat ke kantor nanti. Sedangkan semua saudara-saudaranya, Didi, Dina, Adi, dan Fiko semua sudah berangkat lebih dulu. Liliana selalu berangkat jam setengah tujuh pas. Sampai di sekolah tak lebih dari sepuluh menit saja. Karena jarak antar rumah dan sekolahnya dekat. Dalam tiap langkahnya, Liliana masih saja terus memikirkan siapa sebenarnya sosok berbulu itu tadi malam. Apa memang itu wujud si Genderuwo, lalu apa tujuan Genderuwo itu menampakkan diri padanya. Oh ya, apa mungkin karena Liliana suka membaca cerita misteri Ghosebump, jadi imajinasi ke mana-mana. Mungkin saja tadi malam itu hanya sebatas imajinasinya saja.           Tapi… instingnya berkata bahwa…           “Kayaknya aku yakin kalau tadi malam itu memang dia, tapi aku nggak tahu gimana sih mukanya. Baguslah kalo cuma kakinya, ntar kalo liat mukanya bisa pingsan. Pasti jelekkkk sekali.”           Hawa dingin di bulan Juli itu membuat Liliana kedinginan, dia punya riwayat alergi dingin di mana jika terkena hawa dingin, kulitnya akan bersisik dan gatal-gatal. Beberapa kali gadis itu terlihat menggaruk kulit lengannya yang terasa gatal padahal tidak terkena apa-apa.                                                                                 *             Kegemaran Liliana adalah membaca buku dan menyewa komik horor atau cerita ghosebump karya R.L Stine. Selepas pulang sekolah, di tasnya selalu tak lupa dengan buku-buku bacaan. Liliana suka berimajinasi, bahkan di usianya kedua belas tahun dia pernah memimpikan dunia yang kiamat. Di mana apa yang dipijaknya hancur lebur, semua orang yang dikenalnya berteriak dan masuk ke dalam bumi yang retak. Matahari turun tepat di atas kepala. Semua orang berteriak ketakutan dan hanya dirinya yang selamat. Seketika Liliana terbangun, dia pun sempat bercerita pada ibunya, tapi malah ditertawakan oleh kakak-kakaknya semua. Sejak itu Liliana tak pernah ingin menceritakan mimpi-mimpinya.           Di sekolah pagi hari itu, jam kosong. Liliana merasa bosan. Teman sebangkunya, Nita pun selalu beralih ke bangku teman-teman lain untuk berghibah ria. Liliana tidak suka, dia suka menyendiri. Terbesit kemudian gadis itu mengambil jangka dan kertasnya, lalu membuat lingkaran. Kemudian tutup bolpen ditempelkan di atas kepala alat jangka agar bisa diputar-putar sesuai arahan angin.           Dan mulut gadis itu pun mulai berkomat-kamit, “Jelangkung, Jelangse di sini ada pesta. Pestanya Mbak Nana, datang tak diundang pulang tak diantar.” Seketika Liliana mulai merasakan sesuatu, bulu kuduknya pun merinding. Apalagi dia hanya duduk sendirian di bangku paling belakang. Semilir angin berembus dari celah-celah jendela, gadis itu semakin terfokus saja dan terus memutar jangkanya sesuai arahan angin. “Kamu sudah datang?” lanjut Liliana tak peduli bahwa beberapa temannya sedang memperhatikannya. Jangka itu terus berputar dan berputar sampai akhirnya berhenti perlahan-lahan. Satu… dua… tiga…           Dan jarum jangka itu berhenti di kotak jawaban ‘Ya’. Sedikit gemetar tangan Liliana dan ingin melempar jangka tersebut, tapi seakan ada yang menahannya untukterus melanjutkan permainan. “Lhaaa!” Tiba-tiba pundak Liliana ditepuk si Nita, jangka itu pun jatuh ke bawah kolong meja saking kagetnya.           “Apaann siii, Nittt!”           “Ngapain sihhh?”           “Mainan Jelangkung!”           “Uda dateng?”           “Uda,”           “Di mana setannya?” Nita mencandai dengan tengok ke kanan dan kiri.           “Di sebelahmu tuuh,”           HENING…           Nita menatap mata Liliana tajam, tak berkedip.           “Beneran?”           “Nggak, di kolong meja,”           “Kolong meja?”           “Iya, jangkanya jatuh di kolong meja,”           Liliana turun ke bawah meja dan hendak mengambil jangkanya untuk melanjutkan permainan Jelangkung. Dia penasaran apa benar seperti kata ibunya dulu yang pernah memainkan Jelangkung. Katanya, kalau sudah datang tidak mau pulang dan akan menghantui mereka yang pada ikut bermain. Maunya kembali kalau diantar ke kuburan. Liliana ingin membuktikan itu. Apa iya hantu itu cuma ada di kuburan? Anehnya, saat dirinya hendak mengambil alat jangka yang ada di lantai, tiba-tiba jangka itu bergeser sendiri. Pikir Liliana mungkin terkena angin atau tak sengaja tersenggol sepatunya. Diambilnya lagi jangka itu dan bergeser lagi untuk kedua kalinya. Bulu kuduk Liliana pun spontan merinding. Salah lihat atau hanya sekadar perasaannya saja sih? Bergegas dia bangkit dan duduk kembali, meski hatinya masih sedikit merasa aneh.           “Ayo main lagi,” Liliana memutar-mutar jangka itu dan melepasnya. Dibiarkan benda itu berputar sendiri, mencari-cari huruf yang akan disusun menjadi sebuah nama. Nama sesiapa yang datang dalam permainan Jelangkung itu. Perlahan putaran jangka itu menjadi lebih pelan dari sebelumnya, kemudian terhenti pada huruf…           K.           Gemetar tangan Liliana saat memegang jangka itu, tangannya mulai terasa agak berat untuk diangkat dan melepasnya. Mata Liliana melirik Nita,           “Gi… gimana?”           “K, apa maksudnya?”           “K…, masak nggak tahu sih?”           “Iya, K itu siapa?”           Jangka itu kembali berputar cepat, cepat dan semakin cepat. Membuat Liliana kehilangan kendali.                  “To… tolong, Nit. Jangkanya muter sendiri!” tubuh Lilianan berkeringat, dari kening sampai ke leher.           Nita yang ketakutan pun beranjak pergi dan kabur keluar kelas sambil berteriak. Teman-temannya pun ikut berbondong-bondong keluar dari dalam kelas. Meninggalkan gadis itu seorang diri.           “Nitaaaa, tolonggg!” jangka yang ditangannya pun berhenti lagi di huruf ‘U’ lalu secepat kilat beralih pada huruf N, T, I, L, A, N, A, K. Liliana pun melempar jangka itu ke lantai. “Hiiiy, Kunti!”           Terdengar suara tawa yang menyeramkan tanpa wujud di sekitar ruangan kelas. Gadis itu duduk meringkuk dan menutup mukanya, membenamkannya ke dalam lututnya. Suara tawa seseram itu tak diduga sebelumnya, Liliana pikir hanya sekadar bermain iseng saja. Tahu-tahu datang betulan. Dia pun tidak tahu bagaimana cara mengusirnya. Pintu kelas yang terbuka dan teman-teman Liliana mengintip ke dalam itu pun dibuat terkejut karena mendadak pintu kelas tertutup sendiri.           Nita ketakutan dan berinisiatif untuk memanggil guru Agama untuk membantu Liliana yang sendirian di dalam kelas.           “Pergi! Pergi!!” teriak Liliana tanpa mau mengangkat wajahnya. Dia tidak ingin melihat apapun. Tak berapa lama kemudian terdengar suara pintu kelas didobrak dari luar.           BRAK!           “Ada apa ini? Apa-apaan ini?!!!” seru suara Pak Guru Agama yang masuk ke dalam kelas dan melihat Liliana duduk menyudut di bangkunya. Suara tawa itupun menghilang begitu saja. Oh ya, hukuman pun menanti di ruang Bimbingan Konseling sebentar. Kepada yth. Orang tua murid Assalamualaikum, Saya selaku guru kelas Liliana, memberitahukan bahwa putri Anda telah membuat kegaduhan di ruang kelas tadi siang. Di mana putri Anda bermain jelangkung-jelangkungan yang membuat murid-murid lain ketakutan masuk kelas. Dimohon agar Liliana dinasehati dan dididik dengan baik bahwa apa yang tadi dilakukannya tidak baik untuknya. Dan saya harap orang tuanya lebih mendidik ke sisi akhlaknya saja. Terima kasih.   Wassalamualaikum,   Hormat saya,   Wali kelas Liliana                                                                                     *           “Apa ini Liliana?!!!” wanita itu memasang wajah murka setelah membaca sepucuk surat dari sekolah.           Gadis remaja berusia 14 tahun itupun berlari masuk ke dalam kamar dan menguncinya.           “Bunda galak, ih!”                                                                             *           Malam hari terasa lebih aneh. Seperti biasa ibunya selalu mematikan lampu kamar di setiap ruangan. Gelap gulita. Liliana merasa agak tidak enak dengan dirinya, seperti ada sesuatu yang tidak bisa dijelaskan. Hawa-hawa yang dirasakan pun berbeda dari sebelumnya. Sedikit merinding tapi dia berusaha untuk dapat memejamkan matanya. Tak berapa lama pun dia tertidur. Suasana terkesan hening malam itu, suara gesekan angin-angin yang menggoyang dedaunan pepohonan semakin terasa kencang saja. Seerrr… seerrr… serrr. Dalam kondisi tidurnya yang baru saja berjalan beberapa menit, tiba-tiba tubuh Liliana terasa berat. Seperti ditindih sesuatu yang besar dan menekan perut serta dadanya. Membuat gadis itu susah untuk bergerak atau berteriak. Napas seakan tercekat, mengucap kalimat zikir pun tak bisa. Siapa? Siapa yang ada di atas tubuhnya itu, Liliana seakan merasa ada yang sedang mendudukinya. Tapi tidak bisa bergerak. Dia pun tak mampu untuk membuka matanya. Sekuat tenaga, Liliana mencoba untuk menggerakan tangan yang kaku dan menarik rambut kakak perempuannya. Dan akhirnya tangan kirinya dapat meraih rambut kakaknya, ditariknya rambut Kak Mawar agar terbangun dari tidurnya.           “Kak, Bangun! Tolong aku, Kak!” pekik Liliana dalam hati. Tapi tekanan di dadanya makin lama makin terasa berat saja. Seseorang duduk di atas d**a dan perut tapi tak berwujud.           Liliana tahu bahwa itu adalah hantu. Apakah kedatangan hantu itu karena siang tadi di sekolah dia bermain permainan Jelangkung? Dan benar-benar diikuti sampai ke rumah? Bahkan sampai mengganggu tidurnya. Oh, tidak! Liliana memejamkan mata, tak berani untuk membuka matanya lagi. Gelap juga. Begitu gelap, tak ada cahaya lampu sama sekali. Sesak di d**a, sesak. Tapi tak tahu harus berbuat apa selain dia mencoba untuk menahannya. Dan perlahan-lahan tekanan itu semakin berkurang, berkurang dan berkurang. Liliana pun tanpa sadar kembali tertidur.           Malam itu adalah malam yang paling mengerikan baginya. Pengalaman pertama pada kasus tindihan. Ya, Liliana mengalami tindihan.                                                                             *             Malam itu terasa berbeda dari malam-malam sebelumnya. Meski seperti biasa semua lampu akan dimatikan tepat pukul 9 malam. Dan aku mendengarkan radio EBS FM kesukaanku, menunggu si penyiar, Fahmi EBS on line.   Namun, aku terjebak pada sebuah suasana aneh. Antara terjaga dan tidak, di tempat yang sama. Aku tidak sedang bermimpi karena aku ada di tempat yang sama. Berbaring di tempat tidurku sendirian. Aku melihat sesosok kakek berpakaian putih berjalan melayang masuk ke dalam kamar dan naik perlahan ke atas dipan. Kemudian dia merebahkan dirinya di samping kiriku. Dengan tangan kanannya ditekankan ke leherku. Aku sesak napas tiba-tiba, terkejut. Tak mampu untuk bergerak sama sekali. Aku berteriak, berdzikir menyebut asma Allah. Namun, lebih terkejut lagi saat kemudian muncul sosok Gendruwo hitam dengan bulu-bulu lebatnya itu berdiri di depan dipan dan menarik kaki kananku, mencengkram kaki dan menekan jempol kaki kananku.   “Allahu..akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar!!!” kalimat terakhir itu melepaskan cengkramanya dari kakiku. Tepat di saat itu, aku merasa keningku ditepuk-tepuk keras oleh  seseorang yang menyebut-nyebut namaku. "Lilana!" Oh, kenapa aku? Siapa mereka? Aku tindihan? Aku merasa itu sangat-sangat nyata sekali.                                                                             *          Tubuh Liliana tak mampu untuk digerakkan, yang dia mampu hanyalah mengerang-erang saja. Dalam keadaan diantara terjaga dan tertidur, Liliana melihat sesosok makhluk hitam besar dan berbulu lebat dengan kepala bertanduk tengah berdiri tepat di depan kakinya. Makhluk hitam itu seakan-akan bersiap hendak melakukan sesuatu. liliana melihat kuku panjang makhluk itu yang terlihat sangat mengerikan. Dalam kondisi sadar dan tidak, Liliana terus mengerang memanggil nama ayahnya. Namun sayangnya, dia terlupa bahwa dirinya sedang berada di rumah lama tanpa hadirnya orang tua. Mulut pun serasa dibungkam sedang lidahnya terasa amat kelu. Di saat itu pula si makhluk hitam mencengkeram kakinya kuat-kuat, Liliana mencoba untuk memberontak dan terlepas dari cengkeraman itu tapi dirinya tak kuasa. Pada saat yang bersamaan di sampingnya tepat terduduk sesosok nenek-nenek berbaju putih yang meletakkan tangan kanannya ke d**a Liliana seakan menahan sesuatu.             “Allahu akbarrr…”             Liliana! Liliana! Liliana!             Liliana seperti mendengar suara seseorang yang memanggil-manggil namanya tapi dia tak mampu untuk membuka mata sama sekali. Seperti suara yang sudah familiar terdengar di telinganya.             Kakak Tirta.             Dan setelah itu Liliana tak sadarkan diri. Dari luar jendela kamar, Pak Ardhan nekad untuk keluar dari jendela dan masuk ke dalam rumah lewat pintu samping yang tidak terkunci. Firasatnya sama sekali tidak enak dan memang benar adanya, lelaki itu mendapati tubuh Liliana jatuh dari atas sofa ke lantai.             “Lili! Lili!”                                                                                         *                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD