BAB 67 Haruskah Kau Hilang Kembali?

953 Words
Sebuah perjalanan hidup yang panjang             Kau lewati dengan hati penuh cinta             Perasaan dan kasih sayang             Sebuah perjalanan hidup yang menyakitkan             Harus kau hilangkan dengan senyuman                         Teluk ini                         Mempertemukanku denganmu                         Juga memisahkanku denganmu                         Jangan mengharapkan aku kembali                         Aku sudah mati             Kata-kata ini sangatlah indah tapi terlihat menyedihkan. Air mataku keluar lagi dan membasahi kertas itu sehingga tulisannya menjadi luber ke mana-mana. Aku berusaha menghapus air itu tapi, semakin dihapus tulisan itu seakan memudar terkena air mataku.             Dan kertas itu robek...             Menjadi beberapa bagian. Tulisan itu sudah hilang dan tak berbekas. Hanya tinggal bekas tinta biru yang basah terkena air.             Dia sudah pergi, dan tak tahu kapan kembali. Aku merasa seakan menjadi salah satu dari kerang ungu ini. Dan aku merasa seperti kembali di mana saat itu ditinggal pergi olehnya. Kenapa kejadian ini terulang kembali?             Kenapa?             Tapi...             Aku akan menunggunya lagi, dia pasti kembali padaku. Di Pelabuhan ini, Pelabuhan yang mempertemukanku denganmu. Di sinilah tempat kita. Kau meninggalkan pesan ini sebulan yang lalu, dan aku sama sekali tidak memperhatikan kertas itu. Tulisanmu yang sekarang sudah tidak dapat dibaca kembali.             Ombak laut terdengar menangis. Satu cinta,,,             Telah membawaku kembali             Satu hati             Telah menggiringku ke tempat ini                         Satu rasa                         Telah menyatukan hatiku dengannya                         Satu keputusan                         Telah memisahkan diriku dengannya                                     Satu hati...                                     Terpisah...             "Liliana, bangun!"                                                                                 * Hari pernikahan tinggal beberapa minggu lagi dan kali ini Liliana sudah bersama dengan Venus yang ditemuinya di Starbucks Café. Di sana Liliana memesankan Venus Double Chocolate Cream Frappuccino kesukaannya. Sedang Liliana sendiri yang tak doyan minuman berbau kopi dan s**u hanya memesan Iced Shaken Lemonade Tea. Mendengar Liliana mengajak Venus nongkrong di Starbucks Café, tanpa banyak alasan lagi, Venus bergegas menemui Liliana.             “Jadi, sekarang kau tinggal di mana?” Liliana menyeruput secangkir teh itu ke mulutnya.             “Masih di Homestay sih, kenapa?”             “Kamu mau nggak tinggal lagi di rumahku itu?”             “Ah, why?”             “Aku mau menikah,”             “Hah, beneran itu? Sama siapa?”             “Kayak nggak kenal aja,”             Venus mengernyitkan alis, mencoba untuk mengingat-ingat. “Sama si itu? Bosmu itu?”             Liliana mengangguk, “Ya,” jawabnya singkat dan pelan sambil menatap cincin tunangan di jari manis sebelah kanannya.             “Wah, cincinnya bagus banget! Selamat ya, akhirnya kau mau menikah juga, kirain mau jadi jomblo,” sindir Venus.            Liliana menundukkan wajahnya seraya menghindari pertanyaan-pertanyaan itu. Pikirannya kembali menerawang pada satu tempat yang jauh.             “Lili, kamu kenapa?”             “Oh, nggak apa-apa,”             “Kamu yakin mau nikah sama dia?”             “Iya,”             “Benar yakin? Nggak bohong?”             “Enggak bohong,”             “Baguslah,” diseruputnya minuman Coffee Cream yang enak itu sampai busanya menempel di sudut bibirnya. Yang kemudian dilapnya dengan selembar tissue.             “Iya, makasih. Nanti kamu kujadikan pagar pengantin,”             “Oh, oke.”             “Kenapa? Tidak mau?”             “Heemm, bukan begitu. Tapi, aku jadi ingat lagi sama mantan tunanganku dulu, Frans. Dulu kita juga sudah hampir menikah, tapi ternyata dia malah menikah dengan perempuan lain. Kau tau Liliana, aku datang ke sini menemuimu karena untuk mengalihkan masalah tentang pernikahan yang gagal. Jadi,” Venus menggenggam tangan Liliana erat seolah berusaha untuk meyakinkan bahwa dirinya tidak sedang dalam masalah.             “Maaf kalau kamu ngrasa terganggu, tapi kalau tidak mau ya nggak apa-apa.”             “Mungkin untuk permintaan jadi pagaran pengantin, aku nggak bisa. Tapi kalau aku diminta untuk tinggal di rumahmu yang itu, aku mau kok …,”             “Beneran?”             “Ya,”             “Tapi sendirian, soalnya aku lagi dipingit,”             “Nggak apa-apa,”             “Nggak takut?”             “Lili …  Lili, aku hanya takut Tuhan murka sama aku, tenang aja,”             “Makasih ya, Venus. Nanti aku mau ngisi rumahku itu dengan perabotan,”             “Oke-lah, sip! Santai saja. Semua pasti kan beres.”                                                                                     *            Toko Buku Gramedia             Liliana mampir sebentar ke Toko Buku Gramedia sebelum memutuskan untuk pulang ke rumah. Dia ingin membeli buku-buku perlengkapan pengantin dan juga beberapa buku tentang kehidupan pernikahan. Liliana ingin membaca dan mengerti seputar dunia pernikahan itu apa saja lengkap dengan segala masalah yang mengiringi kehidupan suami istri itu sendiri. Dari buku-buku yang judulnya menarik sampai pada buku berjudul Menikah Tanpa Cinta. Diambilnya buku tersebut yang menurut Liliana judulnya menarik dan sesuai dengan dirinya. Pada saat dia mengambil buku itu, tepat di sampingnya berdiri sesosok lelaki yang juga sedang mencari buku mengenai pernikahan. Bedanya, tangan lelaki itu mengambil satu judul buku yang berjudul, Menjadi Seorang Istri yang kemudian tiba-tiba buku itu disodorkan padanya.             “Kau hanya perlu buku yang ini daripada buku yang itu,”             Liliana spontan menoleh ke kiri dan melihat sesosok Roki berdiri tepat di sampingnya. Dia sendirian tanpa siapapun yang menemaninya kali ini. Liliana terperanjat sampai melongo, buku yang ada di tangannya pun jatuh ke lantai.             “Rooo … kiii,”             “Hai, beli yang ini dan jangan beli yang itu,” Roki pun pergi begitu saja setelah dia sendiri mengambil buku masakan pesanan ibunya.             “Ro … ki! Tunggu!”             Tapi, bukanlah Roki namanya kalau tidak cepat datang dan pergi seperti angin. Tanpa diduga-duga sebelumnya bahwa dia benar-benar bertemu untuk kedua kalinya dan Liliana tak bisa mengejarnya.             “Semoga kau bahagia!” kata Roki menoleh ke belakang dan berhenti di depan meja kasir. Liliana masih tetap mengejarnya dan berdiri di sampingnya.             “Roki, dengar aku…, aku itu,”             “Sudahlah, kau sudah siap untuk hidup dengannya jadi jangan mencoba untuk menghubungi aku lagi, OK!” suaranya yang keras itu sampai terdengar oleh petugas kasir di depan mereka dan beberapa pembeli lain yang baru saja mengantre di belakang.             Merasa malu, Liliana meletakkan buku yang ada di tangannya itu ke meja kasir dan meninggalkan Roki seorang diri. Liliana memutuskan untuk ngeloyor pergi dan tak menggubris panggilan Roki.             “Hei, Liliana! Bukumu!” *                                                                                                            
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD