BAB 37 Pejamkanlah Matamu, Lalu Lihatlah Sesuatu

1624 Words
Padepokan Meditasi             Tepat pukul delapan malam. Para murid Padepokan berkumpul di tengah-tengah lapangan untuk memulai praktek meditasi dan perenungan. Semuanya mengenakan baju seragam berompi bertuliskan nama Padepokan beserta nama d**a juga tingkatan-tingkatan keilmuan. Sebelum sang Master datang, kesemuanya tengah terlihat asyik bergumul dengan kegiatannya sendiri-sendiri bercakap-cakap dengan para makhluk tak kasat mata. Liliana saat itu baru saja keluar dari dalam kamar dan hendak menemui Tirta. Namun rupanya, di tengah perjalanan keluar mereka saling berpapasan.             “Lili,”             “Kaka, hehe…,”             “Sudah balik dari jam berapa?”             “Dua jam yang lalu, Ka…”             “Oh, kamu kalau hang out sama bos kamu lumayan lama ya? Ngapain saja memang?” Tirta sedikit ingin tahu keseharian Liliana. Ya, sedikit saja. Tidak lebih.             “Tadi itu, cuma mampir di kafe sebentar,”             “Terus ke mana?”             “Yaaa, nggak ke mana-mana kok,” jawab Liliana kikuk. Apa harus dikatakan kalau tadi siang sampai jelang maghrib itu Pak Ardhan mengajaknya jalan-jalan ke mall. Lumayan, dibelikan baju-baju baru olehnya.             Tirta mendekat dan menatap mata Liliana. “Dengar, apa yang kau lakukan. Meski kamu berkata tidak melakukan. Kakak tau semua,”             Liliana terdiam melongo, “Apa, Kak?”             “Ya, baju-baju yang kamu pilih bagus semua. Sepertinya kamu dekat sekali sama bosmu itu,”             “Ka, tumben pengen tau lebih dalam?”             “Lili,”             “Ya?”             “Jaga jarak dan hati-hati dengannya. Dia suka memanfaatkanmu dalam segala macam situasi. Jika dia baik, tak mungkin kamu dipaksa menulis cerita yang kamu belum kuasai. Itu saja sudah salah,” paparnya menasehati. Tirta menepuk pundak Liliana pelan. “ayo, ke lapangan. Kamu mau tau tentang sesuatu yang wow tidak?”             Liliana menengadahkan kepala menatap dengan mata polosnya, “Sesuatu yang wow apa?”             “Ada, ayo ke sana. Saya mau tunjukin kamu sesuatu,” *             Seekor Naga Merah terbang di atas langit, mengitari lingkaran para murid Padepokan dan menyemburkan api. Semua yang dapat melihat penampakan tak kasat mata itu pun berdecak kagum. Sebab sang Naga Merah itu adalah kepunyaan guru Padepokan sendiri. Milik Mbah Tirto.             “Wooo, Naganya Mbah keren banget!” puji si Bintang sambil bertepuk tangan. Disusul dengan Rangga dan lainnya yang bertepuk tangan. Seperti ramai dan meriahnya acara Barongsai. Mereka semua melihat ke atas langit, begitupun dengan Tirta sendiri yang mengarahkan Naga itu harus ke mana.             Sementara Liliana, dia mendongak ke atas dan tak melihat apapun. Hanya langit hitam dan gemerlipan bintang yang tersebar ke segala penjuru. Merasa tak melihat apapun, Liliana bergumam sendiri.             “Memangnya di atas ada apa?” tanyanya polos.             Arvita datang menghampiri, “Naga, Naga Merah milik guru kita,”             “Naga Merah? Yang benar? Tapi aku nggak melihat apa-apa, Kak…” Liliana mengucek-ucek matanya.             “Apa yang kau lihat?”             “Gelap,”             “Fokuslah, mungkin kau bisa mendengar suaranya,”             “Tidak kudengar juga apa,”             Tirta menempelkan telapak tangannya di atas punggung tangan Liliana. “Diamlah sejenak,” saat itu Tirta mencoba untuk memberikan sedikit kepekaan rasa dengar agar bisa mendengar suara dari alam gaib. Yang saat itu, suara sang Naga Merah-lah paling bisa didengar. Tapi, saat dia merapal mantra pembuka, Tirta malah melihat sesuatu yang lain. Gambaran-gambaran aneh yang terlihat ada di dalam diri Liliana. Seperti potongan-potongan cerita yang tak jelas arahnya. Tirta berusaha mengalihkan gangguan itu dan terfokus membuka indera pendengaran Liliana. “Ok, sekarang dengarkanlah perlahan. Apa kau dengar suara lirih yang masuk di telingamu?”             Liliana mencoba untuk konsentrasi dan berimajinasi, pelan-pelan dia masuk ke dalam pikiran bawah sadarnya dan melihat satu gambaran yang sangat menakjubkan. Di mana dalam gelap dia seakan dapat melihat seekor naga merah meliuk-liuk di atas langit hitam dan menyemburkan apinya. Bukan lagi hanya mendengar suara saja tapi sebuah gambaran yang tampak nyata.             “Wah, saya bisa lihat naga itu, Kak!”             “Yang benar?”             “Iya, dia meliuk-liuk seperti ular terbang! Dan suara naganya itu, besar sekali!” Liliana girang bukan main.             Tirta melepas tangannya dan mengakhiri semua. Merasa aneh, padahal mantra yang dibacanya itu hanyalah mantra pembuka pendengaran saja. Dilihatnya sekali lagi mata Liliana yang sudah terbuka itu lekat-lekat.             “Saya tidak tahu ada apa di dalam dirimu, tapi seharusnya tidak seperti ini hasilnya. Ini melebihi ekspetasi,”             Liliana membalas tatapan itu dengan tatapan naifnya, “Maksud Kaka?”             “Mungkin kau ada…,”             “Ada apa, Kak?”             “Ada darah leluhur di badanmu.” *             “Kak,”             “Ya?”             “Apa saya boleh mengambil gambar skets itu lagi?”             “Untuk apa?”             “Saya harus mengerjakan tugas dari bos, dalam waktu kurang dari tiga bulan ini harus selesai. Saya membutuhkan itu untuk pengerjaan novel saya, Ka…” pinta Liliana memelas. Berharap penuh sketsa-sketsanya dikembalikan.             “Nanti saya kembalikan saat sudah selesai,”             “Selesai apa, Kak?”             “Bisakah kamu diam sebentar?” Tirta yang saat itu sedang menulis sesuatu di atas kertas meminta Liliana beralih ke pinggir.             “Kak,”             “Apalagi?”             “Lili mau ke belakang sebentar, kebelet pipis…!” Liliana bergegas keluar dari ruangan meditasi Tirta menuju ke kamar mandi yang ada di dekat gazebo. Rasa ingin membuang hajatnya tak bisa lagi ditunda.           Liliana baru saja melepas hajat kecilnya, tampak di dalam kamar mandi itu yang seukuran 4 x 4 saja sudah sedikit membuatnya merinding. Ya, tiba-tiba saja bulu kuduk Liliana merinding. Terdengar suara-suara aneh, desahan lirih dan mengejutkan jantungnya. Suara wanita yang tak jauh di sampingnya. Membisik ke telinganya, suara tanpa wujud.             Lili…iiih…             “Ha? Hmmm siapa situ, Kaka…! Kaka!”  Liliana buru-buru menyelesaikan semua dan membuka pintu kamar mandi, dia ketakutan setengah mati. Lupa akan sendalnya, dia terus berlari keluar memanggil Kaka Tirta yang sedang duduk di gazebo menunggunya. "Kakaaaa...., di sana ada setannn!"      Kaka Tirta yang tengah asyik duduk pun berjingkat dan memeluk Liliana, tubuh Liliana yang gemetaran, menangis ketakutan.       "Ada apa? setan apa?" Kaka Tirta menggiringnya kembali menuju di depan kamar mandi. "setan mana?"       "Cewe, Kak. Ada suara cewek tadi di sana manggil-manggil Liliana. Huhuh, aku mau pulang saja..." Liliana gemetaran, napasnya pun ngos-ngosan.       Tirta melongok ke dalam kamar mandi dan tidak dilihat satupun ada makhluk astral yang seperti disebutkan oleh Liliana. “Kamu sedang halu,”       “Nggak, Ka. Beneran, aku itu denger suaranya,”       “Nggak ada, nggak ada apa-apa di sana, sudah… ayo masuk ke Padepokan.” Pinta Tirta yang menggiringnya kembali masuk ke dalam Padepokan, di sana ia diberi segelas air putih yang sudah diberi doa-doa. “Minumlah, jangan lupa basmalah,”       Liliana mengusap-usap dadanya. Dia berani bersumpah kalau dirinya sedang tidak salah dengar apapun. Meski berusaha meyakinkan pun, Kaka Tirta tidak mempercayainya.       Tirta mengambil posisi duduk bersila, dia mempersiapkan diri untuk melakukan meditasi. Tingkah laku itu diamati Liliana.       “Kaka meditasi?”       “Ya,”       “Meditasi itu sebenarnya untuk apa sih, Ka?” Liliana berusaha untuk mengalihkan pikirannya pada kejadian yang tadi.       “Sebaiknya kau tanya Arvita saja, dia bisa menjelaskan secara detail. Dan tolong, kau tutup pintunya setelah keluar.” Tukasnya terakhir kali.       “Oh, baik, Ka. Lili keluar dulu.” Liliana berjalan mundur ke belakang sebelum akhirnya berbalik dan menutup pintu ruangan meditasi. Detak jantung Liliana perlahan kembali normal, dia tidak ingin masuk ke dalam kamar mandi itu lagi. Dan akan mencari kamar mandi yang lain. Di tengah perjalanan dia melihat sosok Arvita Theeta yang sedang duduk bersila sendirian di atas tempat duduk yang ada di gazebo. Rasa ingin tahunya yang luar biasa besarnya membuat dia harus mencatat apa saja sih, perilaku-perilaku para pelaku supranatural dalam kegiatan sehari-hari mereka.       “Kak Arvit!” panggilnya dengan melambaikan tangannya dan bergegas menuju ke gazebo.         Arvita membuka mata dan menyunggingkan senyum pada Liliana, sikap ramah tamahnya membuat Liliana merasa senang juga nyaman. Seperti tidak ada pagar pembatas seperti pada sikap Tirta pada dirinya.            “Hai,”              “Kak Arvit lagi apa sih? Meditasi juga ya?”             “Maunya sih, tapi kamu datang,”             “Jadi… Lili ngeganggu nih? Kalau ganggu, Lili pergi ya?” ?” Liliana beringsut menghindari Arvita. Tapi lengannya keburu ditarik Arvita.             “Eits, tamu sudah datang tidak boleh pergi, duduk sini,” pintanya.             “Kok?” Liliana dipaksa duduk bersila seperti dirinya.             “Tapi Lili nggak bisa meditasi loh,” tolaknya.             “Diam, dan ikuti,”             “Ikut apa?”             “Ikut Kakak duduk kayak gini terus diem,”             “Diem gitu?”             “Iya, diem aja sambil duduk,”             “Terus yang dilihat apa?”             “Terus merem. Pejamkan mata seperti saat tadi kau melihat gambaran si Naga Merah milik guru,”             “Tapi, itu kan hanya kebetulan, Ka?”             “Kamu ini nggak bisa diem yah? Semenit aja deh!”            paksa Arvita merasa geram juga.             “Oh ya, OK.” Liliana duduk bersila dan memejamkan mata.             “Kakak ajari cara meditasi,”             “Ya, Kak…,” Liliana manut-manut saja apa kata Arvita.             Karena tak biasa duduk bersila, tak ada lima menit pun Liliana sudah mengeluh kakinya tak enak.                        “Kenapa lagi?”             “Kakiku kesemutan,”             “Biasa, itu karena belum terbiasa, nanti juga jadi biasa…” jawabnya santai. “tetap teruskan, mata terpejam dan apa yang kau lihat?”             “Tidak ada, Kak. Hanya kegelapan,”             “Teruskan saja, lalu apa lagi?”             “Gumpalan awan hitam bergerumul seperti…” Liliana mulai terkonsentrasi. Dia melihat sesuatu yang ada di dalam pandangannya dalam mata terpejam. Bayang-bayang kegelapan seperti awan menggumpal yang beterbangan.             “Seperti apa?”             “Dementor,”            “Apa? Dementor?”             “Iya, Kak…”             “Sudahi, buka matamu sekarang.” Terjun, terjun aku… Masuk ke dalam bawah air sungai, Yang dalam, tenggelamkanku… Tidak ada yang mencintai, Semua membenciku, Semua pergi meninggalkanku, sendirian… Aku, di sini kesepian, Sepi… Sepi dan sepi… BYURRRR….                                                                                         *                                                                                                                                                                                                                                                                   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD