BAB 59 Pelukan dalam Cerita Pendek

2736 Words
Dear diary,             Kau tahu tidak? Suatu malam aku pernah bermimpi berdiri di pesisir pantai, melihat ombak yang bergulung-gulung. Dari kejauhan ombak itu terlihat besar meski saat menerjang kakiku hanya tinggal sebatas lutut saja. Sebenarnya, aku seperti menanti kehadiran dia. Tiap saat kutunggu kapal itu datang, tapi tak pernah kulihat kapal itu datang. Hingga aku seperti menanti kekosongan di pesisir pantai sore hari.                                                                                         *             Liliana baru saja selesai menulis cerita pendek atas permintaan dari Pak Ardhan, di mana dirinya diminta untuk mencoba menulis kisah romance terpendek yang bisa menggugah hati pembaca. Dan sebagai pancingan akan popularitasnya tersebut, bukan lagi cerita dunia gaib yang sama sekali tidak bisa dia selami. Meski di dalam hati Liliana masih ingin melanjutkan kisah perjalanan hidupnya yang masih penuh misteri.             Pak Ardhan memandangnya dari depan, sambil membaca cerpen romance Liliana. Dengan mimik muka yang serius, lelaki berdasi polkadot itu berdehem. Ketika Liliana anggap deheman itu adalah tanda bahwa dirinya harus keluar dari ruangan. Pak Ardhan malah menahannya.             “Mau ke mana?” tahan Pak Ardhan.             Liliana yang hendak berbalik badan pun mengurungkan niatnya, “Eh, saya kira Anda meminta saya pergi dulu,”             “Tidak, lebih baik kau duduk di samping saya sini,” pintanya menawarkan hal itu.             “Eh, apa?”             “Duduklah di samping saya, sebentar, saya pindah ke sofa,” Pak Ardhan beranjak dari kursi bosnya dan beralih ke sofa lalu memberikan perintah pada Liliana untuk mendampinginya. “Sini,”             “Tapi, ini masih jam kerja,”             “Saya juga bekerja, baca cerpenmu,”             Mendengar perintah itu, Liliana beranjak dari kursi dan melangkah ragu menuju sofa. Sementara lelaki itu tampaknya sudah sangat serius membaca ceritanya. Satu, dua, tiga langkah Liliana mendekati Pak Ardhan meski dia duduk pun masih tetap mengambil jarak.             “Saya di sini saja,”             Tiba-tiba Pak Ardhan menarik lengannya dan membuat Liliana terjatuh ke pelukan. Keduanya saling menatap diam, pipi Liliana bersemu merah.             “Ayolah, ini percobaan. Nanti kalau kau sudah jadi istri saya, kau juga harus menemani saya tiap hari seperti ini,”             “Apa?”             “Sudah, diamlah, saya mau baca ceritamu,”                                                                                 *                                                      Cerita Perjalanan di Taman Nara CERPEN JAPAN IN LOVE:             Namaku, Kouki Sayuri. Aku, Berumur 16 tahun dan lahir di  Kyoto. Sejak kecil ayahku, Kouki Masato memberikanku sebuah gambaran tentang cita-cita. Tentang apakah itu? Kau pasti akan suka mendengarnya. Ayahku menginginkanku agar nanti  bisa berkeliling dunia. Tapi, saat itu aku bertanya padanya, apakah Sayuri bisa? Pergi ke luar negeri sendirian? Kata nenek, semua itu membutuhkan biaya yang banyak. Tapi ayahku menegaskan kalau disana tak perlu keluar uang banyak. Cukup dengan…             Menjadi  seorang pemandu wisata saja, alias guide.  Kau tahu guide bukan? Seseorang yang pekerjaannya menemani turis yang datang untuk jalan-jalan dan membimbing perjalanan mereka. Di sana, sudah barang tentu aku bisa bertatapan langsung dengan para turis. Ayahku berkata  seperti ini, “Sayuri, kau hanya butuh untuk mempelajari berbagai macam bahasa, kau tidak perlu sekolah mahal. Tapi kau bisa belajar sendiri. Dengan cara apa, nanti pasti akan tahu.” Itu kata ayahku.             Dan ayah mengantarkanku tiap hari bertandang ke rumah orang-orang luar negeri yang tinggal di dekat rumah. Kebanyakan mereka datang dari Perancis, Inggris, Amerika dan belanda. Ayahku, Kouki Masato Dikenal oleh mereka sebagai seorang lelaki bertubuh tinggi tegap dan warna rambutnya yang jauh lebih cepat menua dari usianya. Ayah berjualan tofu-tahu putih. Karena itu mereka memanggil ayahku dengan panggilan, ‘Masato si Putih’. Ya, bisa kau bayangkan sendiri bukan? Anak seorang Penjual tahu diharapkan oleh sang ayah agar bisa menjadi seorang guide yang kerjanya berhubungan dengan orang-orang luar.             Aku sangat menyayangi ayahku. Jadi tiap perkataannya akan aku turuti sesulit apapun itu. Aku harus menerobosnya, walau sampai ada tetesan darah menyertainya. Sebab ayah adalah seorang lelaki yang tak pernah kenal menyerah. Dan kini sekarang, aku telah menjadi seorang guide remaja. Aku diminta untuk menemani seorang laki-laki yang datang dari negeri baling-baling. Orang Belanda. Kau sebentar lagi akan tahu ceritanya, Tentang bagaimana kisahku bersama lelaki itu, yang tiba-tiba membuatku jatuh cinta.             Dan parahnya, ini adalah kisah cinta pada pandangan pertama. * Musim dingin, Januari  2012, Kyoto.             Aku didaftarkan Oleh ayahku di tempat kerja saudaranya alias pamanku. Pamanku, Kouki Hitoshi mempunyai sebuah usaha yang berhubungan dengan biro perjalanan Tours & Travel. Jadi, aku mendapatkan jatah seorang turis yang datang dari negeri Belanda untuk kudampingi jalan-jalan di Kyoto. Pada musim salju ini, di mana hawa dingin terasa menusuk tulang. Aku sama sekali tidak mengerti pula, mengapa pada saat cuaca sedang dingin-dinginnya seperti ini, ada seorang turis yang datang sendirian. Catat, ia datang benar-benar sendiri tanpa teman.                         “Sayuri-chan, ini turis pertama untukmu. Ajak dia jalan-jalan mengitari Kyoto, selebihnya nanti biar paman yang meneruskan,” tukas paman Hitoshi yang tengah berdiri di sebelah ayahku.             “Hai,” jawabku tangkas sambil melirik seorang laki-laki yang usianya sekitar duapuluh lima tahunan. Aku diberikan sebuah buku agenda perjalanan dan diminta langsung oleh paman Hitoshi untuk mengajaknya keluar. Oh ya, saat itu pertanyaan yang pertama kulontarkan pada turis Perancis bernama Leonard itu adalah, “Apa tujuanmu datang ke Jepang?”             “Aku ingin bunuh diri,”             Itu adalah empat deret kalimat yang membuatku sempat begidik dan merinding mendengarnya. Orang ini GILA, pikirku yang mulai kalap dan lidahku teramat kelu sekedar untuk berkata,             “Bunuh diri?” *             Kunjungan pertama, Prefektur Nara-Kyoto:             Aku membawanya pergi ke Nara. Nara sangat dekat dengan Kyoto, dimana hanya membutuhkan waktu sekitar 42 kilometer saja. Laki-laki belanda itu, Leonard semenjak tadi hanya diam saja. Tidak seperti turis-turis lainnya yang terus banyak bertanya di sekelilingku. Ia tampak seperti patung saat kami berdua menaiki JR Nara Line yang nantinya akan turun di Nara Station. Lagi-lagi dalam diamnya aku tetap harus komunikatif, aku menjelaskan padanya tentang ibukota pertama di Jepang sebelum kemudian dipindahkan ke Kyoto selama hampir seribu tahun lamanya.             “Sebentar lagi kita akan pergi mengunjungi Nara park.” Tukasku padanya sekedar untuk memancing pembicaraan. Anehnya, bagaimana pamanku bisa menerima dan mendapatkan turis Belanda aneh ini? Sialnya, dia adalah turis pertama yang kutemani saat ini. Dan ini juga sebagai ajang perkenalan, tentang apakah aku sanggup atau tidak. Sekali lagi dia tidak merespon kata-kataku hingga aku mengulanginya lagi. “Sebentar lagi kita akan pergi mengunjungi Nara park, mister Leonard.”             “Yes, I know.” Jawabnya singkat.             “Ah, ya terima kasih atas jawabannya.” Aku mulai sedikit menggerutu, kalau begini caranya bagaimana aku bisa berlatih berkomunikasi? Payah! Rasanya aku ingin pulang saja. Tapi tiba-tiba dia bertanya padaku,             “Apa ada tempat bunuh diri terbaik di sini?”             Wah, pertanyaan itu lagi. Mengerikan?! Ia bercanda atau sungguhan? Akhirnya aku jawab dengan santai seperti yang ia mau.             “Ada, kau tinggal gantung lehermu di sebuah pohon di taman Nara nanti.”                                                                                     * Nara Park, pukul 11 siang.             Udara sangat dingin, dan aku mengenakan syal tebal melingkar-lingkar juga jaket bulu tebal membalut tubuhku yang mungil  ini. Tapi tidak dengan laki-laki Belanda itu, ia serta merta membuka jaket bulunya dan topi lalu dimasukkan ke dalam tasnya dan dengan beraninya ia nekad hanya mengenakan kaos tipis dan celana jeans yang malah cepat menyerap dingin.             Dia ingin mati! (ah, sudahlah)…             Aku tak peduli. Aku hanya bertugas untuk menemaninya saja hari ini, entah esok. Sepertinya esok aku tidak mau lagi menjadi guide-nya, biar paman saja yang mencari guide lain untuk orang aneh ini. laki-laki berambut ikal blonde. Dan tidak ada secercah cahaya pun dari matanya kupandang bahagia. Ia seperti menyimpan sejuta masalah dalam hidupnya.             Kami berdua sudah berhenti tepat di depan taman Nara. Sebuah taman yang sebenarnya adalah lapangan terbuka yang terletak di kaki Gunung Wakakusa.             “Mister Leonard, kita sudah sampai. Apa kau menikmati pemandangannya?” tanyaku seperti apa yang diajarkan oleh ayah dan paman saat diajari tentang tata cara menanyai dan menjelaskan sesuatu pada seorang turis asing.             Leonard, laki-laki itu hanya terdiam, berdiri dengan memasukkan tangan kanan kirinya ke dalam saku. Sekali lagi ia tidak mengenakan jaket bulu dan topi untuk menolak masuknya hawa dingin akibat turunnya salju. Taman-taman itu tak terlihat hijau lantaran banyak salju yang menutupinya. Dan mungkin sebentar lagi dia akan kaget dengan hadirnya rusa-rusa yang akan mengitarinya. Sebab Nara park adalah tempat dimana rusa banyak berkeliaran di tempat ini.             “Apa aku bisa mati disini saja?”             “Bisa,” jawabku masa bodoh, aku kira dia benar-benar bercanda. Sempat aku mengirim SMS  pada paman dan ayahku. ‘Apa paman mau membunuhku dengan turis ini? Dia selalu bilang ingin mati bunuh diri!’             “Antarkan aku ke tempat itu,” pintanya dengan paksa, ia menarik lenganku dan mencengkeramnya erat. Sampai akhirnya aku tidak tahan untuk berkata,             “Kalau ingin mati, kenapa sampai jauh-jauh ke Jepang? Kau akan mengotori nama Jepang nanti, kalau kau mau mati, tidak perlu sampai ke sini. Tidak usah makan tiga hari tiga malam saja, nanti pasti mati sendiri. Atau gantung lehermu di tali kabel kamarmu.”             Dan lelaki itu pun diam seribu bahasa. Mungkin, saat itu aku telah berkata salah padanya. *             Rusa-rusa itu mengelilingi Leonard. Tidak hanya satu dua, tapi semua rusa yang sedang menemani orang-orang di sekitar, semua berbalik berlari menghampiri sosok Leonard. Ada magnet apa sampai membuat rusa-rusa itu seakan suka dengan Leonard. Aku terus memperhatikannya, tanpa sedikitpun beralih ke tempat lain. Dan belum sempat aku menjelaskan tentang taman Nara dan mengapa sampai ada banyak rusa di sana. Leonard tiba-tiba jatuh tak sadarkan diri. Setelah ia menyentuh salah satu kening rusa yang ada di depannya.             BRUK!             “Leonarddd!” aku terpekik keras sampai membuat orang-orang sekitar berlari menghampiri kami berdua. * Lima belas menit kemudian…             Leonard sadar dari tak sadarkan diri selama lima belas menit. Petugas paramedis pun sampai memberikan ia oksigen dan menggosok-gosok telapak tangan Leonard yang dingin dan kaku. Ternyata, laki-laki itu terkena hypoxia[1]. Udara dingin telah membuat pernapasannya kacau oleh sebab ia melepas jaket bulu dan topi juga sarung tangannya. Aku tepuk-tepuk pipinya berkali-kali agar ia tidak tampai seperti orang i***t.             “Kau mau mati? Kalau kau mati, aku bertanggung jawab pada siapa? Kenapa kau jadi lemah seperti ini? seorang laki-laki tidak boleh bermental pecundang. Aku tidak tahu apa masalahmu karena ini, tapi aku tidak ingin melihat orang yang kudampingi mati konyol. Memangnya hidup tak terlalu mudah bagimu?” jelasku berusaha untuk menyadarkan ia dari sikap kenegatifan. Leonard menatap mataku lekat-lekat, dan ia berkata sambil menangis. Baru pertama kali ini aku melihat laki-laki menangis.             Di hadapan wanita.             “Aku hidup sendirian di Belanda, sejak keluargaku mati dibunuh oleh orang gila. Saat itu aku tidak bersama mereka dan aku sudah tidak punya apa-apa lagi. Aku sangat ingin menyusul mereka dan mati di sini, di Jepang. Di mana nanti tubuhku terkubur di sini. Aku tidak peduli pada apapun, hidup tidak ada cinta, untuk apa harus berlanjut?” itu katanya, aku bisa merasakan kesedihan itu. Laki-laki itu merasa putus asa dan kesepian. Entah kenapa rasa empatiku pun tumbuh, aku memeluknya erat dan mengusap-usap punggungnya.             “Jika kau mati bunuh diri untuk mereka, kau telah salah jalan. Sebab Tuhan menyisakan dirimu sebagai penerus keluargamu, agar tidak habis pada garis mereka. Tentunya, kau laki-laki paling t***l yang kukenal. Apakah nyawa semurah itu? bahkan seorang paling hebat pun tidak bisa membuat nyawa!” seruku tegas meyakinkan padanya agar Leonard tersadar dari keinginan bodohnya. Ia pun terdiam dan melanjutkan tangisnya. Aku tahu bahwa kehilangan keluarga adalah salah  satu ujian terberat yang ada.             Satu yang kudengar darinya saat itu, ia berkata bahwa ketika seekor rusa yang mendatanginya itu menatap matanya tajam seolah membuka potongan film kehidupan Leonard. Sedetik itu pula ia merasa nafasnya tercekat. Ia merasaakan mati detik itu pula.             “Aku sudah bisa merasa bagaimana rasanya mau mati tercekik.”                                                                                 * Enam bulan kemudian             Tak terasa aku kembali membaca buku agenda perjalananku menemani seorang turis asing dari Belanda. Aku ingat, selepas ia menceritakan padaku tentang sepasang mata rusa yang menatapnya tajam. Leonard tidak mengetahui bahwa rusa itu dalam dipertimbangkan Shinto sebagai utusan dewa. Jadi kurasa, Leonard terselamatkan karena utusan dewa itu memang telah menyelamatkan ia dari keterpurukan dan rasa putus asa. Jika kau tahu seberapa letih  tapi bercampur bahagianya aku saat mengantar Leonard pulang diantarkan mobil ambulans ke rumah paman. Ayahku sangat terkejut bukan main hebatnya, ia pikir aku bercanda dengan mengirim SMS sebelumnya. Ternyata benar adanya. Setelah Leonard sudah baikan, ia memutuskan untuk kembali lagi ke Belanda dan berjanji untuk kembali lagi jika perasaannya sudah baik.             Aku tahu bahwa sebenarnya ia mempunyai harapan untuk terus hidup, tapi ada satu yang ia katakan padaku pada bisikan sebelum ia pulang ke Belanda. Sesuatu yang membuat tengkukku merinding.             “Miss Sayuri, enam bulan selepas ini aku akan kembali menemuimu. Tentunya aku ingin agar kau lagi yang mengantarkanku kemari. Kutinggalkan alamat emailku, kita bisa saling berkirim pesan di sana. OK! I like you.” Kemudian tanpa diduga ia mengecup pipi kananku sekecup. Ah! Memerahlah pipiku, sebab ini kecupan pertama kali yang kudapat dari seorang turis asing. Tapi, yang kutahu sih…, kecupan orang asing itu biasa dilakukan. Hmmm, tak apa. Yang pasti dialah seorang laki-laki yang membuatku jatuh cinta pertama kali. Dan kuharap ia memenuhi janjinya untuk kembali datang ke Kyoto.             “Sayuriii!” panggilan keras ayahku dari luar membuyarkan segala lamunan tentang Leonard. Aku rasa ayah memintaku untuk mengantarkan tofu-tofu pada si pemesan. *             “Apa?” aku terkejut saat ternyata di samping ayah itu adalah paman Hitoshi dan entah mengapa kedua lelaki yang rambutnya memutih itu senyum-senyum padaku. “ayah bilang apa?”             “Ikutlah paman Hitoshi sekarang, kau punya tugas lagi sekarang mendampingi seorang turis jalan-jalan.” kata ayah yang mendadak membuatku girang bukan kepalang. Aku berjingkrak-jingkrak dan memeluk ayah serta paman, akhirnya setelah kejadian yang membuat ayahku trauma sejenak itu aku diijinkan lagi untuk menjalani tugas sebagai seorang guide.             “Turis darimana?” tanyaku penasaran.             “Belanda,”             “Belanda lagi, apa?!” aku kembali terkejut, “Belanda, jangan-jangan…, apa dia?”             Paman Hitoshi menganggukkan kepala. Aku terperanjat hebat, sepertinya ini sebuah kejutan karena Leonard tidak memberitahukanku kapan ia datang tepatnya. Dan ternyata ia sudah ada di Kyoto di kantor tours & travel pamanku. * Musim semi-pertengahan Juni 2012            Aku bertatapan kembali dengan sepasang mata itu, tapi kini tatapannya sungguh berbeda. Yang kulihat bukanlah lagi seorang turis Belanda yang putus asa dan berniat untuk bunuh diri di Nara park, tapi kini ia seperti Leonard bahagia. Setiap senyum aku abadikan dalam kameraku. Ini sangat jarang! Pikirku.             “Kau sendirian ke sini?” tanyaku ingin tahu.             “Ya,”             “Kukira ada sedikit perbedaan, datang bersama teman.”             “Tak perlu,”             “Kau ingin aku mengajakmu kemana?”             “Nara park, aku ingin bertemu rusa-rusa itu lagi.” Leonard kini tak lagi perlu mengenakan jaket bulu tebal dan syal-syal yang melingkari tubuhnya. Ia hanya memakai kaos tipis singlet dan celana pendek selutut. Leonard ingin menikmati musim semi di Kyoto.             “Kurasa kau tak lagi terkena hypoxia, aku tak khawatir kau akan jatuh pingsan seperti saat itu.”             Dan kami berdua pun berjalan masuk memasuki area Nara park dengan santainya. Leonard lekas menghampiri rusa-rusa di sekelilingnya. Tapi beberapa rusa malah berlari ketakutan, tapi hanya ada seekor rusa yang berhenti di depannya dan mengendus-endus sepatu Leonard. Dan mereka pun tahumaksudku Leonard dan rusa itu kembali bertemu di waktu musim semi. And I fall in love with him.                                                                                         TAMAT                                                                                                  *        “Jadi begini ceritanya?” celetuk Pak Ardhan mengakhiri bacaannya atas cerpen Liliana.       “Jadi, bagaimana?” Liliana menatap lekat mata Pak Ardhan, berharap mendapat jawaban yang memuaskan atas hasil begadangnya tadi malam.       “Ehm,”       “Jelek ya?” Liliana memasang muka cemberut.       “Ambilkan saya permen di toples,”       “Apa? Kok permen? Jadi ceritanya gimana?”       “Ambilkan permen dulu,”       Liliana beralih ke depan membuka tutup toples berisi permen wangi dan diberikan pada Pak Ardhan.       “Jadi gimana? Jelek ya?”       Pak Ardhan terfokus membuka bungkus permen wangi itu sambil berkata, “Sudah saya baca semua, dan …,”       “Dan apa?” semakin memasang wajah serius matanya yang bulat itu tak pernah lepas dari tatapan Pak Ardhan.       “Dan ceritanya,”       “Ceritanya …,”       “Manis,”       “Manis?”       “Manis seperti ciuman ini,” diraihnya kepala Liliana dan bibir Pak Ardhan pun mendarat ke bibir Liliana dalam tempo sedetik.       Liliana terkejut tapi tak bisa berkutik dan hanya bisa menerima ciuman manis yang terasa lembut itu pada bibirnya yang terpoles lipstik peach-nya. Kali ini ciumannya terasa berbeda, entah mungkin karena di sofa. Sedang tangan kanan Pak Ardhan masih membawa kertas cerpen Liliana. Ciuman yang dimabuk kepayang, benar-benar lembut dan berbeda dengan ciuman-ciuman sebelumnya. *                                                                                                   [1] Hypoxia adalah suatu keadaan dimana jaringan tubuh kita kekurangan oksigen.                                                     
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD