BAB 58 Kecupan di Bawah Lampu Merah

670 Words
CEE Publishing             Hari Senin yang berbeda, hari di mana para karyawan kantor telah mempersiapkan sesuatu untuk menyambut kedatangan pasangan sejoli yang akan menikah dalam waktu dekat ini. Semua hiasan berupa balon dan kue tart pun disiapkan di tengah-tengah ruangan. Pastinya Pak Ardhan tidak akan berangkat sendirian kali ini, pasti bersama dengan tunangan barunya, Liliana.             “Kita akan punya ibu bos baru sebentar lagi, hihihi …,” celetuk si Toni menempelkan huruf-huruf di depan pintu ruangan bosnya.             “Tak habis pikir kalau ibu bos kita adalah teman kita sendiri, ini heboh!” sambung si Ibrahim terkekeh-kekeh.             Hana dan Rosita tak menggubris ocehan kedua lelaki yang suka banyak omong. Hana, Rosita sibuk menyiapkan piring-piring kecil untuk tempat roti nantinya. Pun juga telah mempersiapkan foto bersama para karyawan. Kejutan tanpa diduga ini tidak diketahui sama sekali oleh Pak Ardhan begitupun dengan Liliana sendiri. Semua serba dadakan apalagi kabar tentang pertunangan mereka berdua sempat dirahasiakan dari khalayak ramai.             “Hei, mobil mereka sudah datang!” teriak Ibrahim yang baru saja mengintip ke luar jendela. *             Sebelumnya…             Pak Ardhan menjemput Liliana ke rumahnya dan berniat untuk mengajaknya ke kantor bersama-sama. Awalnya Liliana menolak setengah mati lantaran takut dibully oleh teman-temannya sendiri, malu adalah hal luar biasa yang akan dialaminya jika duduk bersama dengan CEO penerbitan dan dia diminta untuk terus menemaninya di ruang kantor. Tentu saja bukan lagi sebagai penulis kesayangannya tapi tunangan kesayangan Pak Ardhan.             “Lili, mobil Pak Ardhan sudah di depan, cepatlah keluar dari kamar!” Pak Sarjo mengetuk-ngetuk pintu kamar Liliana yang sejak semalam tertutup dan terkunci.             “Nggak mau, Lili nggak mau keluar!” tolaknya tegas.             “Kenapa? Dia calon suamimu, nggak baik begitu,”             Merasa seperti Siti Nurbaya yang dijodohkan dengan Datuk Maringgih, Liliana tetap keukeuh tidak mau keluar dari kamarnya.             “Keluarlah, Nak. Jangan bikin kami sedih dengan sikapmu itu?” rayu Pak Sarjo berusaha terus membujuk putrinya.             “Dia punya banyak teman wanita, Yah …,”             “Tapi dia memilihmu sebagai istrinya,”             “Ayah, tapi …,”             “Keluarlah,” *             Dalam perjalanan menuju ke kantor, Liliana yang duduk di samping Pak Ardhan semenjak tadi terus memasang wajah cemberut. Tidak mau berbicara sepatah katapun, pandangannya terus menoleh ke sisi kaca jendela mobil. Melihat sikap yang demikian itu, Pak Ardhan merasa tidak enak hati dan meletekkan tangan kirinya ke tangan kanan Liliana.             “Kamu mau kubelikan apa, biar senang?”             “Aku ingin kembali ke Padepokan,”             “Tidak,”             “Bukannya Padepokan itu menolakmu?”             “Tidak,”             “Kalaupun tidak, kenapa saat malam itu kamu tidak ke sana?”             “Tidak tau,”             “Selain ke Padepokan ke mana? Alternatif lain?”             “Pak Ardhan yakin mau menikahiku?” Liliana menoleh ke arah Pak Ardhan. Saat itu Pak Ardhan terfokus mengemudi dan tidak melihat Liliana sedang menatap wajahnya.             “Kau menanyainya lagi, seribu yakin sejuta yakin semilyar yakin, aku akan tetap menikahimu! Titik!” tegasnya lantang.             Liliana menundukkan wajah dan memainkan jari-jemarinya. Seperti biasa jika hati dan pikirannya terasa galau, kebiasaan seperti itu selalu dilakukannya.             “Menikah itu bukan ajang main-main,”             “Saya tidak main-main,”             “Tapi, saya … tidak terlalu mencintai Anda, Pak …,” kata-kata yang mengejutkan itu menghentakkan hati Pak Ardhan sampai dia memencet bel mobil dengan keras selama beberapa kali tanpa alasan.             “Tidak perlu terlalu mencintaiku, yang penting saya mencintaimu,” kala itu rambu-rambu lalu lintas berubah merah dan semua kendaraan pun berhenti selama beberapa saat. Di waktu itu, Pak Ardhan langsung mengambil kesempatan untuk melepas kemudi mobil dan menarik lengan Liliana untuk dihadapkan ke wajahnya dan seketika lelaki itu mengecup bibir Liliana dengan lembut. Hanya beberapa detik sampai membuat pipi Liliana bersemu merah dan beringsut ke sudut.             Lampu rambu-rambu lalu lintas berubah hijau. Dan semua kendaraan pun kembali melaju. Sementara itu, detak jantung Liliana dag dig dug tak keruan. Antara terkejut, sedih bercampur malu. Tapi separuh hatinya pergi ke tempat yang lain, dan jika separuh hatinya itu tidak dihilangkan lebih dulu, maka akan tetap bersemayam terus.             “Roki ….” *                                                      
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD