BAB 57 Penjara-Penjara Cinta

817 Words
Padepokan Meditasi Tunggal             Tirta tengah sibuk merawat keris-kerisnya, tepat di malam Jum’at Kliwon. Dirinya selalu memandikan keris-keris itu agar tetap terjaga fungsi dan kegaibannya. Keris-keris itu berkhodam dan memiliki energi di setiap keris. Pun setiap keris memiliki fungsi masing-masing, dari yang untuk kewibawaan, rejeki, ataupun pagaran gaib. Benda-benda pusaka yang didapatnya dari warisan leluhur turun-temurun. Dan dirinya yang mendapatkan amanah untuk terus merawatnya, sebab itu adalah pesan dari leluhur agar jangan sampai terbengkalai atau melupakan mereka. Keris pusaka kesayangan Tirta ada satu diantara pusaka-pusaka lainnya, di dalam ruangan khusus yang dijadikan sebagai tempat beradanya keris dan acara ritual tersebut. Jika keris pusaka itu tidak dirawat maka khodam atau gaib yang berdiam di dalamnya akan pergi atau bahkan hilang. Setiap benda pusaka memiliki karakter dan tuah yang berbeda-beda antara satu dengan yang lain.             Lelaki itu mengoleskan minyak mistik pada sebilah keris, namun tiba-tiba saat dirinya terfokus pada keris di genggamannya. Sesosok wajah muncul di dalam benaknya, Tirta meletakkan benda pusaka itu kembali ke atas meja dan beralih ke ruangan meditasi. Seperti biasa, jika ada sesuatu hal yang melintas bisa dipastikan ada sesuatu yang membutuhkan dirinya.             “Liliana,” gumamnya dalam hati. Sedikit ada rasa bersalah karena tak menerima Liliana menjadi muridnya hanya karena satu, dua hal. Di mana Liliana masih sering bermain ke Padepokan lain selain Padepokannya sendiri. Dan itu agak mengkhawatirkan sebab dulunya ada murid yang memiliki karakter seperti Liliana dan terkenal suka membanding-bandingkan ilmu gurunya dengan guru di Padepokan lain. Istilahnya adalah adu asah, Tirta takut hal yang sama akan terulang kembali untuk kesekian kali. Dulu, ada seorang murid yang ingin diajarkan ilmu dan Tirta rela mengajarnya tanpa memungut bayaran sepeser pun. Ilmunya pun diajarkan juga pada murid-muridnya yang lain, dengan catatan saat mereka sudah bisa menguasainya maka ilmu tersebut dipergunakan untuk menolong sesama tanpa memungut sepeser pun. Jadi ajaran ikhlas sebenar-benarnya adalah yang utama. Suatu hari, satu murid yang dia sebut dengan nama panggilan Wlanda ini berbeda dengan murid-muridnya yang lain. Wlenda ini cenderung kritis dan lebih suka bertanya ini-itu seakan mengasah otak sang guru atau dirinya agar bisa menjawab setiap pertanyaannya. Tirta pun berusaha menjawabnya dengan baik, dan pada suatu hari ketika hari belajar di Padepokan sedang libur, para murid diminta untuk keluar dari Padepokan dan pulang ke rumah atau berlibur sendiri.             Di sanalah dia melihat Wlanda sendiri tidak ikut pulang, dia tetap ada di Padepokan. Hal itu sempat membuat dirinya terkagum melihat Wlanda sendirian bermeditasi di gazebo dengan heningnya. Sampai akhirnya Tirta pun keluar dari Padepokan untuk mengurus sesuatu hal, di tengah jalan dia melihat sesuatu yang tak biasa terjadi. Wlanda rupanya membuka lapak pribadi di pinggir pasar dekat stasiun dan tengah sibuk meramal nasib orang berikut dengan menyembuhkan pasien dengan tarif tertentu. Setiap dari mereka diharuskan membayar seikhlasnya. Melihat hal tersebut, dihampirinya si Wlanda dan akhirnya ketahuan kalau Wlanda juga sempat menggaet beberapa wanita cantik dengan ilmu pengasihan yang pernah diajarkan oleh dirinya pada semua murid namun disalahgunakan oleh Wlanda. Disitulah awal mula Tirta tak begitu mudah menerima murid baru sebelum jauh mengenal karakter diri mereka masing-masing dan karakter Liliana tak jauh beda dengan Wlanda. Tirta memusatkan diri bermeditasi dalam keheningan dan pikirannya tertuju pada Liliana yang dalam bayangannya itu dia melihat Liliana tengah menangis. Sukma Tirta pun keluar dari badannya dan terbang melesat dalam hitungan detik melewati segala penjuru hingga sampailah sukma dirinya kini sudah ada tepat di hadapan Liliana yang sedang menangis tersedu-sedu sendirian. Liliana yang duduk bersandar di dinding dan meratapi diri atas kesedihan yang dialami. Tirta menyangka mugkin saja kesedihan itu oleh sebab dirinya, dan Liliana membutuhkannya. Tirta duduk di depan Liliana dan melihat beberapa sosok makhluk gaib berenergi negatif tengah mengitari diri Liliana. Melihat gangguan tersebut, Tirta pun dengan ilmunya yang sudah mencapai waskita mengusir satu per satu energi-energi negatif itu dengan telapak tangannya. Tapi, ada satu energi yang besar dan melekat di badan Liliana sedang dia tak bisa melihat apa itu. Tapi pandangannya kini terfokus pada tangisan Liliana yang tengah memandangi sebuah buku harian di tangannya. Air matanya membasahi buku itu dan Tirta semakin tak bisa menebak, dia berbisik pada Liliana meski tak mungkin Liliana bisa mendengar suaranya.             “Kenapa dan apa yang kau tangisi?” bisiknya di telinga Liliana. Sampai akhirnya Liliana menjawab sendiri dengan obrolan monolognya.             “Roki, sebentar lagi aku akan menikah. Dan orang yang menikahiku adalah orang yang belum begitu kucintai, cintaku hanya untukmu. Tapi kenapa semua orang yang kucintai menolakku, dan malah orang yang tidak sepenuhnya kucinta malah mencintaiku? Apakah ini karma kehidupan atau apa? Huhuhu ….”             Tirta seakan dapat merasakan perasaan Liliana dan dia mencoba untuk melekatkan telapak tangannya di pundak Liliana. Agar dia merasa ada yang menguatkannya meski tak kasat mata. Sebelum akhirnya Tirta menyudahi urusannya, dia mengecup kening Liliana dengan lembut. Meski sekali lagi tak dapat secara nyata dan benar-benar menyentuh keningnya. Dirinya adalah sukma secara gaib tak mampu untuk menjamah tubuh kasar.             “Kakak akan terus mengawasimu dari jauh, jagalah dirimu.”                                                                                                 *
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD