BAB 56 Seonggok Buku Harian Lama

731 Words
            Cintanya pada sosok lelaki di kampusnya dulu, yang masih tersisa ruang di dalam hati dan jiwanya. Pun, jika dirinya sempat menyukai atau memberikan hati pada yang lain, namun bukan sepenuhnya. Hanya sebagian rasa saja yang dia berikan, tak lebih dari itu.         Terpaku menatap di cermin rias bundarnya, Liliana menahan air mata yang hendak menitik dan beralih dari kursi dan membuka laci mejanya yang terkunci. Laci yang terkunci itu sudah lama tak pernah lagi dibuka semenjak seseorang yang dicintainya itu pergi dan tak pernah kembali.         GREEK…         Laci itu terbuka dan terlihat seonggok buku catatan harian yang mungil berwarna hijau dengan cover gambar dua ekor kelinci yang sedang berkejar-kejaran. Sepasang kelinci yang dilanda cinta sampai-sampai dibuatlah simbol love di atas kepala mereka berdua. Liliana mengambil buku harian itu dan memeluknya. Tidak, ini bukanlah pernikahan atau lamaran impian. Lamaran ini harus dibatalkan bagaimanapun caranya, tapi … mana mungkin sedang dirinya sedang tergadai oleh hutang. Pun juga jika menolak lamaran dari bosnya sendiri, Liliana akan ditendang dari dunia penerbitan. Apalagi waktu itu sempat dia mendengar kata-kata dari Pak Ardhan bahwa ;         “Jika kau berusaha menggagalkan apa yang kuinginkan, saya bisa melakukan apapun padamu. Dengan kau keluar dari penerbitan, akan kuhubungi semua CEO penerbitan untuk menolak naskahmu begitupun juga dirimu, kau hanya milikku seorang. Titik.“ tegasnya kuat. Siapa yang tidak bergetar hati saat mendengar kata-kata penuh kecaman itu dan berlaku pada dirinya seorang. Seposesif inikah bosnya. Dan jika dia benar menjadi milik Pak Ardhan seorang, boleh jadi Liliana akan terkurung di dalam sangkar emas seperti burung piaraan.         T OK … TOK …         Ibunda Liliana mengetuk pintu dan meminta putrinya agar lekas bersiap keluar dari kamar dan duduk di ruang depan. Sementara tamu-tamu dari keluarganya sudah datang dan suasana rumah Pak Sarjo tampak ramai. Tamu dari pihak keluarga Pak Ardhan pun juga sudah datang, ada dua mobil yang kini terparkir di halaman depan rumah Pak Sarjo. Pihak keluarga dari Liliana pun menyambut kedatangan calon menantu yang terlihat mentereng dengan balutan kemeja elegan dan dandanan yang lebih necis dari biasanya.         “Assalamualaikum, “ sambut Pak Sarjo dengan Bu Lien yang mempersilakan mereka semua masuk ke dalam.         Sementara itu, Pak Ardhan tanpa babibu tatapan matanya mencari-cari sosok Liliana diantara yang lain. Dan mata keduanya saling bertemu. Pak Ardhan terpukau melihat dress Liliana yang menambah kecantikannya, sementara Liliana menyunggingkan senyum simpulnya lalu kembali menunduk.         “Lili, “ panggilnya memberi kode-kode dengan lirikan mata genitnya.         “Apa, Pak ? “ jawab Liliana pelan.         “Kau cantik sekali, “ bisiknya lagi.         “Pak Ardhan juga ganteng, “ balasnya tersipu dan terus menunduk. Kata ibundanya, calon pengantin kalau dipertemukan jangan sering-sering bertatap muka nanti bisa tidak kuat hati. Meski sebenarnya dia ingin mengutarakan yang sebenarnya, ya … mungkin sudah saatnya dia akan mengatakan yang sebenarnya. Bahkan selepas nanti acara makan siang selesai, saat keduanya punya waktu untuk berbincang-bincang.                                                                                         *         “Jadi, saya inginnya nanti setelah mereka berdua menikah. Nak Ardhan ini nanti tinggal bersama Liliana di rumah saya yang lama. Karena kebetulan rumah itu sudah lama kosong, dan memang harus dihuni agar tidak angker.” Begitu kata Pak Sarjo mengejutkan Liliana pun juga Pak Ardhan sendiri.         Dan kini Pak Ardhan juga Liliana duduk bersebelahan sambil saling berganti memandang. Saat Liliana memandang, Pak Ardhan memalingkan wajah. Begitupun saat Pak Ardhan memandang, Liliana melengos. Digenggamnya tangan kanan Liliana dan diremasnya pelan seraya berkata,         “Saya akan menjagamu, di rumah itu. Biar kau tidak takut lagi, dan juga kau harus mengatasi rasa takutmus sendiri agar tidak semakin takut dan menjadi Liliana yang pemberani.” Katanya.         “Tapi …”         “Tidak ada tapi,”         “Saya tidak begitu mencintaimu,”         “Setidaknya suatu hari kau akan mencintai saya sepenuhnya,”         “Tapi,”         “Apa lagi?”         “Apakah harga diri saya ini sebatas 120 juta saja?”         “Tidak, kau bahkan lebih dari itu,”         “Kalau begitu, bolehkan saya …, »         “Tidak, tidak boleh, “         “Tapi, saya belum ngomong apa-apa, “         “Kau tidak boleh membatalkan lamaran dan pernikahan ini. Titik.”         GLEK!          Tenggorokan Liliana pun serasa tercekat, serik, lidahnya kelu. Angin kencang mendadak berhembus kencang, seakan menandakan sesuatu firasat yang tidak baik. Dan Liliana pun merasa perutnya mual lalu muntah-muntah. Sepertinya begitu, Kala pernikahan adalah paksaan, Seharusnya tidak perlu ada pernikahan, Pernikahan bersyarat tak pernah bahagia, Sepertinya begitu, Hingga raga ini tak mau menerimanya .. Lalu memuntahkannya sampai habis … Habis kata-kata … “Liliana!” *
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD