Dear diary,
Ayah marah! Tiit, itu saja.
Liliana dihukum di dalam kamar dan tidak diperbolehkan keluar ke mana-mana. Apalagi setelah Cleon juga terkena amukan besar Pak Sarjo saat tahu Liliana dibawa pulang ke rumah dalam kondisi ketakutan dan wajah yang memucat pasi seperti baru melihat hantu. Melihat keanehan tersebut, bertanyalah Pak Sarjo pada kedua insan yang saat turun dari motor mereka sampai terjatuh saking lemas kakinya.
“Kalian ini kenapaaa?!” Pak Sarjo membantu keduanya berdiri. Sedang helm Liliana yang baru dilepas itu sampai menggelinding.
Cleon dan Liliana tidak bisa berkata-kata, lidah mereka terasa amat kelu. Wajah-wajah memucat, tubuh yang lunglai. Pun akhirnya Liliana menangis tersedu-sedu.
“Maafin Lili, Yah. Lili nggak minta izin buat main ke rumah situ,”
Pak Sarjo mengernyitkan alis, “Rumah situ siapa?”
“Rumah lama,”
“Hah? Astaghfirullah! Terus!” Pak Sarjo mengangkat badan Liliana dan membopongnya masuk ke dalam.
“Lili ke sana, tapi.. tapi cuma sebentar aja,”
“Cleon?”
“Cleon diserang,”
Pak Sarjo tak habis pikir Liliana punya nyali mendatangi rumah lama tanpa ada pendamping yang mumpuni mengawasi dalam hal gaib. Tetiba teringat dengan ucapan Raden Sukmajati tadi pagi yang menghubunginya dan mengatakan kalau hari ini Liliana harus dijaga dan tidak boleh keluar rumah tapi tidak digubris olehnya.
“Oh, Lili,”
Cleon menghampiri Liliana dan meminta maaf pada ayahnya. Meminta maaf karena tidak jujur saat keluar membawa Liliana. Pamitnya main keluar saja, tahu-tahu main ke rumah lama yang belum dibersihkan.
“Cepat pulang, lalu mandi air garam,” tuturnya pada Cleon yang merasa bersalah.
“Iya, Om. Saya pamit pulang dulu,” Cleon pergi berlalu dari hadapan mereka dan motor sport itu melaju kencang.
“Maafin Lili, Yah,”
“Duh, ini ibu masih keluar. Kalau tau kamu kayak gini, gimana histerisnya ibumu nanti,” Pak Sarjo melongok keluar, memastikan istrinya belum pulang dari acara arisan RT. Tapi yang terjadi, sesosok wanita berbaju kuning cerah itu berdiri diam dengan tatapan kebingungan sekaligus penasaran.
“Ada apa? Lili kenapa?”
*
Liliana menjerit-jerit di dalam kamar. Bayangan tentang sesosok-sosok yang ada di dalam rumah lamanya satu persatu mendatanginya. Mendengar jeritan Liliana, orang tuanya pun bergegas membuka pintu dan melihat kondisi putrinya yang meringkuk di balik selimut.
“Lili, Lili, ada apa?” Bu Lien memeluk Liliana yang kondisinya semakin mengkhawatirkan.
“Ayah, bawa aku kembali ke Padepokan. Di sana ada yang bisa mengurusku, Yah,” pinta Liliana, nada suaranya melemah seperti kehabisan tenaga.
“Ketemu siapa? Iya, Ayah antar ke sana,”
“Kakak Tirta, kemarin aku diminta balik kalau urusan di sini sudah selesai. Lagipula, Liliana tidak berani kembali ke rumah lama. Kalau badan masih seperti ini, paling tidak Liliana harus dibentengin dulu biar jangan sampai keganggu macam-macam,” jelas Liliana masih merinding dan mengingat-ingat kejadian tadi siang bersama Cleon. Liliana teringat akan gambar sketsa penjaga gaibnya. Dia mengambil tas yang ada di samping bantal dan mengeluarkan selembar kertas bergambar sketsa tersebut pada ayahnya.
“Apa ini?”
“Kapan lalu itu, Lili ke Padepokan lain ketemu sama orang yang terima jasa sket gambar penjaga gaib, Yah. Dan mereka bilang ini gambar si Kakek gaibnya Lili yang ngikutin sejak kecil,”
Pak Sarjo melihat gambar sketsa itu dan mendadak merinding. Seperti tersedot ke dalam dan melihatnya dalam keadaan nyata.
“Sudah, kamu masukkan ini ke tasmu. Ayah akan persiapkan semua kebutuhanmu buat besok. Ayah juga ingin tahu siapa guru Padepokan itu,” Pak Sarjo keluar dari kamar Liliana, berganti dengan sosok ibunda yang kini menemaninya.
“Kamu sudah enakan?”
Liliana menganggukan kepala. “Sabarlah, semua akan terlewati.”
“Iya, Bu. Insya Allah.”
*
Kaka Tirta, saya besok ke sana.
Diantar sama Ayah. Tunggu saya ya, Kak..
Begitulah pesan chat yang dibaca oleh lelaki itu sesaat setelah baru saja selesai bermeditasi. Lelaki itu menghela napas panjang, waktu yang dinantikan sudah datang. Di dalam meditasinya, sebelum dia menerima pesan dari Liliana seperti mendapatkan gambaran. Seorang perempuan tengah berlari-lari menghadapnya dengan wajah ketakutan. Di belakang perempuan itu ada gumpalan energi negatif berwarna hitam yang selalu mengikutinya ke manapun dia pergi.
“Liliana,” gumamnya pelan lalu tersenyum saat melihat stiker gadis kartun sedang berurai air mata. Dan dia pun menjawab:
Baik, Kakak tunggu ya…
Teman-temanmu juga sudah pada kangen ini J
Dan, enter.
Tirta beralih ke meja khusus untuk mengadakan perenungan tiap malam dan mengukir kata-kata di atas kertas dengan penanya.
LATIFAH
Titik-titik ada di dalam titik itu sendiri
Dari satu hingga ke tujuh titik
Satu tambah satu menjadi dua
Satu tambah satu menjadi banyak
Begitulah yang terjadi
Tiada batasan apapun
Sekat-sekat sirna sudah
Titik-titik membentuk
Aksara tanpa makna
Aksara penuh makna
Bias-bias tertabur sudah
Mengikis segala makna
Itulah Latifah
Langit dan bumi
Menjadi tanda kursi singgasana
Alam semesta tanda kekuasaan
Itulah kebesaranNya
Allah Maha Besar
Dari titik
Menjadi titik
Kembali ke titik
Tiadalah titik
Titik-titik..
Yang ada hanyalah
Dalam titik itu sendiri
Lalu ke mana kamu cari titik itu?
Atau kamu hanya uji coba terus,
Penuhi dirimu dengan kebebalanmu?
Atau kamu merasa pandai dari lainnya,
Penuhi dirimu dengan teori ngawurmu?
Atau kamu merasa luar biasa,
Penuhi dirimu dengan semua yang harus percayaimu?
Itu salah besar…
Sampai matipun kamu takkan bisa
Temukan itu
Temukan dan carilah ujungnya titik
Disitulah ilmu itu berada
*