BAB 13 Seorang Lelaki Sakti dan Jin Pengganggu

1241 Words
Tahun 1900             Di sebuah kota bernama Kota Pati-Juana, Jawa Tengah. Tepat suatu senja menuju ke malam, perpindahan dari sore ke malam. Biasanya menjadi masa di mana menyatunya satu dimensi alam gaib pada dunia manusia. Sebab di dunia alam gaib tidak ada cahaya matahari dan yang ada hanya malam dan gelap saja. Tepat memasuki waktu maghrib, jam setengah enam sore. Seorang lelaki bertubuh tegap tengah berjalan-jalan melewati jembatan kecil jalan menuju rumahnya. Rupanya saat itu dia baru saja pulang dari mengunjungi rumah seorang kerabat dekatnya untuk membantunya mengobati penyakit kerabatnya yang terkena guna-guna. Tepat di tengah perjalanan pulang, tiba-tiba muncul sesosok kakek-kakek yang membawa tongkat berdiri di tengah jembatan dan menghalanginya.             “Tolong gendong saya sampai ke depan, Nak,” begitu kata si Kakek bertongkat yang mengenakan baju putihnya. Lelaki bertubuh tegap itu pun dengan santai mengiyakan dan menaikkan si kakek ke punggungnya lalu berjalan sampai ke depan.             “Siapa namanya Mbah?”             “Ki Abisatya,” jawabnya sambil terkekeh-kekeh.             “Oh, Mbah Satya,”             “Iya, Nak. Rumah kamu di mana?”             “Di depan situ, belok kiri, Mbah. Mbah mau turun di mana?”             “Di depan sebelum rumahmu saja,”             “Baik, Mbah,” tak terasa perjalanan pun sampai. Dan sebenarnya jika dilihat dengan mata biasa, tak nampak sosok lelaki bertubuh kekar itu tengah menggendong seseorang di punggungnya.             “Nak namanya siapa?”             “Kamandaka,”             “Nama yang bagus, turun di sini saja. Terima kasih, Nak.” Kakek bertongkat itu pun turun dan kemudian dia melambaikan tangan sebelum akhirnya menghilang begitu saja.             Kamandaka manggut-manggut dan belok ke kiri masuk ke dalam pekarangan rumahnya. Sambil membatin di dalam dirinya.             “Jika engkau berpikir aku tidak tahu kau siapa, Mbah. Kau salah, bahkan dari kejauhan sebelum kau sapa, aku sudah lebih dulu tahu bahwa kau akan menghadangku di tengah jalan.” * Akan datang lagi, Sosok yang sama, Meminta hal yang sama, Sampai datangnya yang ketiga             Kamandaka baru saja keluar dari rumah kerabatnya lagi yang terkena santet kiriman dari dukun ilmu hitam. Tugas Kamandaka kali ini agak berat karena si kerabat bernama, Wandi ini terkena santet berupa paku-paku yang sudah karatan dan dimasukkan ke dalam beberapa anggota tubuh seperti perut, d**a dan kaki. Alhasil kerabatnya yang satu itu tidak bisa berjalan dan duduk, tiap hari hanya rebahan saja di atas kasur seperti kembang amben. Sedangkan tubuh Wandi sudah mengurus kering karena tidak mau makan. Setiap kali makan, dia mengeluh sakit perutnya.             Dengan ilmu putih yang dimilikinya, Kamandaka perlahan mengeluarkan satu per satu paku yang menghujam di dalam tubuh Wandi. Kesaktian yang dimilikinya pun sangat mumpuni untuk mengobati beberapa penyakit non medis. Yang tidak dapat diobat secara medis, dan satu per satu paku berkarat itu telah berhasil dikeluarkannya.             “Bismillahirrahmanirrahiim,” sebuah paku karatan diletakkan di atas kain putih dan berlanjut mengambil paku kedua, ketiga dan seterusnya hingga kesemuanya terkumpul sepuluh paku. “Mas Wandi, saya balikan dulu pakunya ke dukunnya ya,”             Tapi Wandi menahannya, “Jangan, Dik Kaman. Biar saja yang balas Allah, saya nggak mau ikut terkotori hal yang sama seperti mereka,”             “Tapi Mas ini disantet sama dia,”             “Ya sudah, tak apa, yang penting saya sudah berhasil disembuhkan sama Dik Kaman,” jawabnya dengan ikhlas hati.             “Ya sudah, kalau gitu saya bantu pagerin saja biar nggak bisa dikirim-kirim lagi. Dan mulai sekarang coba tidur di atas tikar saja biar kalau ada yang mau niat jahat pecah duluan sebelum sampai,”             Wandi mengangguk dan menggenggam tangan sahabatnya yang satu itu, “Beruntung saya punya sahabat sakti seperti kamu.”             “Ya sudah, saya pamit dulu. Mau maghrib,” Kamandaka beranjak dari tempat duduk dan membawakan beberapa madu untuk dikonsumsi Wandi agar cepat bugar kembali.             “Dik Kaman, semoga Allah membalas pahala yang berlipat untukmu.” Wandi melambaikan tangannya dengan senyuman lepas. Sudah banyak praktisi yang datang namun tak semuanya berhasil menyembuhkan Wandi. Sebelum akhirnya diambil alih oleh Kamandaka.             “Terima kasih, Mas. Semua datang dari Allah dan kembali ke Allah.” Dan Kamandaka pun berpamitan pulang. Seperti biasa kala itu adzan Maghrib akan berkumandang, dan seperti biasa Kamandaka selalu berjalan kaki menuju ke rumahnya sambil melihat ke sekeliling.             Awalnya dia hanya melihat bayang-bayang putih saling berkelebat dari sudut-sudut jalan. Kamandaka tahu bahwa di waktu itu masuknya dimensi lain menembus dimensi manusia. Kegelapan adalah dimensi alam gaib. Bersatunya dimensi yang berbeda yang membuat dirinya sering mengalami beberapa fenomena-fenomena gaib.             Termasuk munculnya sesosok Kakek bertongkat yang kedua kalinya ini menghadang jalan di tengah jembatan.            “Hai, Nak. Ketemu lagi, bisa gendong Mbah?”             Dan Kamandaka pun kembali menyanggupinya.                                                                             *          Hari ketiga. Kamandaka sengaja berjalan-jalan keluar saat hampir Maghrib, dia sengaja menunggu kedatangan Kakek bertongkat itu untuk menggendongnya. Dan pada gendongan ketiga itu, Kamandaka menyiapkan Ajian pelebur jin  yang paling ampuh untuk membuat jera jin pengganggu. Di mana dirinya sudah berhasil menguasai Ajian tersebut sebelumnya tapi baru akan dipraktekkan pada si Kakek bertongkat itu. Untuk mendapati Ajian ini, dia harus menjalani beberapa laku tirakat diantara lain, puasa Senin dan Kamis selama 7 Senin dan & Kamis. Puasa sunnah 7 hari dalam sebulan selama 7 bulan berturut-turut. Dan merapal mantera 75 kali selama masa puasa tersebut.             Tak lama kemudian, muncullah sosok si Kakek yang sama menyapanya untuk ketiga kali dan memintanya untuk digendong.             “Hai, Nak. Gendong Kakek lagi mau ya?” pintanya memaksa.             Dengan senang hati Kamandaka menyanggupi dan mempersilakan punggungnya dinaiki olehnya.             “Kamu baik sekali, Nak,”      “Ya, Mbah. Terima kasih,” jawab Kamandaka singkat sambil merapal mantra di dalam hati dan memegang paha si Kakek itu dengan tekanan yang kuat. “Bismillahirrohmanirrohiim,  Niyat ingsun matek aji, ajiku Gembala Geni,  Sato mara sato mati…,” ucapnya dalam hati dengan kekuatan yang dimilikinya dan kemudian terdengar suara teriakan yang sangat keras dari si Kakek itu yang kemudian tiba-tiba berubah menjadi seonggok daging tua yang menggelapar-gelepar.       “Ampun! Ampun! Ampun!”             Dibawalah seonggok daging tua itu masuk ke dalam rumah dan Kamandaka bersiap-siap untuk menggorengnya.             “Bagaimana, Kek? Mau digoreng?” ucapnya menggoda si Kakek yang terus meronta-ronta ketakutan. Dan saat si Kakek yang berwujud daging itu dimasukkan ke dalam wajan penggorengan. Tiba-tiba rumahnya terkena lindu dan bergoncang hebat.             “Ampun! Ampun! Tidak! Saya janji tidak mengganggu kamu lagi, Nak! Janji!” teriaknya ketakutan setengah mati.             Kamandaka dan yang ada di dalam rumah pun sampai terjatuh terkena efek goncangan yang sangat dahsyat.             “Baiklah, baiklah. Tapi ada syaratnya karena saya tidak pernah mempercayai ucapan jin tanpa janji,”             “Ya, ucapkan saja saya akan turuti seumur hidup saya di dunia sampai nanti, tapi tolong jangan bunuh saya!”             “Kau kubebaskan dari ancaman kematian, tapi kau harus menjaga keturunanku sampai nanti.” Ucap Kamandaka tegas kemudian dia kembali mengucapkan mantera pencabut ajian tadi.            Seonggok daging tua itu pun kembali mewujud menjadi seorang Kakek bertongkat yang bersujud pada Kamandaka.            “Baik, saya penuhi. Terima kasih sudah mengampuni saya.”                                                                                 *  Gusti… Dalem namung tiyang kang lemah Kang boten saged mlampah piyambak Gusti… Dalem namung tiyang ingkang gampil gripil Tansah kagoda kesenengan donya Gusti… Namung siji panyuwunku Tuntun dalem wonten ing margi kang padhang Gusti…         Aku mencari-cari dari setiap generasi ke generasi, Untuk membalas budi dan berlepas diri Dari ikatan ini,   Aku mencari-cari sesiapa yang dapat kubantu untuk menjaga diri, Sebagai balasku atas hutang kebaikan, Aku tak meminta apa, Aku hanya ingin membalas hutang budi, Pada keturunannya.   Mencari-cari tak kenal lelah, Hingga aku pun temukan seorang bayi kecil, yang manis, Meski kulihat hidupnya penuh dengan nestapa…   Aku menemukannya. [Ki Abisatya]                                                                                                                   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD