BAB 19 Sebotol Minyak yang Tertinggal

1727 Words
Apartemen Supermall Mansion        Jam weker berdering tepat pada pukul 8 pagi hari. Suasana ruang kamar tidur Pak Ardhan masih terlihat remang-remang. Sunyi dan sepi. Hanya selimut dan seprei yang sudah kusut karena mereka berdua baru saja bermain dokter-dokteran tadi malam. Pakaian Pak Ardhan teronggok di lantai, dan kini dia hanya bertelanjang d**a saja sedang separuh tubuhnya tertutup selimut tebal. Lelaki bertubuh kekar itu mengucek-ucek matanya, badannya terasa sangat lelah. Sedang bau seprei sangat khas aroma tubuh yang menggelora.             “Ufft, mana hapeku?” tangannya meraba-raba ke sekitar seprei atau balik bantal ternyata tidak terlihat gawainya itu. Pandangannya teralih pada meja di samping tempat tidur dan gawai itu teronggok di sana. Secepat kilat dia meraih gawai itu dan melihat pesan yang masuk. Sebelumnya dia mengecek riwayat panggilan masuk. Dan terkejut saat ada notifikasi riwayat panggilan dari Liliana selama satu menit. “Apa? Lili telepon? Kenapa aku tidak tau?”             Pak Ardhan turun dari kasur dan mengambil handuknya lalu masuk ke dalam kamar mandi. Membersihkan tubuh adalah hal utama yang harus dilakukan, setelah tadi malam dia bersama dengan Vindy. Tapi entah, saat itu dia merasa raganya untuk Vindy tapi tidak dengan jiwanya. Ditekannya tombol shower dan air keluar dari lubang shower, segar dan dingin. Pak Ardhan mengingat-ingat apa saja yang dilakukannya tadi malam tapi tak semuanya teringat. Bahkan deringan telepon pun tak terdengar akibat nafsu yang terlalu memuncak melupakan segalanya. Vindy tadi malam sangat menggairahkan. Pikir Pak Ardhan. Tubuhnya letih, ingin hati ada hari untuk dirinya absen masuk kantor. Tapi pagi jam sepuluh nanti ada rapat yang akan membahas soal strategi marketing secara digital bersama dengan team marketing perusahaan.            sudah. Waktunya Pak Ardhan sarapan, hidup sendirian di apartemen tak membuatnya kesepian. Banyak waktu dipikirkan hanya untuk pekerjaan, bahkan dia termasuk tipe seorang workaholic sejati. Beberapa tugas kantor sengaja dibawanya pulang agar lekas selesai sesuai waktu. Sebab itulah, Pak Ardhan paling tidak suka orang yang tidak disiplin. Mengatur penulis-penulis yang lebih dari 150 orang itu tidaklah mudah. Di antara mereka kerapkali minta diistimewakan. Padahal bagi Pak Ardhan, istimewa itu hanya untuk satu orang saja dan itu Liliana.             Pak Ardhan kembali mengingat pertemuannya pertama kali dengan Liliana. Adalah saat dia bertandang ke perpustakaan dan Liliana terlihat sibuk mengetik di laptopnya tanpa tahu bahwa dia sedang diperhatikan dari depan. Dan seketika Pak Ardhan menggodanya untuk pertama kali dengan siulan-siulan. Saking seriusnya Liliana menulis, sampai tidak memperhatikan sekitar bahkan mendengar suara orang berbincang-bincang di dalam perpustakaan—tidak diindahkannya peraturan dilarang berbicara saat di dalam perpustakaan. Membuat Liliana menutup kuping dengan headset dan memutar lagu-lagu kesukaan. Sebab itulah dia tak mendengar siulan, headset tertutup rambut. Karena tidak dipedulikan oleh Liliana, Pak Ardhan akhirnya beranjak dan berdiri di belakangnya. Lelaki itu mencermati buku-buku bacaan yang diambil Liliana dan diletakkan di atas meja samping laptopnya.             “Hei,” tepuknya ke pundak Liliana.             Liliana terkejut dan melihat ke atas, “Ya?”             Pak Ardhan menyunggingkan senyum yang mana tentu saja membuat Liliana merasa jengah.             “Anda gila ya?”             “Oh, hehehe. Saya tertarik lihat gerak-gerikmu,” kata Pak Ardhan lalu menarik kursi di samping Liliana dan duduk.             “Oh, what?” Liliana melepas headsetnya.             “Saya suka sama kamu,” katanya langsung tanpa babibu.             Mendengar kata-kata yang bagi Liliana berkesan mengerikan, Liliana bergegas menutup laptop dan mengangkat buku-bukunya untuk dibawa ke petugas perpustakaan.             “Maaf, Pak. Saya pergi dulu,” buru-buru Liliana ngacir dan mendekati petugas perpustakaan. Dia takut kalau-kalau ada orang yang berniat jahat mengincarnya.            “Hei, kamu! Tunggu!” Pak Ardhan mengejarnya sampai ke meja petugas perpustakaan.             Melihat raut muka Liliana berubah pucat pasi dan kakinya gemetaran. Dia pun sampai memegang tangan si petugas perpustakaan.             “Mbak, Mbak, Mbak, tolong, itu orang mau culik aku, Mbak. Dia gigolo, Mbak. Tolong Mbak jauhin dia dariku,” Liliana sampai merem.             “Hei, kamu!”             “Mbak, Mbak tolong panggil polisi, Mbak!”             “Hei, kamu!”             “Mbak, kok diem aja sih, Mbak. Aku takut ini!” semakin gemetaran kaki dan tangannya. Imajinasinya mengarah pada seorang gigolo atau mucikari yang ingin menculik gadis-gadis yang sendirian. Apalagi saat itu dia sedang menulis kisah penculikan seorang gadis remaja oleh seorang Om-om yang tidak bertanggung jawab dan memperkosanya sampai berkali-kali dan hamil. Tentu saja, pikirannya mengarah ke mana-mana.             “Mbak, Bapak ini itu CEO penerbitan yang sudah sering datang ke perpustakaan ini,” kata si petugas menjelaskan.             Liliana jadi membuka matanya lagi. “Apa, Mbak?”             “Hei, kamu!” lagi-lagi panggilan’Hei kamu’ itu sedikit membuat takut Liliana.             “Oh, jadi Anda ini CEO, tapi CEO kok nakut-nakutin kayak mucikari mau culik cewek aja. Terima kasih!” Liliana meletakkan tumpukan buku-buku yang dibacanya dan tidak jadi meminjam. Dia memilih untuk ngeloyor pergi dari perpustakaan.             “Hei, kamu!” panggil Pak Ardhan sekali lagi. Tapi laju Liliana lebih cepat dan dia pun sudah naik taksi dan berlalu pergi dari pandangannya.             “Maaf, Pak. Dia itu langganan sini juga, biasa datang kalau pagi gitu, sampai jam sepuluhan terus pulang,”             “Namanya siapa?”             “Liliana, Pak,”            “Punya nomor hapenya?”             “Ada, Pak. Nomor dia tercatat di data,”             Pak Ardhan melihat onggokan buku dan tepat di urutan paling atas adalah sebuah buku yang menggelitik hati untuk membawanya. Sebuah buku yang penuh dengan cerita sejarah dan misteri.             “Anna Frank—The Diary of The Young Girl, menarik sekali dia suka baca buku seperti ini.”                                                                                     *             Baru saja dia mencari-cari kunci mobilnya yang lupa ditaruh di mana. Pak Ardhan sampai harus memanggil office boy untuk membantu mencari kunci mobil. yang hilang. Kamar yang sudah berantakan malah lebih berantakan karena kunci itu tidak ditemukan di manapun. Sampai akhirnya keduanya fokus mencari di tiap kolong-kolong, entah kolong meja atau kasur ataupun almari.             “Di mana sih?” Pak Ardhan semakin gusar saja. Jika tidak ketemu bisa-bisa terlambat datang ke kantor.             “Ini, Pak!” si Office boy itu menunjukkan satu kunci mobil yang ada di bawah kolong rak sepatu.             “Kok bisa ada di situ?”             Si Office boy garuk-garuk, “Maaf, tidak tahu, Pak,”             “Ya sudah, bawa sini,”             “Tapi saya juga menemukan ini, Pak…, botol minyak wangi,”             “Oh, ya bawa semua kemari,”             Si Office boy menyerahkan kedua benda itu pada Pak Ardhan dan pamit keluar. Sementara Pak Ardhan mempersiapkan tas dan modul-modul untuk team marketing yang baru dimasukkan ke dalam tas.             Dua benda di atas meja. Satu, sebuah kunci mobil dan yang satunya lagi, sebotol minyak wangi.             “Minyak siapa ini?” Pak Ardhan membuka tutup botol minyak itu dan mencium aromanya. Kepalanya langsung pusing dan lekas ditutupnya botol itu, dimasukkannya ke dalam saku. “apa punya Vindy? Tapi masak parfum cewek baunya gini? Ini kok baunya aneh ya?” tanyanya curiga.             Sebelum dia putuskan untuk berangkat ke kantor. Pak Ardhan teringat Liliana yang menghubunginya tadi malam dan panggilan itu diangkat, terlihat dari laporan terima panggilan di jam di mana dirinya dengan Vindy tengah bermain gulat. Ditekannya tombol call w******p Liliana, tapi hanya tampil kode ‘berdering’ saja, tidak ada jawaban.             “Terima Lili, terimalah, ayo…!” hati Pak Ardhan semakin resah. Apa yang dia lihat dari video call itu?             TUUT…TUTT..TUTT..                                                                             *  Padepokan Meditasi Apa yang harus kulakukan? Mengangkat panggilan itu atau tidak? Aku tidak mau! Aku jijik!             Dibiarkan saja gawai itu berbunyi, pun mode suara dinonaktifkan. Liliana tidak mau mengingat apapun, bahkan jika ditanya atau siapa itu yang menelpon apakah Vindy atau Pak Ardhan. Bagi Liliana dua-duanya sama saja, sama-sama bikin muak atas tingkah yang mereka berdua lakukan. Di depan matanya lagi untuk kedua kali selepas ciuman di klub malam. Apakah nanti akan terjadi yang ketiga juga dan seterusnya? Perut Liliana terasa mual.             “Kamu kenapa?” panggil Kakak Tirta yang mengajak nya duduk-duduk di gazebo pagi hari itu sambil menghirup udara segar di pagi hari yang dingin.             “Tidak apa-apa, Kak. Lagi bete aja,”             Tirta tersenyum tipis sambil mengupas buah apel yang kemudian dibelah menjadi beberapa bagian, setelah itu diberikan pada Liliana.             “Kenapa dari tadi mantengin hape terus?”             “Iya, si Bos telepon terus, bete,”             “Diangkat dong, Lil. Bagaimanapun juga dia pimpinan, kau harus menghormatinya,” ujar Tirta memberi saran.          “Nanti saja, Kak,” jawabnya cemberut.             “Kamu datang ke sini ada perlu apa saja selain ingin tahu tentang hal-hal goib?” Tirta memulai pembicaraan.             “Iya,”             “Kok cuma iya saja?”             “Iya, soalnya si Bos maksa saya buat nulis cerita tentang dunia goib, sedang saya itu tidak tahu hal apapun tentang dunia itu,” jelas Liliana menahan rasa jengkel yang sangat dalam.             Tirta mengamati setiap gerak-gerik dan mimik wajah Liliana yang terkesan berbeda. Kadang dari sisi kiri dia tampak lebih  muda, tapi jika dilihat dari sisi kanan dia jadi nampak terlihat tua.             “Mendekatlah, ulurkan tanganmu,” pinta Tirta pada Liliana. Sepertinya ada sesuatu yang aneh di dalam diri Liliana.             “Ya, ada apa, Kak?” Liliana mengulurkan tangannya agar telapak tangannya dilihat oleh Tirta.             “Hemm,” sambil mengamati satu per satu dari garis tangan, Tirta memejamkan matanya. Dan menampakkan mimik muka terkejut.             “Kenapa, Kak?”             “Apa kamu pernah merasakan sesuatu yang ganjil selama hidupmu?”             “Mengenai?”             “Apa kamu pernah kerasukan?”                                                                                             *            Ruang meeting             “Demy, masuk!” titah Pak Ardhan tak bisa ditunda dalam kondisi apapun. Serepot apapun Demy dengan make up-nya yang belum sepenuhnya sempurna, di mana bulu mata yang satu belum terpasang.             “Eh… baik, Pak!” Demy mengambil beberapa berkas-berkas yang akan diletakkan di atas meja CEO untuk ditanda-tangani. Berkas-berkas salinan MOU para penulis.             Di dalam ruangan kantor, , Pak Ardhan mengeluarkan sebotol minyak itu dan diletakkan di atas meja.             “Ini punya kamu?” tanyanya pada Demy.             Diambilnya sebotol minyak itu dan dibuka tutupnya. Lalu dicium aromanya, seketika kepalanya terasa pusing tujuh keliling.             “Minyak wangi siapa ini, Pak? Baunya bikin keliyengan,”             “Terjatuh di bawah kolong rak tadi, bukan punyamu?”             “Bukan,” Demy menggeleng.             “Lalu punya siapa?”             “Tidak tau,”             “Minyak apa sih ini?” Pak Ardhan memanggil Toni dan Ibrahim. Perasaannya agak was-was tapi tidak tahu itu kepunyaan siapa.             Toni dan Ibrahim masuk ke dalam, kemudian keduanya diminta untuk melihat botol minyak wangi itu dan mencium aromanya.             “Hemph, ini kan….!” Ucap Toni dan Ibrahim bersama-sama.             “Kenapa?” Pak Ardhan ikut-ikutan panik.             “Ini minyak pelet alias pengasihan!”                                                                                       *                                                                                                                                        
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD