#1
Matahari sudah berada di posisi paling tinggi. Cuaca hari ini sangat cerah dengan langit biru yang dihiasi oleh beberapa awan lembut, seorang laki-laki berusia sekitar dua puluh tahun sedang duduk santai di bawah pohon yang rindang menghadap sebuah danau besar. Terlihat beberapa orang sedang bermain air di danau itu. Laki-laki itu mendengar suara rumput yang bergesekan dengan sepatu mendekatinya.
"Ini menenangkan, kan?" Terdengar suara dari belakangnya.
Laki-laki itu sedikit terkejut mendengar seseorang berbicara di belakangnya. Dia menoleh ke belakang dan melihat seorang gadis berusia sekitar delapan belas tahun memakai baju tanpa lengan berwarna hitam dengan sabuk dan rok berwarna hitam, rambut hitamnya yang panjang menari tertiup angin, warna kulitnya putih bersih. Tapi entah kenapa laki-laki itu tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas, tapi satu hal yang dia tau kalo gadis yang berada di dekatnya itu sangat cantik. Gadis itu berjalan mendekat dan duduk di sampingnya. Kepalanya di senderkan di d**a laki-laki itu.
"Kau benar. Aku harap semua ini tidak pernah berakhir." Ucap laki-laki itu dengan senyum tipis di bibirnya.
"Tidak biasanya kau menurunkan kewaspadaan mu sampai pada titik kau tidak bisa merasakan keberadaanku. Kau tau itu sangat berbahaya."
"Itu karena kita sedang bersantai. Dan juga aku tau kalau itu kau."
"Dasar kau ini."
Gadis itu tersenyum dan jatuh tertidur di d**a laki-laki itu. Laki-laki itu memeluknya dengan tangan kanannya lalu ikut tertidur.
***
"Kakak … bangun. Kakak!"
Aku mendengar dengan samar suara seorang perempuan berteriak di dekat telingaku, aku juga merasa tubuhku sedang digoyang-goyang kan. Aku membuka mata dengan perlahan, sebuah siluet seorang gadis perempuan terbentuk di depan mataku, perlahan siluet mulai jelas terlihat dan aku dapat melihat siapa orang yang dari tadi berteriak dan menggoyang-goyang kan tubuhku. Itu ternyata Sisi, adik perempuanku.
"Oh, Sisi. Apa sudah pagi sekarang?" Tanyaku masih dalam keadaan setengah sadar.
"Sudah, ini sudah mau jam tuju. Ayo, kalo tidak cepat kita bisa terlambat!" Jawab Sisi sambil menarik-narik tanganku.
"Iya-iya, aku bangun."
Sisi melepaskan tanganku dan berjalan keluar kamar.
"Mimpi itu lagi," ucapku sambil memegang wajahku dengan tangan kanan. "Entah kenapa aku mengenal gadis itu, tapi siapa? Dan dimana tempat itu? Kenapa dadaku terasa sakit?"
Aku bangun dari tempat tidur dan bergegas mandi dan berangkat ke sekolah. Selama perjalanan aku terus memikirkan tentang mimpi itu, ini sudah hampir seminggu dan aku selalu mendapatkan mimpi yang sama. Tidak sepenuhnya sama sih, terkadang aku bermimpi buruk tentang pembantaian sebuah desa atau peperangan. Tapi ada satu hal yang sama yaitu, gadis itu. Dia selalu muncul di mimpiku dan entah kenapa aku merasa senang, sekaligus sedih di saat yang bersamaan setiap kali aku memikirkan tentang gadis itu. Air mataku terasa ingin mengalir keluar, rasanya seperti merindukan kekasih yang telah mati.
"Aarif!"
Tiba-tiba ada yang memanggil namaku sambil memukul pundakku. Aku tau suara itu, itu Ryan. Sahabatku.
"Ada apa?"
"Kau ini, pagi-pagi sudah melamun."
"Diamlah, aku sedang memikirkan mimpiku tadi malam."
"Kenapa? Apa kau dapat mimpi yang sama?"
Aku mengangguk pelan.
"Kau mendapat mimpi yang sama itu hal yang biasa. Meskipun persentasenya sedikit, tapi itu hal yang normal. Jangan dipikirkan." Ucap Ryan sambil menepuk punggungku dengan keras.
"Yo, pagi!" Sapa seorang gadis.
Dia ini juga sahabatku namanya Dian. Aku, Ryan, dan Dian sudah berteman sejak kecil, bahkan kami sangat dekat.
"Pagi!" Sapa aku dan Ryan bersamaan.
"Kalian sedang ngebahas apa?"
"Ini Arif, masih memikirkan tentang mimpinya tadi malam."
"Memangnya kau mimpi apa Rif?"
"Sama seperti kemarin."
"Mendapat mimpi yang sama itu hal yang normal, jangan di pikirkan."
"Masalahnya ini hampir seminggu dan aku sudah bermimpi hal yang sama berulang-ulang."
"Mungkin itu sebuah pertanda."
Tiba-tiba ada suara seorang perempuan di belakang kami. Kami terkejut karena tidak menyadarinya, saat aku berbalik aku aku melihat seorang malaikat. Seorang gadis cantik dengan tinggi seratus lima puluh delapan centimeter, berambut panjang berwarna hitam berjalan di belakang kami. Dia adalah siswi pindahan dari Jepang, namanya Sakurai Mio. Langsung menjadi idola semua laki-laki di sekolahku hanya dalam waktu dua menit.
"Tapi pertanda apa?" Tanyaku.
"Aku tidak tau, itu tergantung dengan mimpimu." Jawab Mio dan langsung pergi ke kelas.
"Sejak kapan kau dekat dengannya?" Tanya Dian.
"Beberapa hari yang lalu." Jawabku.
"Kau sudah dapat nomor hpnya?" Tanya Ryan.
"Aku sudah dapat restu tantenya." Jawabku.
Bersamaan dengan jawabanku Ryan dan Dian sangat terkejut. Dan harus aku akui ekspresi mereka sangat lucu pas mereka terkejut.
Waktunya istirahat. Semua murid berhamburan keluar kelas untuk pergi ke kantin, aku sendiri masih duduk di dalam kelas karena harus menyelesaikan pr yang aku lupa kerjakan. Untung masih ada waktu sampai siang nanti karena pelajaran pr itu masih nanti siang.
"Rif, kantin yuk!" Ajak Ryan.
"Kau saja. Aku harus nyelesaiin ini dulu."
"Ya udah." Ucap Ryan lalu pergi keluar kelas.
"Eh, Ryan! Aku titip nasi kucing dua ama es teh dua ya." Teriakku.
Ryan yang baru sampai di depan pintu menghentikan langkahnya dan berbalik dan berjalan mendekatiku.
"Uangnya?"
Aku merogoh saku celanaku dan menyerahkan uang lima ribu ke padanya.
"Thanks bro."
"Ya, ya."
Ryan berjalan pergi. Aku meneruskan kegiatanku mengerjakan pr saat aku hampir selesai soal terakhir ini susah amat. Yah, prku adalah matematika. Sebuah pelajaran yang sangat aku benci. Aku sangat payah kalo berurusan ama angka, susah masuknya. Saat otakku mulai panas aku mendengar suara yang lembut memanggilku.
"Arif!"
Aku menoleh dan melihat Mio sedang berdiri di sampingku.
"Ada apa?"
"Kau sedang mengerjakan apa?"
"Pr matematik."
"Pr? Kenapa kau tidak mengerjakannya di rumah? Malah disini?"
"Aku sibuk."
"Sibuk apa?"
"Sibuk memikirkanmu."
"Kau ini bicara apa?"
"Lupakan saja. Yang lebih penting aku minta buku pr mu."
"Untuk apa?"
"Ini nomor dua puluh ini susah amat. Aku nyontek punyamu ya? Hanya satu nomor."
"Kau ini. Bentar."
Mio berjalan ke mejanya dan membuka tasnya lalu mencari buku prnya. Setelah mendapatkannya dia berjalan ke arahku dan menyodorkan buku itu.
"Nih!"
"Thanks, kau memang orang yang baik."
"Sudahlah, cepat salin!"
Aku hanya tersenyum dan mulai menyalin pr itu. Entah kenapa aku merasa seperti ada yang melihatku dengan tatapan iri. Karena penasaran aku mengakat kepalaku dan melihat sekitar. Benar saja, seisi kelas melihatku dengan tatapan iri tapi aku memutuskan untuk mengabaikannya dan fokus menyalin pr karena aku gak mau kena semprot nanti.
"Akhirnya selesai juga," ucapku lega. "Mio, arigatou na."
"A. Nanti kau akan datang kan?"
"Tentu saja. Aku ingin menyicipi kue buatan bibimu."
"Kau sangat menyukainya ya?"
"Tentu saja. Setidaknya lebih enak dari buatanmu."
Saat aku mengatakan itu Mio menatapku dengan tatapan marah. Kurang ajar, ni anak meski memasang wajah seperti itu tetep cakep.
"Ahaha."
"Arif, golput."
Aku mendengar suara Ryan memanggilku. Aku berjalan menghampirinya dan membuka kantong plastik yang dia bawa.
"Ini kembaliannya." Ucap Ryan sambil menyerahkan uang lima ratus perak padaku.
"Sebentar. Kenapa lima ratus perak? Kau cuma beli satu es tehnya?" Tanyaku protes.
"Enggak, aku beli tiga."
"Kenapa gak beli empat sekalian? Kalo gini kan nanggung."
"Sudahlah, jangan di pikirkan dan makan saja!"
Aku mengikuti apa kata Ryan dan mulai makan.
****
Catatan : Nyaho, perkenalkan namaku Nyanko. Ini adalah cerita pertamaku di sini. Jadi jika kalian punya sesuatu yang ingin di sampaikan silahkan kasih tahu aku via komentar ya. Itu aja moga kalian suka dengan cerita aku ini. Selamat membaca. : )