3. Menjadi Pelayan

1444 Words
“Aku tidak tahu, apakah pilihan ini benar? Semua ini jelas-jelas salah. Tapi bagaimana dengan Kela? Aku tidak akan mempertahankan harga diriku lagi, Kela lebih penting dibandingkan harga diriku. Tidak masalah aku dimaki, dihina, asalkan Kela tidak menangis karena lapar,” ucap Rini dalam hati. Fajar ada di belakang punggungnya, Fajar mengikuti langkah kaki Rini yang kini sedang menuntun jalan. Rini membawa senter di tangannya dan Fajar menyalakan senter dengan ponselnya. Fajar penasaran, dia hampir tidak mendengar desahan Rini. Menidurinya, sama seperti meniduri mayat hidup. Fajar tahu benar, jika Rini berniat menggodanya maka Rini tidak akan memasang wajah kaku seperti tembok. Dari yang dia lihat dalam keremangan gelap saat sedang membenahi bajunya, Rini lebih banyak mengalihkan perhatiannya ke arah lain. Fajar menduga mungkin Rini menangis karena menyesal. “Apakah masih jauh?” Tanya Fajar sambil menatap ke sekitar. Banyak kelelawar terbang di sekitar mereka untuk mencari makan. “Sudah dekat, dua ratus meter lagi,” jawabnya sambil terus berjalan tanpa menoleh ke belakang. Fajar tidak yakin, tapi ucapan Rini benar. Sekitar dua ratus meter mereka tiba di jalan raya. Di tepi hutan mobil Fajar diparkir. Fajar sedang merogoh kunci mobil dari saku tas kerjanya, saat dia menoleh ke samping, Rini sudah tidak ada. Dan dia memutar badan menatap ke arah hutan di belakang punggungnya. Rupanya Rini sudah kembali masuk ke dalam hutan untuk pulang ke rumah. Fajar agak menyesal, dia tiba-tiba teringat ada Kela di rumah gubuk tadi. “Seharusnya aku membawakan makanan saat datang tadi,” Gumamnya sambil menghela napas berat. “Dia begitu kaku, tapi dia sama sekali bukan wanita jahat. Hidup yang begitu berat mungkin sudah mengambil harga diri darinya.” Fajar menatap langit berbintang di atas kepalanya. Fajar juga baru tahu kalau di tengah hutan itu ada lahan milik Nuril, pikir Fajar mungkin Nuril mengambilnya dari orang yang tidak bisa membayar hutang. Sampai di rumah, Fajar langsung masuk ke dalam. Dia membersihkan tubuhnya lalu meletakkan uang satu juta yang dia miliki sebagai cicilan, Fajar yang membayar hutang Rini pada Nuril – istrinya. Setelah makan malam Fajar masuk ke dalam ruangan kerjanya sejenak, duduk di kursi dalam ruang kerjanya sambil menopang dagu. Fajar terus memikirkannya, dia tidak bisa melupakan apa yang Rini katakan padanya. Rini bilang bahwa dia bersedia bekerja di komplek untuk melunasi hutang-hutang suaminya. Fajar merasa kasihan, dan ketika melakukan hubungan intim bersama dengannya tadi Fajar merasa Rini tidak boleh tinggal di komplek. “Aku harus mencari cara lain! Ya, aku harus mencari cara agar Rini bisa melunasi hutang tanpa harus pergi ke komplek Nuril,” Gumamnya. *** Keesokan harinya, sekitar pukul delapan pagi Fajar bertemu dengan Nuril. Entah jam berapa istrinya pulang semalam, yang pasti Fajar sudah terlelap dalam tidurnya. Ketika sarapan, Nuril memukul meja dengan uang satu juta yang ditinggalkan Fajar di meja Rias miliknya di meja, tepat di samping piring Fajar. “Ambil uangmu! Aku tahu ini bukan berasal dari rumah reyot itu!” Bentaknya pada Fajar lalu menarik kursi dan duduk di seberang meja Fajar. Fajar menatap Nuril yang kini sedang menikmati sarapan pagi. “Kenapa melihatku seperti itu?” Tanya Nuril santai. “Bagaimana tubuhnya Rini? Bagus?” “Nur, aku ...” Fajar hampir tidak bisa menelan nasi dalam mulutnya. “Nggak usah sok gugup! Aku bisa membaca isi kepalamu yang kotor!” Tambahnya dengan tatapan merendahkan. “Tidak mungkin dia punya uang sebanyak itu. Kalau punya pasti sudah dihabiskan sama si Ranto!” “Ranto pelanggan komplekmu kan? Kamu juga tahu dia menghabiskan uangnya di mana. Kenapa jamu tidak menasehatinya? Seharusnya kamu bisa ....” “Heh! Nggak usah ceramah! Sok suci, mentang-mentang kamu dokter sementara aku mucikari dan rentenir? Atur hidupmu sendiri nggak usah ngatur-ngatur aku. Nyari istri saja nggak becus, sok-sokan ceramah,” omel Nuril padanya. “Kamu tahu aku sudah pakai Rini? Kamu tidak keberatan? Kamu nggak cemburu?” Kejar Fajar dengan tatapan mata serius. “Hahahaha! Kamu itu palingan juga nggak kuat lima menitan! Aku nggak nafsu sama berondong! Hahahahaha!” Fajar diam sesaat, dia terima saja ditertawakan, toh setiap hari Nuril memang selalu menghardik dan berkata kasar padanya. “Aku mau bawa Rini ke rumah, biar dia yang beres-beres rumah sama masak. Sekalian melunasi hutangnya,” ucapnya sebelum Nuril masuk ke dalam kamarnya. “Terserah!” sahutnya santai berikutnya disusul pintu kamar dibanting dengan kasar. Fajar nampak bingung, dia masih belum percaya dengan jawaban Nuril barusan. “Nuril serius kasih aku izin? Jangan-jangan dia nangis di dalam kamar.” Fajar berdiri dari kursinya lalu membuka daun pintu kamar di belakang punggungnya. Di sana dia melihat Nuril sudah terlelap tanpa mandi tanpa mengganti baju. Tubuhnya yang gemuk nampak tenang, napasnya juga terdengar teratur. Satu minggu setelah percakapan antara Fajar dan Nuril, pasangan suami istri itu pergi ke gubuk Rini. Rini berulangkali menoleh ke belakang punggungnya menatap rumah yang dia tinggalkan. Kela berjalan di sebelah Rini sambil menggenggam jemari tangannya. "Maafkan aku Mas," ucap Rini sambil menatap ke arah gubuk di belakang punggungnya. Tangan kanannya menggenggam jemari kecil Kela putri semata wayangnya. Tas kain kumal berisi baju ganti miliknya dan baju Kela bertengger di atas bahu kiri Rini. Kela tidak mengerti ke mana ibunya membawanya pergi. "Kita ke mana Bu?" Kela mendongak menatap wajah ibunya. Rini menyeka air matanya sambil mengukir senyum di bibirnya. "Kerja," sahutnya lalu kembali berjalan mengikuti Fajar yang kini berjalan di depan. Di samping Fajar berjalan seorang wanita bertubuh gemuk dengan dandanan menor, perhiasan memenuhi leher dan juga lengannya. "Buruaaan! Mau sampai kapan jalan lelet terus? Kita nggak bisa sampai di kota kalau jalan kamu lelet begini! Kapan hutang kamu bisa lunas! Nggak punya uang saja pakai acara hutang!" Hardik Nuril pada Rini. Fajar hanya bisa menghela napas panjang melihat sikap istrinya. Nuril beralih menatap ke arah Fajar. "Apa kamu? Melotot sama aku? Nagih hutang saja nggak pernah becus! Berani melotot lagi aku colok kamu!" Bentak Nuril pada Fajar lalu melengos sambil mengibaskan kipasnya. “Jangan kasar-kasar, kasihan Kela, Nur,” ujar Fajar. “Nar-Nur-Nar-Nur! Panggil aku Mami! Dasar kebiasaan! Aku colok pakai kipas mata kamu!” Sungutnya sambil menunjuk-nunjuk wajah Fajar di sebelahnya. Rini tidak bisa berkata-kata melihat Fajar ditindas oleh Nuril. “Bikin anak saja nggak becus, gelar dokter kamu itu buat apa? Hah!” Nuril mulai mengungkit hari-hari yang telah lalu. “Aku sehat, aku normal Mi, Mami yang belum periksa.” “Aku juga subur!” Tukasnya cepat. “Tapi kan Mami belum periksa.” “Kalau saja Bapak Ibumu nggak ngutang sama aku, di masa lalu. Mana mungkin aku sudi nikah sama kamu! Nggak bisa bayar kuliah putranya pakai acara pengen putranya punya gelar dokter! Pemikiran macam apa itu! Sekarang malah aku yang suruh ngurusi kamu!” Gerutunya. Fajar juga bernasip malang, karena tidak punya uang cukup untuk membayar bunga hutang, ibu dan ayahnya mengirim Fajar ke komplek Nuril. Fajar juga baru tahu setelah satu tahun menjadi dokter umum di rumah sakit ternyata kedua orang tuanya punya hutang begitu besar pada Nuril. Fajar harus tinggal di rumah Nuril untuk menjadi pelayan Nuril, belakangan dia sibuk di rumah sakit dan Fajar juga sudah berencana untuk membuka klinik lantaran Nuril yang memberikan sebidang tanah di dekat jalan besar untuknya. Jadi setelah menikah dan tidur dengan Fajar beberapa kali, mereka masih tidak bisa punya anak. Dan karena kesal Fajar dinilai lemah, Nuril menjadi enggan dan tidak tertarik lagi untuk tidur bersama. Fajar merasa sangat malu, di belakang punggungnya Rini sedang berjalan. Langkah Rini lebih cepat karena Kela kini tinggal di atas punggung Rini. Sampai di jalan besar, Rini segera masuk ke dalam mobil bersama Kela. “Bu Nuril, nanti kalau ketemu sama Mas Ranto, tolong jangan bilang-bilang kalau saya bekerja di rumah Bu Nuril.” “Ya, tentu saja aku nggak ngomong! Kamu pikir aku nggak bisa mikir apa?!” Sungutnya sambil mengibasi wajahnya menggunakan kipas di dalam genggaman tangannya. Nuril mendapati Fajar tengah melirik Rini di kursi belakang melalui kaca spion. “Malah melotot terus! Lihat jalan yang benar! Awas nabrak masuk jurang aku colok mata kamu nanti! Jadi supir di ranjang nggak becus, di jalan juga nggak becus, nggak usah sok-sokan melirik wanita muda! Kalau Rini aku bawa ke komplek dia bisa jadi kaya, kamu malah pindah acara suruh dia jadi pelayan dapur dan bersih-bersih.” “Psikologis Kela yang aku pikirkan, Mi. Kasihan dia kalau Rini kerja di komplek,” sahutnya. “Yang penting hutangnya lunas. Jadi sepuluh tahun kamu ikut aku jadi pelayan di rumah tanpa digaji, atau ke komplek, aku bisa potong sebagian penghasilan kamu.” Rini juga ingin Kela sekolah. Jadi dia segera mengambil keputusan. “Malam hari saya bersedia ke komplek Bu Nuril,” ujarnya. Nuril tersenyum puas, sementara Fajar terlihat kesal. Tatapan matanya terlihat marah ketika bertemu tatap dengan mata Rini melalui kaca spion mobilnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD