2. Melahap satu sama lain

1178 Words
“Jangan melihatku seperti itu,” ujar Fajar sembari melepaskan tahanan lengannya dari pinggang Rini Astuti. Rini segera mengalihkan pandangan matanya ke arah lain. Melihat Fajar berjalan menjauh dan kembali duduk di atas kursi kayu kecil depan perapian Rini hanya bisa menghela napas. Rini sudah memindahkan Kela ke atas dipan, Rini duduk di tepi dipan sambil menyelimuti putrinya. Dari menatap Kela yang kini sudah tertidur lelap Rini kembali beralih menatap Fajar. “Kamu ke sini untuk menagih hutang, kan?” Tanya Rini dari tempat duduknya. Fajar tidak menjawab, dia tetap duduk di depan perapian. Sampai api benar-benar menyala dia baru menoleh ke arah Rini. “Ya,” jawabnya seraya beranjak berdiri dari posisi duduknya. Fajar juga tahu Rini tidak memiliki uang sama sekali. Fajar sendiri bingung, melihat kondisi Rini jelas dia tidak akan mendapatkan uang dari ibu beranak satu dalam gubuk tersebut. “Bisakah aku menukar hutang suamiku dengan sesuatu yang lain?” Tanya Rini dengan tatapan mata serius. Fajar melihat ke sekeliling, di dalam ruangan itu sama sekali tidak ada benda atau apa pun yang bisa ditukar atau dijadikan uang. “Kamu punya sesuatu yang bisa dijual?” Tanya Fajar santai sebatas menanggapi ucapan Rini barusan. Fajar mengambil tasnya dari sebelah Kela namun tidak segera pergi meninggalkan gubuk. “Ya.” Mendengar nada tegas dari jawaban Rini, Fajar kembali menatap kedua matanya. “Apa itu?” tanyanya langsung. “Tubuhku!” Fajar mengukir senyum pada salah satu ujung sudut bibirnya, lalu mengambil rokok dari saku bajunya. Dia seorang dokter umum di rumah sakit kota, meski dia seorang dokter bukan berarti Fajar tidak merokok. “Kamu pikir aku bercanda?” Kejar Rini dengan nada serius. Fajar mengepulkan rokoknya, lalu menatap cermat wajah kotor berdebu Rini di sebelahnya. “Kamu pikir berapa nilainya?” Fajar masih tidak serius. Dia hanya sebatas menimpali ucapan Rini. Bahkan pada ekspresi wajah Fajar sekarang, nampak jelas bahwa Fajar sedang frustasi. Jika tidak maka rokok menyala di antara bibirnya masih tetap terbungkus di kotak dalam saku bajunya. “Kamu bisa menjadikanku barang mahal. Aku bisa berdandan, dan aku butuh uang saat ini. Aku tidak bisa membiarkan putriku terus kelaparan! Aku rela melakukan apa pun untuk membuatnya bisa bertahan,” ujarnya dengan nada tidak main-main. Fajar tidak menyahut, dia menghenyakkan tubuhnya, duduk di ujung dipan dekat tas kerjanya. Cukup lama Fajar duduk di sana tanpa mengatakan apa-apa pada Rini. Mendapati Fajar tidak bereaksi, Rini kembali mendesak Fajar. “Apa kamu tidak yakin padaku?” Tanyanya pada Fajar. “Kamu bisa mencicipiku terlebih dahulu,” tawarnya lagi tanpa pikir panjang tanpa memandang siapa dirinya dan siapa Fajar. Fajar masih menikmati rokoknya, hingga satu batang rokok itu habis barulah dia berdiri. Rini spontan mencekal lengannya. “Aku tahu Bu Nuril, dia mucikari, kamu bisa mengubahku menjadi lebih cantik dan antarkan aku padanya!” Fajar menoleh. “Aku akan menganggap ucapan dari bibirmu hari ini hanya sebuah ungkapan perasaan tidak menentu, aku percaya kamu masih memiliki harga diri.” “Tidak! Aku tidak tahan melihat Kela kelaparan,” tegasnya. Fajar membuka tasnya, dia menyerahkan lembaran uang pada Rini. Kedatangannya ke sana untuk menagih hutang, tapi yang terjadi dia malah kehilangan uang. “Apa ini?” Tanya Rini dengan tatapan tidak mengerti. “Kamu bilang kamu butuh uang untuk membelikan makanan putrimu.” “Aku tidak bisa menerimanya, hutang keluargaku sudah sangat banyak.” “Ini di luar catatan,” balas Fajar sambil menyodorkan uang dalam genggaman tangannya. Rini mendongak menatap sorot mata tajam dari milik pria berwajah tampan di depannya. Entah kenapa dia tidak bisa memungkiri kalau Fajar memang tampan. Rini bukan tipe wanita perayu. Fajar tahu dari keluhan Nuril sebelum-sebelumnya tentang Rini dan Ranto yang tidak bisa membayar hutang. Nuril sempat bilang kalau Rini menolak dijadikan wanita panggilan demi menutup hutang Ranto. Dan malam ini Rini mengatakannya dengan jelas pada Fajar kalau setuju untuk melakukannya, bahkan tanpa paksaan sama sekali. “Kembalilah ke sini pada hari lusa. Aku akan menunggumu datang, dan aku akan membersihkan tubuhku di pancuran.” Fajar tidak menjawab tawaran Rini, dia merapikan kembali tasnya lalu keluar dari dalam gubuk tersebut. Rini berdiri mengantar Fajar, sampai di luar rumah langkah kaki Fajar terhenti. Jujur ini pertama kalinya dia masuk ke area hutan. Rini sepertinya tahu kecemasan dalam hati Fajar. Rini segera menutup pintu gubuk dari luar dan mengambil senter. “Aku akan mengantarmu sampai ke jalan depan,” ujarnya. “Tidak perlu, aku membawa ponsel.” Kali ini Fajar menolak karena dia laki-laki. Bagaimana mungkin dia memiliki nyali secuil dibandingkan wanita rapuh di sebelahnya? Rini tidak mendengar penolakannya, perjalanan sampai ke jalan harus ditempuh selama satu jam saat langkah cepat dan hari terang. Di saat gelap gulita seperti sekarang, mereka hanya bisa meraba-raba arah jalan sambil mengawasi sekitar jika ada binatang dari hutan menyerang. Fajar berjalan tak jauh dari belakang punggung Rini, sudah dua puluh menit mereka berjalan dan belum ada tanda-tanda jalan sudah dekat. “Aduh!” Rini tersandung batu, dia mengaduh dan tiba-tiba terjatuh di dekat tepi aliran sungai. “Rin! Rini? Kamu nggak apa-apa?” Tanya Fajar seraya meletakkan tasnya lalu membantu Rini menjauh dari sungai. “Nggak apa-apa, kakiku tersandung batu,” ujarnya. Fajar mengarahkan senter Rini pada jemari kaki Rini. Dan ada darah di sana dari ujung jempol jari kaki Rini. Kaki Rini sungguh terluka. Tanpa sengaja kain yang menjadi penutup kedua kaki Rini tersingkap ke atas karena hembusan angin, pahanya yang mulus dan sisi tanpa penutup di dalam kain itu terlihat jelas di depan mata Fajar. Fajar segera meletakkan senternya sambil berpaling. Rini tahu apa yang Fajar lihat. Melihat Fajar mulai salah tingkah, Rini tahu apa yang terjadi pada Fajar. Rini menyentuh bahunya sambil berkata, “sejak kamu memberikan uang padaku tadi, aku sudah menjadi milikmu. Jangan pernah ragu ...,” ucapnya dengan tatapan mata serius. Mungkin nalar Fajar sudah lepas kendali, di sisi tepi sungai Fajar dan Rini melakukan hubungan terlarang. Baju mereka sama-sama dilepas dan ditaruh di atas tas Fajar. Rini tidak peduli dengan kondisinya lagi, baginya ini adalah sesuatu yang harus dia lakukan untuk membalas uang yang diberikan Fajar. Mungkin pemikirannya yang masih awam, atau dia sama sekali tidak tahu jalan lain yang lebih baik selain menyerahkan tubuhnya. Rini menikmatinya, dia bahkan tidak merasa bersalah pada Ranto suaminya. Fajar sendiri juga menikmatinya. Tubuh beraroma asap milik Rini dirasa lebih baik dibandingkan tubuh Nuril yang sudah tidak berbentuk dan tidak pernah membuat Fajar memiliki hasrat. Sikap pasif dan malas dari Nuril membuat Fajar enggan. Nuril hanya merespon para tamu yang datang di kios minuman dan orang yang menyewa kamar di komplek yang dia kelola. Bagi Nuril, Fajar sama sekali tidak becus dan tidak berguna. Jika kedua orang tuanya Fajar dan ibunya tidak memiliki hubungan baik mungkin perjodohan yang tidak sebanding itu mustahil terjadi. Bagaimana mungkin seorang dokter muda seperti Fajar dinikahkan dengan seorang rentenir dan mucikari dengan usia lebih dari empat puluh tahun? “Aku ....” Nada suara Fajar terdengar menyesal. “Aku sudah bilang, aku milikmu.” Rini menatap wajah Fajar penuh peluh yang kini masih tinggal di atasnya dalam penyatuan yang belum usai. Fajar membenamkan wajahnya pada sisi leher Rini dan kembali menikmatinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD