Bab 8 - Bubur Ayam Pendekat Hubungan

2215 Words
Weekend yang aku tunggu-tunggu akhirnya tiba. Pagi tadi aku sudah berusaha bangun dengan lebih cepat. Jika weekend sebelum-sebelumnya, aku berharap hari itu akan cepat berakhir, karena membuatku terjebak bersama Alfian. Namun tidak untuk weekend kali ini. Rasanya perasaanku begitu riang setelah suasana di antara kami mulai mencair. Belum sepenuhnya mencair memang. Tapi setidaknya Alfian berusaha untuk menerima keberadaannya di rumah. Beberapa hari terakhir ini, Alfian tidak pernah lagi pulang larut malam. Pria itu seolah berusaha untuk pulang lebih cepat, walaupun dia masih pulang sehabis isya tapi itu lebih mending daripada dia pulang di atas jam 11 seperti dulu. Hubungan kami? Walau suasana kikuk masih sering terjadi, namun setidaknya kami masih bisa bertukar kabar yang sangat basic. Jujur, aku sebenarnya ingin menanyakan makanan kesukaan pria itu. namun entah mengapa, sikap dingin dan pendiam yang Alfian perlihatkan membuat bibirnya kelu dan dia tak berani untuk mengucapkan sepatah kata pun. Tapi setidaknya, melihat Alfian selalu menghabiskan semua masakan yang dia buat sudah membuatnya begitu bahagia. Kugelengkan kepala menghilangkan pikiran aneh itu dari kepalaku. Sebelum kemudian beranjak dari ranjang dan berjalan keluar kamar. “Mau sholat?” tanya Alfian membuatku terkejut. Aku terkesiap saat melihatnya berdiri di depan pintu keluar. Wajahku memerah saat melihatnya menggunakan baju koko berwarna putih dengan sarung berwarna hitam. “Dari mana?” Shit ... Bodohnya, Rani ... ya tentu saja dia baru sholat subuh. Dari mana lagi orang subuh-subuh gini pakai baju koko pula. Dia terlihat tersenyum menertawakan kebodohanku, “dari sholat subuh di mushola bawah,” ujarnya lagi membuatku mengangguk. “Ra ...” Aku tersenyum saat mendengar Alfian memanggilku dengan panggilan ‘Ra’, berbeda dengan orang lain yang lebih suka memanggilku dengan Ran, atau bahkan Ni. “Ehm, habis sholat subuh, kamu tidur lagi saja. Nggak usah masak, kita brunch saja sebelum groceries shopping,” ujarnya penuh perhatian membuatku mengernyitkan keningku. “Aku masak saja nggak papa,” tolakku yang dijawabnya dengan gelengan kepala cepat. “Kita makan di luar saja. Kasihan kamu, sudah masak selama weeekday. Lagi pula, hari ini aku ingin makan bubur ayam langganan aku. Kamu suka bubur ayam kan?” tanyanya yang langsung kujawab dengan anggukan. “Ya sudah. Habis sholat, istirahat saja .... nanti kalau sudah mau pergi aku ketuk pintu kamar kamu.” Alfian tersenyum tipis kemudian berjalan masuk ke dalam kamarnya, meninggalkan aku yang terdiam terpaku mendengar ucapan hangat yang pria dingin itu ucapkan. Tunggu .... Aku kembali menyebut Alfian sebagai pria dingin? Sepertinya aku harus meralat ucapan itu. Alfian bukanlah sepenuhnya pria dingin atau sebuah robot tanpa perasaan. Melainkan Pria dengan Tipe Tsundere style yang terlihat dingin namun juga hangat jika kita semakin mendekatinya. Kutarik napasku dalam sebelum kemudian berjalan untuk mengambil wudhu. Dan melakukan apa yang Alfian katakan tadi. Setidaknya, hari ini dia bisa beristirahat sejenak dari memikirkan makanan apa lagi yang harus dia masak untuk Alfian. Walaupun Alfian memintaku untuk beristirahat, sepertinya aku tak dapat melakukannya. Setelah sholat subuh, yang aku lakukan adalah membersihkan seluruh bagian apartemen. Ini satu-satunya waktu yang bisa kulakukan. Jadwal kuliahku yang masih padat membuatku hanya bisa melakukannya saat week end seperti ini. Setelah membersihkan rumah, mencuci semua pakaian yang ada di laundry room, kemudian berjalan ke arah kulkas. Merapikan bahan makanan sekaligus melihat apa saja keperluan bulanan yang perlu dibeli. Aku sedang menulis semua keperluan yang kuperlukan per bagian. Keperluan mandi, mencuci, makanan ringan, makanan pokok, dan pritilan lainnya saat melihat Alfian kembali keluar kamar. “Bukankah aku menyuruhmu untuk kembali istirahat?” ujarnya terpana melihat apartemennya yang kini sudah rapi dan tak lupa kuberi pengharum ruangan. Dia berjalan ke arah dapur dan terkejut saat melihat bahan-bahan di kulkas sudah disusun rapi. Kulkas dua pintu itu memang sengaja kubagi sesuai dengan jenis barang. Minuman-minuman dingin milik Alfian kurapikan di pintu kulkas dan rak bagian atas. Menggelengkan kepala saat melihat banyaknya kaleng bir di dalam kulkas, bercampur dengan minuman ion dan minuman berkarbonasi lainnya. Aku akan pastikan pelan-pelan Alfian akan meninggalkan minuman itu dan berganti ke air putih ataupun smoothies campuran buah dan sayur yang akan aku lakukan. “Kamu menata semuanya?” tanyanya tak percaya saat melihat aku menganggukkan kepala. “Menurut kamu siapa lagi yang ada di sini selain aku?” ujarku membuatnya menganggukkan kepala lalu menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal. Setelah itu, kami kembali dalam keheningan. Alfian seolah tak dapat kembali membahas ucapanku maupun memulai percakapan yang terjadi. kuperhatikan dia yang mengambil salah satu minuman karbonasi yang sering digunakan supir untuk menambah staminanya. Tanpa sadar, aku melangkah mengambil minuman itu yang sudah dia minum separo. “Jangan sering minum ini,” ujarku membuang sisa minuman itu ke westafel kemudian meletakan kalengnya ke bak sampah. Dengan cepat, mengambil gelas dan menuangkan orange juice dan memberikan ke arahnya. “Ini better daripada itu,” ujarku cepat kembali duduk. Alfian terlihat masih bingung melihat sikapku kemudian mendesah tak dapat melakukan apa pun. Dia duduk di sampingku melihat catatan-catatan hal yang aku berikan sebelum kemudian meletakkannya tanpa mengucapkan apa pun. “Sudah mau pergi?” “Sudah selesai?” Aku mendesah saat Alfian bukannya menjawab pertanyaanku melainkan bertanya balik, kulirik catatan yang sedang kutulis sebelum kemudian menggeleng. Dia hanya mengangguk singkat, “take your time,” ujarnya kemudian meminum orange juice yang kuberikan untuk menggantikan minumannya yang kubuang tadi. Setelah merasa menuliskan semua kebutuhan yang diperlukan, kututup buku catatan dan melirik ke arah Alfian yang sedang membaca koran ekonomi yang dia bawa dari kantor. “Aku siap-siap bentar ya, tunggu 5 menit.” Tak perlu menunggu jawaban dari Alfian, aku melangkah ke kamar. Menghela napas dalam saat merasakan suasana canggung itu masih terasa di antara kami. Tapi, apa yang kami harapkan baru 3 hari kami benar-benar berteman. Dan ini pertama kalinya, aku jalan berdua bersamanya. Tak membutuhkan waktu yang lama untukku keluar dari kamar. Hanya dengan kaos putih dan celana jeans. Aku sengaja berpakaian santai setelah melihat Alfian untuk pertama kalinya menggunakan polo shirt berwarna yang sama dengannya. Berharap semua orang yang melihat kami, berpikir kami adalah suami istri atau setidaknya sedang pacaran. Alfian terlihat terkejut melihat penampilanku yang mirip dengan pakaian sama dengannya. Sejenak, aku melihat pria itu menunduk dan tersenyum sangat tipis. “Ayo ...” ajakku kembali tak mendapat jawaban darinya. Dia berjalan menuju pintu terlebih dahulu, membuatku dengan cepat mengambil buku catatanku sebelum kemudian sedikit berlari menuju pintu. “Eh,” gumamku saat melihatnya menunggu di depan pintu dan menahan pintu untukku. “Makasih,” ujarku yang hanya disambutnya dengan anggukan singkat. Sepanjang perjalanan menuju basement, kami kembali dalam situasi tanpa percakapan. Dengan sengaja kuhela napasku dalam agar Alfian dapat mendengar bahwa rasanya begitu sesak, berjalan bersisian seperti ini tanpa ada obrolan sama sekali. “Sorry ....” ujarnya singkat masih dengan tatapan dingin tanpa mengarahkan pandangan ke arahku yang menatapnya. Wajahnya kembali terlihat datar dan dingin seperti kembali membangun dinding es untuknya. “Untuk ...?” “Aku masih belum biasa memulai pembicaraan,” ujarnya yang entah mengapa membuatku tersenyum. “Jadi, kalau aku memulai pembicaraan. Itu tak apa-apa?” Alfian berhenti melangkah, sebelum kemudian menatapku sejenak. Tinggiku yang hanya sebahunya membuatku harus mengangkat kepala untuk membalas tatapannya. Kulihat dia mengangguk, senyumku kembali terulas, “Jadi kau harus membiasakan diri dengan kecerewetanku,” ujarku riang. Kulihat dia menghela napas dalam sebelum kemudian mengangguk, sebelum kemudian kami kembali berjalan menuju basement. Langkahku terhenti saat melihat Alfian menghidupkan alarm mobilnya dan melihat salah satu mobil yang terparkir yang kuketahui milik Alfian. Aku mengikuti langkahnya, lalu tersentak saat melihatnya membukakan pintu untukku dan meletakkan tangannya di atas kepalaku agar tidak terjeduk. Inilah satu hal yang membuatku kagum dengan Alfian. Pria itu memang irit bicara, namun selalu hal-hal kecil seperti inilah yang membuat debaran jantungku kembali tak normal. Yakin wajahku kembali memerah karena rasa panas tak biasa yang aku rasakan hari ini sehingga membuatku mengipasi wajahku. Kulirik Alfian yang kini duduk di depan kemudi. Hal yang pertama dia lakukan setelah menghidupkan mesin mobil adalah menghidupkan Ac dan menatap ke arahku, kembali tanpa bicara. Aku hanya mengangguk saat kurasakan suhu Ac sudah pas. Sepertinya aku memang harus cerdas membaca body languange yang selalu dia berikan. Ini baru kedua kalinya, Aku naik mobil Alfian dan duduk di sebelahnya ini. Yang pertama kali adalah saat dia menjemputku di rumah kedua orang tuaku seminggu setelah pernikahan kami, yang tentu saja saat itu hanya ada keheningan di antara kami. Tak ada satu kata pun yang keluar dari pria dingin ini. Kembali kulirik wajah Alfian, tak ingin suasana canggung itu terus terjadi di antara kami. “Kita mau makan di mana?” tanyaku saat mobil Alfian keluar dari basement. “Sudah lapar?” “Lumayan .... eh, tapi bukan itu pertanyaanku,” dengusku kesal saat pria itu bukannya menjawab pertanyaanku tapi kembali menanyakan pertanyaan lain. Pria itu tampak terkekeh, sebelum kemudian kembali menatapnya dengan perasaan bersalah membuatku ikut terkekeh melihat raut wajahnya yang bisa berubah dengan cepat. “Ada bubur ayam favoriteku, sebentar lagi sampai,” Ujarnya membalas ucapanku sehingga membuatku kembali mengangguk dan melihat ke arah jalan raya dengan senyuman yang tak lepas dari wajahku. Keningku berkerut saat melihat mobil Alfian berhenti tak jauh dari gerobak di pinggir jalan yang bertuliskan Bubur Ayam Bandung. Menolehkan kepala ke arah Alfian, “kita makan di situ?” tanyaku tak percaya. Kulihat wajah Alfian kembali merasa bersalah, “Tidak suka bubur pinggir jalan?” Dengan cepat, aku menggeleng, “Bukan seperti itu. Aku hanya tak menyangka pria sepertimu suka makan di pinggir jalan seperti ini,” celetukanku keluar begitu saja. Kulihat wajahnya semakin mengeras membuatku menutup mulut menyadari bahwa celetukanku terlalu berbahaya dan bisa membuat pria itu tersinggung. “Menurutmu aku pria yang seperti apa?” Aku menutup mataku sejenak. Sudah kepalang tanggung. Aku sudah mengutarakan pikiran yang aku tahan beberapa hari ini, apa salahnya aku kembali mengeluarkan semua unek-unekku. Menarik napas dalam berusaha membuat wajah biasa saja sebelum kembali mengarahkan pandangan ke arahnya, “Ya ... Kamu terlihat seperti pria perlente, high class yang makannya di cafe atau restoran dekat kantor.” Shit .... Kalimat itu keluar begitu saja dari mulutku. Gigitan di ujung bibirku kembali mengeras sembari beberapa kali melirik ke arah Alfian yang terdiam. Wajahnya terlihat memerah. Kutarik napas dalam berusaha untuk mempersiapkan diri jika pria itu tersinggung dan marah 1 ... 2 ... 3 ... Aku menghitung dalam hati, menunggu reaksi marah pria itu. namun, anehnya yang kudengar bukan nada tersinggung tapi malah tawa renyahnya yang kembali keluar menyapa pendengaranku. “Ha ... ha ... ha .... Aku beneran terlihat high class?” tanyanya dengan tawa renyah yang terus keluar membuatku terdiam. Tatapanku kembali tertuju kepadanya, melihat bagaimana benteng yang selama ini dia bangun seolah retak dan membuatnya bisa terlihat lebih nyaman bersamaku. Tawa renyahnya yang terdengar seperti happy virus yang menyebar dengan begitu cepat sehingga membuatku ikut tertawa. “Tapi kan benar. Selama satu bulan ini aku tinggal bersamamu, aku selalu melihatmu menggunakan kemeja fit body dan celana kain. Terlalu formal, terlalu high class. Tak salah aku berpikiran seperti itu,” ujarku memberi alasan yang membuatnya menganggukkan kepala membenarkan ucapannya. “Kau bahkan sebenarnya juga terlihat memesona dengan pakaian casual seperti ini,” gumamku tanpa sadar membuat tawanya berhenti. “Sorry?” “Nothing ...” ujarku cepat saat menyadari bahwa isi hatiku kembali terkeluar begitu saja. “Yuk keluar, aku sudah lapar ..” ujarku mengalihkan pembicaraan membuat kening Alfian berkerut sebelum kemudian mengangguk saat melihatku membuka pintu mobil. Kami berjalan bersisian menuju gerobak bubur ayam itu. terlihat antrian yang lumayan panjang membuatku menyadari bahwa bubur ayam ini cukup terkenal walaupun berada di pinggir jalan. Bangku – bangku plastik dengan meja panjang terlihat penuh dengan orang yang sedang menikmati makanan mereka. Aku tak dapat untuk tidak menelan air liurku saat menghirup aroma bubur yang menguar. “Hati-hati,” ujar Alfian menarik tanganku saat aroma itu membuatku tak fokus dan hampir saja menabrak mas – mas yang membawa bubur panas. Aku tersentak saat menyadari bahwa tubuhku berada begitu dekat dengan Alfian bahkan cenderung seperti hampir memeluknya. Aroma aftershave yang menguar dari tubuh pria itu membuatku terpaku. “Kamu nggak apa-apa?” tanya Alfian menundukkan tubuhnya dan melihat ke arahku yang hanya bisa menggeleng dengan wajah yang memerah seperti tomat rebus. “Kamu pasti terkejut sampai wajahmu memerah seperti ini,” ujarnya lagi membuatku tersadar. Tubuhku sontak mundur selangkah dan kembali mengeluarkan senyum tipis untuk mengurangi rasa maluku. “I’m okay .... Cuma tadi terkejut saja,” ujarku yang dijawabnya dengan anggukan. Bukannya menjauhkan tubuh, Alfian malah semakin merapatkan tubuh kami, kemudian bertukar posisi agar aku tidak kembali tersenggol. Selama mengantre, aku hanya bisa mencuri pandang ke arah Alfian. Terlihat matanya berbinar tiap kali antrian di depan kami mulai mendapatkan buburnya. Untuk pertama kalinya, aku melihat sisi Alfian yang terlihat seperti begitu menginginkan sesuatu, Pria dingin di depannya yang sempat dia sangka seperti robot yang tak punya perasaan, nyatanya seperti anak kecil yang berbinar saat melihat tumpukan cokelat di depan matanya. “Kamu mau apa?” tanyanya untuk pertama kalinya dengan sumringah. Aku melihat ke arahnya hanya bisa menggelengkan kepala, sebelum kemudian melirik ke arah bubur ayam lengkap yang berada tepat di depanku. “Samain sama kamu saja, tapi ...” aku menghentikan ucapanku saat melihat sate telur puyuh, ati ampela, dan sate ceker berada di kotak putih yang berada di dekat paman penjualnya. Aku menunjuk ketiga kotak itu dengan malu-malu, “Yang di kotak itu satu-satu boleh?” pintaku dengan wajah memerah membuat Alfian terkejut sebelum kemudian mengangguk menuruti permintaanku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD