Bab 4 - Mencoba

2007 Words
“Ma…” panggilku saat memasuki rumah putih bergaya mediterania yang menjadi tempat tumbuh dan berkembangku selama hampir dua puluh tahun ini. Kuletakkan tote bag hitam yang kubawa ke arah sofa, sebelum kemudian berjalan menuju dapur mencari keberadaan mama. Senyumku tak dapat aku sembunyikan saat melihat Mama sedang memasak, perlahan aku mendekati beliau yang masih tidak menyadari keberadaanku. “Ada yang bisa Rani bantu?” tanyaku mengejutkan beliau. “Astagfirullah hal adzim, Ran!” pekik Mama memukul bahuku kesal membuatku tertawa. Terlihat beliau mengelus dadanya sebelum akhirnya mendelik kesal ke arahku. “Ih mama gitu aja, Kaget,” kekehku yang disambut dengusan beliau. “Kamu tau – tau muncul gitu aja, gimana Mama nggak kaget coba,” ujar Beliau masih mengelus dadanya lalu tersenyum menatap putri bungsunya kini kembali berada di rumah. “Rani udah manggil Mama dari tadi. Mama aja yang nggak dengar.” Aku terkekeh saat melihat mama kembali menggelengkan kepala sadar tak akan pernah menang jika berbicara denganku. Beliau kembali melanjutkan masakan sementara aku bersandar di meja dapur sembari memperhatikan. “Kamu dari kampus?” tanya Mama saat melihatku menggunakan t-shirt berwarna hitam yang kupadu dengan skinny jean. Beliau selalu mengetahui outfit andalanku jika pergi ke kampus. Aku mengangguk sebelum kemudian mendesah. Dosen pembimbing skripsiku yang terus menghilang entah kemana membuat skripsiku tertahan, pernikahan mendadak yang baru kujalani seolah begitu menguras tenaga dan pikiranku beberapa hari belakangan. “Udah izin sama Alfian kalau mau ke sini?” tanya mama membuatku terdiam. Beliau menatapku lembut sebelum kemudian tersenyum simpul, “Kabarin dulu kalau kamu ada di sini, gimanapun dia suami kamu.” Kata ‘suami’ yang mama ucapkan tadi membuat kenyataan yang kucoba untuk singkirkan sejenak kembali menyeruak. Aku bahkan hampir tak ingat bahwa pria yang tinggal bersamaku bernama Alfian karena kami sama sekali tak pernah berbicara face to face. Ku tarik, tas selempang yang tadi kuletakan di atas sofa, merogoh ke dalamnya mencari ponsel pintar milikku. Ku tatap benda persegi panjang kecil itu lama, bimbang. Haruskah aku menelponnya? Bagaimana jika sedang sibuk bekerja? Aku menatap layar handphone, begitu ragu memikirkan harus meneleponnya atau hanya mengiriminya pesan. Dia mendesah sebelum akhirnya memutuskan untuk hanya mengiriminya pesan.     Aku cuma mau ngabarin. Aku izin pergi ke rumah Mama, ya. Rani. Ku kirim pesan singkat di aplikasi pesan. Melihat tanda centang satu centang berubah menjadi dua centang abu kemudian centang itu dengan cepat berubah menjadi centang biru menandakan dia membaca pesanku membuatku sedikit berharap bahwa ada tulisan mengetik di sana, namun ternyata nihil. Kembali kuhela napas dalam, sebelum kemudian menaruh ponsel itu kembali ke dalam tas. “Nggak jadi kamu telepon?” tegur mama saat aku berjalan ke meja makan. “Rani takut ganggu dia, ini kan masih jam kantor,” alasanku membuat mama tersenyum dan melanjutkan masak. “Mama kok masak banyak? Papa pulang buat makan siang?” tanyaku saat melihat ayam goreng, udang goreng tepung dan tumis kangkung yang berada di meja makan. “Nggak, Papa lagi perjalanan dinas ke Kalimantan. Besok baru pulang. Mama feeling aja kamu bakalan ke rumah makanya bikin makanan kesukaan kamu,” ujar mama meletakkan cobek berisi sambal andalan beliau yang membuatku meneguk liur. Tanpa disuruh dua kali, aku duduk di kursiku kemudian mengambil sepiring nasi yang mama sodorkan. “Makan dulu banyak-banyak. Mama tau ada yang pengen kamu ceritakan,” ujar Mama membuatku tersenyum cerah mengambil nasi lalu mulai memakan masakan mama yang begitu aku rindukan. ***** Aku duduk di teras samping sembari menatap ke arah taman rumah yang ditata rapi oleh mama. Beliau selalu berpikir bahwa taman rumah yang rapi dan tertata apik membuat suasana di rumah menjadi menenangkan dan menjadi stress relieve bagi siapapun yang ada di rumah.  Mama meletakkan segelas sirup berwarna merah ke meja lalu duduk di kursi yang ada di samping, menatapku dengan tatapan yang teduh membuat perasaanku sedikit lebih lega. “Pernikahan kamu baik-baik saja?” Aku menatap beliau sebelum akhirnya tersenyum getir, “Apa yang mama harapkan dari pernikahan yang mendadak seperti itu?” Mama menatapku dengan senyum, memaklumi anak bungsunya yang mengatakan hal tersebut. “Semua hal perlu waktu. Mama minta maaf karena telah membuatmu merasa terpaksa menikah dengan Alfian sebelum kalian sempat saling mengenal. Rencananya kami ingin kalian saling mengenal terlebih dahulu, tapi mengingat keadaan Tante Ambar yang kritis membuat kami terpaksa untuk meminta kalian menikah.” Aku melihat mama yang menatap lalu mengambil tanganku yang sedari tadi terus berpilin di atas paha, lalu mengusapnya. “Alfian anak yang baik, Ran ... makanya mama langsung menyetujui pernikahan ini.” Mama menarik napas dalam, sebelum kemudian kembali tersenyum. “Dia mungkin terlihat dingin dan kaku, tapi dia anak yang bertanggung jawab. Anak itu sangat menyayangi mamanya dan juga kedua adiknya walau mereka beda ayah,” ujar Mama lagi sedikit membuatku terkejut. Tak menyangka bawa Om Alex yang selalu ada di sebelah mama Ambar bukanlah ayah kandungnya. Walaupun, dia sempat bertanya darimana dia bisa mendapatkan mata abu cantik itu yang menghiasi wajahnya. “Tapi dia memang terlalu dingin, Ma. Rani sudah berusaha yang terbaik untuk setidaknya membangun komunikasi dengannya, tapi dia selalu mengelak,” keluhku menghela napas. “Dia sudah terlalu lama sendirian tanpa ada pegangan. Dia hidup seolah selalu berpikir membalas kebaikan dia dan ayah tirinya, melakukan semua yang terbaik untuk mereka tanpa pernah berpikir untuk membahagiakan dirinya sendiri. Tante Ambar menikahkan dia dengan kamu karena beliau berpikir kau bisa membuatnya bahagia.”   Aku terdiam lalu menghela napas tajam. Bagaimana dia bisa membahagiakan pria itu. Jika pria itu terus saja menciptakan jarak dan membangun dinding es tebal yang tak bisa dia naiki atau bahkan panjat. “Kalau memang dia dingin sama kamu, apa salahnya jika terus berusaha melakukan berbagai cara untuk mencairkan kedinginan itu, Ran. Lagi pula ... mama tahu kalau kamu juga tertarik dengan Alfian saat di rumah sakit tempo hari,” ledek Mama membuat wajahku memerah. “Apaan sih,” elakku membuat mama tertawa dengan begitu keras. Aku terdiam memikirkan setiap ucapan mama dengan terus memandang taman rumah mama yang luar biasa indah. Kata-kata mama sedikit meyakinkanku, jika dengan Mamanya saja pria itu begitu menyayanginya, bukan tak mungkin pria itu juga akan menyayangi istrinya sepenuh hatinya. Yang paling dia butuhkan memang waktu dan juga pergerakan. Dia tak mungkin terus bersikap pasif dan tak melakukan apapun yang hanya akan membuat mereka terus menjadi orang asing yang tinggal di satu atap. “Ma ...” Aku memamerkan senyumku kepada mama membuat keningnya berkerut. “Kenapa? Mau bawa pulang masakan mama buat suami kamu?” tebak Mama sedikit membuatku terkejut namun kemudian kembali memamerkan senyum tiga jari yang aku miliki kemudian mengangguk. Mama mengekeh geli melihat tingkahku, “Mama rencananya memang mau bawain bekal, kebetulan kata Tante Ambar, Alfian lebih suka masakan Indonesia daripada masakan barat.” Aku terdiam berusaha mengingat satu lagi info yang kudapatkan tentang pria itu dari mama. Sepertinya aku harus membeli notebook kecil yang bisa kugunakan untuk mencatat info apa saja tentang pria yang sudah menjadi suamiku itu. **** Aku berjalan menuju apartemen yang kini aku dan pria itu tinggali dengan kedua tangan yang penuh pakaianku dan juga makanan yang diberikan mama tadi. Jujur, otak ku sepertinya mulai hang. Sedari tadi pikiranku terus memikirkan pria itu. Untuk menyebut kata suamiku saja rasanya begitu canggung. Bingung memikirka bagaimana cara untuk memanggil pria itu dengan benar sehingga membuatnya tidak tersinggung atau apapun itu. Aku menggigit ujung bibirku menatap goodie bag berisi masakan mama. Benarkah pria itu lebih menyukai masakan Indonesia? Bagaimana jika dia tidak menyukai masakan ini dan kembali membuangnya. Aku kembali menghela napas dalam, langkahku begitu gontai dan tak bersemangat memikirkan bagaimana mencairkan dinding es tebal itu. Langkahku berhenti di depan pintu apartemen miliknya, berusaha mengingat kode pintu apartemen yang dia berikan saat pertama kali, kami tinggal bersama. Setelah berhasil mengingat, aku membuka pintu apartemen dan mulai menghidupkan lampu, meletakan sementara barang-barangku di atas rak sepatu yang terbuat dari kaca yang dipenuhi oleh sepatu kerjanya yang benar-benar monoton. Pentofel dengan model yang mirip dengan berbagai warna yang kaku, Hitam dan cokelat tua. Sepertinya dua warna itu wajib dia miliki. Aku menatap sepatu yang kugunakan tadi, bingung meletakkannya di mana, haruskah aku menggeser sepatunya sedikit dan meletakan sepatu di samping miliknya, tapi bagaimana jika pria itu tidak setuju dan marah karena telah memindahnya sembarangan. Kutarik rambutku frustasi, sebelum kemudian menaruh sepatu yang aku gunakan tadi di bagian luar rak sepatu. Kulirik jam yang sudah menunjukkan pukul 7 malam, sepertinya pria itu akan kembali lembur atau malah berpura – pura lembur untuk menghindari keberadaanku di rumah ini. Ku letakkan masakan mama ke meja dapur sebelum kemudian berjalan menuju kamarku untuk mengambil baju santai untuk membersihkan diri. Jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam saat aku beranjak dari tv untuk menghangatkan makanan yang dimasak mama. Menyadari jika dia tipikal masyarakat Indonesia, pria itu pasti menyukai makanan yang hangat. Setelah memanaskan masakan mama dalam mikrowave, aku membuka kulkas mengambil adonan jagung yang aku ulek hingga mengeluarkan air, lalu kuberikan bumbu halus berupa bawang merah, putih dan cabe, lalu tepung bumbu serba guna lalu daun bawang dan daun sop yang kupotong tipis. Aku baru selesai menggoreng perkedel jagung saat mendengar suara seseorang memasukan password pintu dari arah depan. Aku mencoba bersikap biasa dengan tetap membersihkan sisa minyak di kompor saat melihat pria itu masuk. Mataku melirik ke arah tangannya berharap dia membawa kotak bekal yang tadi dia berikan sebelum kemudian aku menghela napas dalam saat melihat dia tidak membawa kotak bekal itu kembali ke rumah. Dia terlihat terkejut saat melihatku masih bangun dan berada di dapur. “Tunggu ...” ucapku membuat dia yang ingin masuk ke dalam kamarnya berhenti dan berbalik ke arahku. Dengan cepat aku merapikan dapur, mengambil segelas air putih lalu berjalan ke arahnya. Entah mendapat keberanian dari mana, aku mengambil tangannya yang tak memegang apapun lalu memberikan air putih itu kepadanya, “Mama tadi sudah memasakan untukmu makan malam. Aku tak sanggup memakan semuanya dan juga tak sanggup untuk membuangnya. mohon dimakan atau sekedar dicicipi,” kataku meninggalkannya masuk ke dalam kamar tanpa menunggu jawabannya. Tubuhku luruh ke lantai sesaat setelah menutup pintu. Menekan d**a kiriku yang tiba-tiba berdegup dengan kencang setelah tatapaan dia dan Alfian tadi tanpa sengaja bertemu. Kukipasi wajahku yang tiba-tiba memerah dan memanas. Tatapan Pria itu ibarat es antartika, tapi entah mengapa membuatnya merasuk ke dalam dan tersesat di dalamnya. Aku menarik napas dalam guna menurunkan debaran jantungku yang terus menggila. Setelah cukup berhasil menstabilkan debaran jantung itu, aku berjingkat dan membuka pintu dengan sangat pelan agar tidak ada bunyi yang tercipta. Dari balik pintu kamar, aku dapat melihat pria yang kini menjadi suamiku sedang duduk di dapur memakan dengan lahap makanan yang dibuat mama. Aku memperhatikan Alfian dalam diam. Napasku tercekat saat melihat dia menatap perkedel jagung yang aku buat. Rasanya aku lupa untuk bernapas saat dia mengambil gorengan itu satu, lalu menggigitnya. Keningnya berkerut sebelum akhirnya senyum menawannya terukir di wajah tampannya. Tanpa terasa senyumku tercipta saat melihatnya merapikan bekas makannya lalu bergerak ke wastafel untuk mencuci piringnya tadi. Dadanya yang tegap terlihat bergerak begitu seksi saat menggosokan sabut pencuci  ke piring-piring kotor itu. Entah mengapa, melihatnya seperti ini membuat dadaku menghangat seolah perkataan Mama yang menyebutkan aku menyukai pria itu adalah benar. Aku menarik napasku dalam mencoba mengikuti kata – kata Mama yang berjuang untuk mencairkan dinding es tebal yang ada di hati pria itu walaupun mungkin itu sangatlah sulit. Tapi, setidaknya dia bisa mencobanya.  Perlahan aku menutup pintu kamarku setelah melihatnya berjalan menuju kamar yang ada di sebelah, senyum masih terlihat di wajahku saat aku kembali ke ranjang dan memutuskan untuk beristirahat. Kuambil buku catatan kecil yang ada di nakas samping tempat tidur. Lalu menuliskan sesuatu .... Hari kesepuluh setelah pernikahan ....  Akhirnya Pria itu makan di rumah, walaupun itu masakan mama setidaknya aku mengetahui bahwa pria itu memang pecinta masakan Indonesia bukan masakan barat seperti pikiranku .... Kututup kembali buku catatan kecil itu, sembari berpikir masakan apa lagi yang bisa kubuatkan untuk sarapannya, meskipun aku tidak tahu apakah dia menyukai sarapan yang aku buat, setidaknya membuatkan bekal setiap hari adalah salah satu caraku untuk membuatnya menyadari bahwa pria itu sekarang tidak sendiri, ada aku yang ada di sampingnya meskipun ini juga berat untukku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD